Mondhay The Violinist

Pada sekeping pagi yang mendung.
Aku masih berjuang mengayuh sepeda di celah-celah sempit antara mobil dan motor yang menyesaki jalan RA Kartini menuju lampu merah Fatmawati. Agak sedikit menyesali diri kenapa hari ini aku mengambil rute bersepeda ke tengah kota yang penuh polusi. Biasanya aku lebih suka blusukan di daerah Cinere-Sawangan. Mencari rute-rute baru lewat perkampungan dan tepi sungai, sambil menikmati kesendirian dan merekam berbagai fragmen kehidupan yang kujumpai.
Di tengah hiruk pikuk deru mesin kendaraan dan klakson bersahutan, sayup-sayup terdengar alunan biola memainkan komposisi yang sepertinya sudah akrab di telinga. Lagu klasik yang sering dipakai sebagai soundtrack iklan TV jaman decoder (milenials pasti nggak ngerti jaman decoder). Aku mencari-cari sumber suara. Nun di seberang jalan sana, di kolong fly over jalan tol JORR, seorang pemuda gondrong lincah memainkan biola. Tubuhnya meliuk-liuk penuh penghayatan mengikuti irama lagu.
Tiba-tiba aku seperti menjadi seekor tikus yang terpikat suara seruling dalam dongeng “Peniup Seruling dari Kota Hamelin”. Tak berpikir panjang, aku bergegas mendekat. Tak mudah memotong arus kendaraan yang semuanya seolah tergesa-gesa tak peduli.
Semakin dekat, lagu yang dimainkannya semakin jelas. Rupanya si gondrong memainkan komposisi Mozart yang berjudul “Rondo Alla Turca”. Lagu yang memang bertempo cepat penuh semangat itu, dimainkannya bertenaga dan dengan penghayatan. Lengkap dengan teknik staccato-nya yang putus-putus dan menghentak-hentak. Dalam hati, aku bergumam: “Boljug nih orang”. Sedikit-sedikit meleset pada nada dan tempo bisa dimaklumi. Mengingat panggungnya di trotoar kolong jembatan bukan di ruang akustik dan biolanya juga bukan kualitas kelas konser punya. Aku yang sudah berdiri di dekatnya ikut menggoyang-goyangkan kepala menikmati. Beberapa pengemudi mobil membuka jendela dan menyodorkan uang. Kelihatannya, uang yang disodorkan minimal noceng, goceng, bahkan cebanan. Tak ada yang ngasih cuman gopek, cepek, gocap, apalagi jigoan. Haiyyaaa...
Aku terus menikmati atraksinya sambil memperhatikan penampilannya. Perawakan agak kecil. Rambut panjang dikuncir. Tatonya memenuhi lengan kiri kanan dan terlihat sedikit mengintip di dadanya. Penampilan khas anak jalanan ibu kota. Sesaat kemudian, ia menghentikan aksinya. Aku menghampiri. Mengajaknya berkenalan dan kami mulai mengobrol sambil berjongkok di pinggir pot tanaman.
Namanya keren: Mondhay Al Iman Zulfadli. Panggilannya Ndhay. Usia 25 tahun. Tinggal di Cibubur. Sudah menikah dan punya satu putra usia 1 tahun. Matanya berbinar saat menceritakan polah jagoan ciliknya yang mulai dibiarkannya memegang biola. Anak yang sehat. Aku amati dari foto yang ditunjukkannya.
“Aku ngamen tiap hari om. Kadang di sini, kadang di pintu tol depan Trakindo. Dari pagi sampai siang trus pulang dulu. Sore main lagi. Yaa... nunggu jam macet...” katanya sambil nyengir. Jadi, untuk sebagian orang (termasuk pedagang asongan dan gerobak bakpao), macet Jakarta itu peluang untuk mengais rezeki. Maka biarlah kemacetan tetap ada sampai kapanpun.
Ndhay tumbuh besar di jalanan. Hanya sanggup bersekolah hingga tamat SD. Sejak umur 10 tahun ia sudah ngamen pakai gitar kecil. Artinya, sudah 15 tahun ia setia di profesinya. Empat tahun lalu ia mulai belajar main biola yang dibelinya dari tabungan hasil mengamen. Tentu dengan harga yang tidak murah baginya. Sekitar Rp900 ribuan. Lalu mulailah ia mati-matian belajar biola dengan kawan-kawan satu sanggar komunitas pengamen di Pasar Minggu.
Tapi pilihannya tepat. Ngamen dengan biola adalah strategi diferensiasi yang jitu di dunia perngamenan. Dia sudah punya positioning istimewa dibandingkan pengamen gitar yang paling jago sekalipun. Mungkin ia sendiri tidak terlalu menyadarinya. Tapi Ndhay telah mengembangkan competitive advantage sehingga bisa merebut segmen pasar tersendiri. Selain tingkat persaingannya masih rendah, uang pemberian orang pun bukan sekedar koin recehan. Ini bentuk apresiasi tersendiri dari masyarakat yang paham bahwa menguasai alat musik biola ini tak mudah.
