PERBEDAAN TULISAN BLOGGER DAN STORYTELLER #tamat

PERBEDAAN TULISAN BLOGGER DAN STORYTELLER #tamat

“Okay, storytelling gue udah kelar, nih,” kata saya.

Riziek meletakkan gelas minumannya. Dengan antusias, dia langsung berujar, “Bacain, dong, Om Bud?”

Sebetulnya saya belum dapet ide tapi karena ini cuma mau membuktikan perbedaan antara tulisan blogger dan storyteller, saya mengadaptasi cerita yang pernah ada untuk storytelling itu. Rizieknya juga sudah saya kasih tau dan dia gak keberatan karena memahami bahwa saya gak punya cukup waktu untuk menciptakan cerita baru.

Saya berdiri sambil memegang storytelling dadakan tersebut (Udah kayak sambel dadakan aja nih. Hehehehe… Semoga rasanya cukup pedes deh). Dengan seluruh penghayatan, saya pun mulai membaca.

______________________

TENTANG SEBUAH MEMORI

“Taksi!!” teriak saya memanggil taksi yang kebetulan lewat.

Ciiiit! Taksi tersebut jalannya terlalu ngebut sehingga ketika dia ngerem, berentinya sudah sekitar 10 meter melewati saya.

Dengan langkah cepat, saya pun berjalan menghampiri namun sekonyong-konyong seorang perempuan juga datang hendak menaiki taksi tersebut. Untungnya supir taksi itu tau etika, dengan halus dia menolak calon penumpang itu dengan mengatakan bahwa sayalah yang duluan memanggilnya.

“Mas, boleh gak saya pake taksi ini,” tanya Sang Perempuan pada saya yang baru sampai di sana.

Astaghfirullah! Saya melotot dan terpaku seketika itu juga. Kenapa? Karena Inilah perempuan yang saya cari-cari sepanjang hidup. Selama ini, dia hanya muncul dalam imajinasi saya. Masya Allah, wajahnya, tubuhnya, warna kulitnya pokoknya semua persis dengan yang saya bayangkan. Perlu diketahui bahwa saya memang mempunyai tokoh wanita ideal dalam imajinasi saya.

“Wah, gak bisa, Mbak. Saya kan yang manggil duluan,” sahut saya tersenyum semanis mungkin, berharap dia juga tertarik pada saya.

“Tapi saya buru-buru nih, Mas. Kalo terlambat bisa batal wawancara saya.”

“Maaf, Mbak. Bukan saya gak mau nolong tapi kan Mbak tau, di daerah ini jarang banget taksi lewat,” jawab saya lagi sambil terus menikmati wajahnya yang cantik jelita.

“Aduh! Gimana, ya?” keluh perempuan itu kebingungan sementara saya masih saja takjub melihat tokoh idola di imajinasi saya bisa tiba-tiba muncul di dunia nyata. Perempuan itu terlihat sangat gelisah, dia melihat ke arah jalan berharap ada taksi lain kemudian berganti melihat ke arah jam tangannya.

Ngeliat dia nampak panik seperti itu, hati saya pun meleleh lalu berkata dengan suara pelan, “Ya udah, Mbak boleh pake taksi itu. Biar saya nunggu yang lain.”

“Serius, Mas? Aduh, terima kasih banyak, ya,” kata perempuan itu lalu membuka pintu belakang dan masuk ke dalam taksi.

Belum sempat taksi itu pergi tiba-tiba pintu kaca terbuka dan perempuan itu menongolkan kepalanya sambil berkata, “Mas, saya tau di sini jarang sekali taksi lewat. Gimana kalo kita berdua naik taksi ini tapi saya dianter duluan.”

Wah? Pucuk dicinta ulam tiba, nih, pikir saya. Tapi entah kenapa yang terlontar dari mulut, “Gak usah, Mbak. Biar saya nunggu aja, saya gak terburu-buru, kok.”

“Serius? Saya gak minta dibayarin, loh. Nanti saya bayar sendiri sesuai ongkos jarak tempuh saya,”

“Iya, saya tau. Biar saya nunggu aja,” sahut saya masih mengagumi keajaiban yang terjadi.

“Okay, kalo begitu. Terima kasih sekali lagi. Bye, Mas.” Dia melambaikan tangannya dengan senyum manis bukan main. Seumur hidup belum pernah saya melihat senyuman seindah itu. Sayangnya perempuan itu memang nampak terburu-buru, tangannya dengan cepat menekan tombol sehingga jendela taksi pun tertutup. Dan seperti sebelumnya, Si Supir Taksi langsung ngebut dan hilang di pengkolan jalan seiring dengan hati yang tiba-tiba dilanda kehampaan.

GOBLOK! Saya langsung memaki diri sendiri. Goblok!! Gobloook!!! Tuhan sudah memberi kesempatan emas namun saya sia-siakan. Sungguh saya sangat menyesal telah menolak tawaran itu. Aduuuh.. padahal yang namanya kesempatan jarang banget datang dua kali. Hadeuh! Gimana, ya? Pokoknya saya harus bisa ketemu sama dia lagi, begitu tekad saya. Christopher Revee pernah berkata, ‘One you choose hope, anything is possible.’

Udara panas Jakarta semakin menyengat! Saya melirik jam di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 3.30. Ah, lebih baik saya ngopi dulu buat ngadem sekaligus menenangkan hati yang gundah. Untungnya pas di depan saya ada sebuah kafe dan saya langsung menuju ke sana.

Alhamdulillah, di dalam kafe tersebut udaranya sejuk karena AC-nya bekerja dengan baik. Saya memilih duduk di dekat jendela dan minta dibuatkan secangkir kopi latte. Tempat duduk saya menghadap ke luar sehingga saya bisa melihat ke tempat saya berebut taksi dengan perempuan tadi. Siapa namanya, ya? Ah, goblok! Bahkan sampai menanyakan namanya pun saya lupa.

Untuk membunuh waktu, saya memperhatikan kafe ini lekat-lekat, keliatannya ini kafe baru. Desainnya unik, mengingatkan saya pada desain jaman kolonial namun digabungkan dengan desain masa kini. Desainernya jago, nih, perpaduannya bersinerji tanpa ada kesan maksa.

Sehabis ngopi saya pulang ke rumah. Dan tau gak? Sepanjang hari itu hati saya terus dihantui penyesalan; Goblok! Kenapa saya gak ikut bersama perempuan itu tadi sore. Malamnya saya juga gak bisa tidur karena rindu pada seseorang yang bahkan namanya juga saya tidak tau.

Esok harinya, persis di jam yang sama seperti kemaren, saya datang lagi ke kafe tersebut. Duduk di tempat yang sama karena tempat itu sangat strategis untuk mengetahui jika perempuan yang saya rindukan muncul kembali.

Tik tok tik tok! Waktu terus berjalan. Iseng-iseng saya memesan beberapa kudapan berupa kue cucur dan kue tete yang dipamerkan di dalam sebuah etalase. Di sana tersedia berbagai macam kue jaman dulu tapi dihidangkan dalam bentuk yang lebih mewah daripada kue aslinya. Rasanya lumayan enak. Sementara musik jaman kolonial terdengar tidak terlalu keras sehingga pengunjung masih bisa ngobrol tanpa perlu harus berteriak.

Setiap 2 menit saya menengok ke luar jendela berharap perempuan yang kemaren nongol lagi. Ya, Tuhan, berilah kesempatan sekali lagi, hambaMu janji kali ini tidak akan mensia-siakan berkahmu ya, Allah. Sampai pukul 6 sore, tidak ada tanda-tanda kemunculan perempuan yang saya tunggu. Akhirnya saya pun pulang dan bertekad untung datang lagi esok hari di jam yang sama.