Orang ngamen pakai biola di Jakarta sudah biasa. Dulu, sekitar tahun 80an saat di pinggiran rel jalan Kendal Menteng masih ramai tenda warung sop kaki kambing yang semuanya pakai nama “kumis”- Udin Kumis, Tatang Kumis, Enday Kumis, bahkan Astuti Kumis (ngarang) - ada seorang bapak-bapak berkumis yang ngamen pakai biola dari tenda ke tenda. Permainannya standar saja. Lagunya juga agak-agak fals menjerit-jerit gitu. Andalannya lagu La Paloma atau lagu-lagi bang Rinto yang menyayat kalbu membuat suasana makan sop kambing jadi melankolis dramatis dan menimbulkan rasa bersalah yang membuncah memenuhi dada (opo seh).
Seperti cerita sinetron, Ndhay juga punya pengalaman beberapa kali berjumpa orang baik. Suatu kali, ketika sedang beraksi, seseorang menghampirinya. Diawali dengan pertanyaan-pertanyaan standar, lalu ia mengajak Ndhay untuk mengisi acara pernikahan. Lalu ia mengajak beberapa kawannya sehingga membentuk ensemble mini biola dan gitar. Selanjutnya, dari rekomendasi mulut-ke-mulut, ia dan teman-teman akhirnya sering mengisi acara-acara serupa. Kadang di sebuah acara pernikahan, mereka berkolaborasi dengan pemain keyboard untuk mengiringi penyanyi. Selain itu, Ndhay juga mengajar biola secara privat. Dia punya beberapa orang murid.
“Ngajarin biola sama anak-anak musti sabar om,” katanya. “Emang belajar biola gampang bosen. Ngelancarin satu lagu aja bisa makan waktu lama banget.”
Sambil melirik tatonya, aku nyeletuk; “Tatomu rame banget Ndhay!”
Dia tertawa kecil. “Iya nih... nggak sengaja jadi gini...”
“Lah, kok bisa nggak sengaja?”
“Awalnya cuman pengen tato nama doang... eh lama-lama ketagihan. Jadi penuh gini deh...” katanya. “Sekarang udah tatoan gini mau kerja dimana-mana jadi susah. Nggak ada yang mau nerima...” keluhnya.
“Ah... kamu mau kerja apa lagi. Ini kamu udah punya modal keahlian yang istimewa. Kamu tekunin aja terus. Hafalin lebih banyak lagi lagu-lagu yang kekinian. Latihan improvisasi biar kemasan lagunya beda. Latihan… latihan… latihan terus. Tapi jangan lupa juga berdoa. Aku yakin suatu saat hidupmu akan menjadi lebih baik...”
“Iya om. Aku bersyukur kok masih bisa ngasih makan anak dan istriku. Aku beruntung nggak jadi pengemis…” Sahutnya sambil mengangguk-angguk mirip anak baik-baik habis dinasihatin bapaknya.
Ndhay cuma salah satu contoh dari orang-orang yang masih berjuang untuk survive di ibukota yang katanya lebih kejam dari tiga ibu tiri. Tekadnya belajar biola murni untuk tujuan mencari nafkah mengesankanku. Ia tidak hanya sibuk dengan status ngomel-ngomel di medsos mencaci-maki pemerintah yang katanya bikin hidup semakin susah. Ia mati-matian belajar biola secara otodidak demi menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, yang mandiri tanpa harus menyetor pada bos siapapun. Aku tak ingin bertanya berapa penghasilannya. Tapi selama 30 menit aku di sana, rasanya tak kurang dari Rp50 ribu sudah ia kantongi.
Tak ingin menghabiskan waktunya mencari nafkah, aku segera pamit. Tak lupa aku minta nomor hp nya. Siapa tahu Allah memberi jalan rezeki untuk Ndhay melalui aku pada suatu hari kelak. Atau paling tidak kita sudah menambah kawan.
“Om, kalo ada acara-acara kawinan, peluncuran buku, pembukaan kafe, atau apa aja deh… kalo perlu ada yang main musik ajak-ajak ya om,” katanya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Tak berani berjanji tapi pengen sekali bisa memenuhi permintaannya itu.
“Aku titip untuk anakmu Ndhay…” kataku sambil menyelipkan sedikit uang di tangannya.
“Makasih ya om,” katanya setengah berteriak ketika aku mulai mengayuh sepeda. Kali ini kayuhan sepedaku sepertinya terasa lebih ringan. Seringan hatiku yang mendapat ilmu lagi dari sekolah kehidupan; tentang keinginan kuat, kerja keras, dan tak lupa bersyukur atas apa yang telah kita capai.
******
Pertemanan kami tidak hanya sampai di situ. Beberapa kali aku sengaja menemuinya, lalu kami sarapan bubur kacang hijau bersama di warung pinggir got di gang Persatuan samping Citos. Ia tak sungkan bercerita tentang keluarganya, tentang anaknya yang suatu ketika tengah sakit, tentang harapan-harapannya ke depan. Kami juga berteman di FB dan saling menyapa. Sesekali saat aku sedang mengendarai mobil dan Ndhay sedang beraksi, aku membuka jendela dan berteriak: "Ndhaaaayyy...". Lalu ia menghentikan permainannya sejenak untuk membalas sambil melambaikan tangan: "Oooom." Kuacungkan jempol, tersenyum lebar dan terus berlalu...
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.