Seminggu berturut-turut, saya datang ke kafe itu, di jam yang sama, di tempat duduk yang sama, memesan kopi yang sama namun penantian saya ternyata tak kunjung tiba. Untungnya para waiter di situ sangat ramah. Ngeliat saya datang selalu sendirian, sesekali mereka mengajak ngobrol supaya saya tidak terlalu kesepian. Keramahan mereka membuat harapan saya yang mulai memudar kembali membara. When the world says ‘give up’ hope whispers, ‘Try it one more time.’

Setiap hari, Jam 6 menjadi akhir batas penantian. Di jam itu saya memutuskan untuk pulang dari penantian yang sia-sia. Saya keluar dari dalam kafe dan berjalan sepanjang trotoar. Peristiwa ini membuat saya memahami bahwa keberuntungan tidak pernah datang pada orang yang selalu ragu-ragu. Padahal kalo, waktu itu, saya mau ikut naik taksi barengan dengan dia, bisa jadi hidup saya berubah.

Ah, kafe ini adalah satu-satunya saksi di mana saya berada di persimpangan dan, gobloknya, saya telah memilih tikungan yang salah. Eh, nama kafe itu apa, ya? Baru nyadar kalo saya gak pernah memperhatikan namanya. Dengan segera saya berbalik badan dan berjalan kembali ke tempat semula. Sesampainya di depan kafe, saya membaca sebuah tulisan tepat di atas pintu; ‘Kafe Memori’.

Buset! Kok namanya begitu, sih? Apakah ini pertanda bahwa saya bener-bener gak akan pernah ketemu lagi dengan dia? Apakah bener pengalaman singkat itu hanya berujung pada memori? Tapi saya gak putus asa. Setiap hari saya masih tetap datang ke sana. Setiap malam saya berdoa, ‘Dear God, I’ve tried my best. If today I lose my hope, please convince me that your plan is better than my dream. Amen.

Sampai saat ini, walaupun tidak setiap hari, saya masih suka datang ke Kafe Memori. Seiring berjalannya waktu, udah gak jelas lagi apakah saya ngopi di sana karena kafenya atau karena memorinya. Hehehe…

______________________

“Sekarang saya ngerti perbedaan tulisan blogger dan storyteller. Thanks, Om Bud,” kata Riziek sambil menarik napas panjang. Dari suaranya, saya merasa ada sesuatu yang membebani pikirannya.

“Gue gak bilang tulisan gue lebih bagus, loh. Tulisan kita cuma berbeda genre,” sahut saya mencoba membesarkan hatinya.

“Maksud, Om Bud, gimana?”

“Tulisan kita beda kategori; seperti tulisan fiksi dan non-fiksi, seperti tulisan jurnalistik dan novel, seperti puisi dan roman. Kita gak bisa ngebandingin keduanya karena beda kategori.”

“Saya setuju. Kalo ngebandingin sesuatu harus apple to apple,” kata Sang Blogger. Ada nada kelegaan di dalamnya dan suaranya mulai kembali ceria.

“Betul. Begitu juga tulisan blogger dan storyteller, keduanya dua binatang yang berbeda. Dan buat gue tulisan lo keren banget,” kata saya sejujurnya.

“Maaf, Ombud,” tiba-tiba panitia workshop dari Mindstream Institute nongol, “Sudah jam 1, silakan dilanjutkan kelasnya.”

“Okay!” kata saya lalu pamitan pada Riziek, “Gue ngajar lagi, ya?”

“Thanks, Om Bud,” jawab Riziek

“Kita ketemu lagi sekitar jam 5 setelah workshop berakhir,” kata saya sambil berdiri menghadap pergi.

“Om Bud,” Tiba-tiba suara Riziek menghentikan langkah saya.

“Yes, Bro?” tanya saya.

“Kalo nanti workshop storytelling Om Bud ada lagi, saya janji mau ikutan.”

“Thanks, Bro.” Dengan langkah ringan saya berjalan menuju ruang workshop.

- Tamat -

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.