HOME SWEET HOME

HOME SWEET HOME

Sejak virus Corona melanda, rumah kami seakan menjadi saksi bisu beribu peristiwa. Bagaimana tidak? slogan study from home, work from home dan stay at home sudah menjadi budaya baru yang trending dan kekinian. Walau terlihat sederhana, tetapi di awal kata- kata itu hadir, kami semua masih meraba- raba di mana tempat nyaman dan aman untuk melakukan semua kegiatan tersebut. Suami memilih meletakkan laptop kantornya di atas meja tepat dekat pintu masuk rumah, kebetulan meja itu bersebelahan dengan lemari kayu yang menjadi penyekat dengan ruang nonton keluarga. Di sana wifinya juga sangat baik selama ini. Anak pertama memilih belajar di meja makan dengan laptop hadiah ulang tahun dari kami. Anak kedua dengan komputer biasa menggunakan meja di kamar tidur kami. Semua berjalan baik sampai suatu siang suara suami saya terdengar bergaung di ruang tengah setengah berteriak,

 

“Kalian bisa tenaaaang gak? Papa lagi video conference?”

 

“Saaay, tolong dong, anak- anak suruh tenang saya lagi ada meeting penting nich sama pak Boss!”

 

Anak kedua dan ketiga sedang asik dan berisik main pedang- pedangan. Mata saya melirik setengah melotot, dengan isyarat tangan menutup mulut saya langsung menyuruh mereka ke kamar tidur saya agar mereka melanjutkan permainan mereka di sana. Saya cukup kaget dengan kenyataan ini, bekerja dan belajar khususnya untuk keluarga kami ternyata membutuhkan suatu perjuangan tersendiri hehehehe.

 

Hari Rabu pagi itu suami saya memutuskan pindah kerja ke dalam ruangan tidur kami, bertukar tempat dengan anak kedua. Sebenarnya ada dua ruangan lagi di belakang, yaitu ruangan tidur anak- anak dan ruang tamu, keluarga kami menyebutnya kamar opung. Tiap kali opung atau keluarga kami datang pasti menginap di kamar itu. Tapi wifi kurang lancar jika dipakai di sana. Tristan anak tertua kami yang masih duduk di kelas 7 sepertinya sudah menemukan spot terbaiknya untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah di atas meja makan keluarga. Pilihan ruang tidur kami adalah tempat ideal untuk suami saya bekerja. Selain di ruangan tertutup, pemandangannyapun keren karena menghadap ke kebun belakang yang dipenuhi aneka jenis tanaman dan bunga.

 

Keesokan harinya suami saya berjalan dengan semangat sembari membawa laptop abu- abunya ke teras belakang rumah. Kali ini dia meletakkan laptop itu di atas meja bundar yang terbuat dari kayu. Keheranan saya mencoba bertanya dengan santai,

 

“Wah, ini keren banget sih pilihan kamu kerja di teras. Aku juga suka nulis di sini kadang- kadang. Btw kok gak jadi kerja di kamar tidur kita? Masih suka kedengaran suara anak- anak yah?”

 

“Gak kok, semuanya enak aja di kamar, wifi juga ok hanya aja…..angin AC kamar kita strong banget arahnya pas banget ke kepala. Kalo dimatiin, buka pintu ke arah taman kamarnya jadi panas lama- lama.” Mukanya seperti memberi sebuah pembelaan yang sangat bisa dimaklumi.

 

“Okay deh, moga- moga betah yah say di teras. Cuma mau ingetin di teras tuch kadang ada nyamuk, kadang gak, aku sih jarang digigit nyamuk hihihi.”

 

Spontan saya bergerak ke arah lemari dan mengambil lotion anti gigit nyamuk untuk bekal selama suami saya sedang bekerja di ‘tempat baru’nya itu. Well, hanya butuh dua hari untuk suami saya beradaptasi di sana sebelum akhirnya menyerah karena hawa panas dan nyamuk yang seakan ikut menemaninya saat bekerja. Laptop itu akhirnya menemukan ‘rumah’ di atas meja belajar di ruang tidur anak- anak.

 

Ketika istilah WFH-LFH pertama kali berkumandang bahkan hingga saat ini, saya disibukkan dengan kegiatan upload tugas dan video di aplikasi Seesaw untuk Dylan yang duduk di bangku kelas 4 juga Noel yang masih di kelas playgroup. Awal- awal saya menggunakan komputer namun belakangan ini lebih simple jika tugasnya diupload langsung dari hp saya. Google Meet diadakan satu kali dalam seminggu. Home learning sekarang canggih sekali bermodal password atau scan barcode dari guru sekolah, anak kita bisa melihat tugas yang diberikan sekolah, beserta deadline pengumpulannya. Namun dalam perjalanan pemakaiannya teknologi ternyata bagai koin bermata dua dan cukup memancing emosi penggunanya. Misalnya ketika internet sedang breakdown, legging, upload tidak berhasil, hp kepenuhan memori dan hal- hal lainnya. Saat hal ini terjadi komunikasi lewat Whatsapp menjadi jembatan penyelamat dalam proses komunikasi dan belajar antar anak- anak beserta gurunya. 

 

Ada hari dimana anak- anak begitu semangat mengerjakan tugas sekolahnya, ada hari-hari musti dibujuk dan dimotivasi. Disitulah tantangan seorang ibu rasanya benar- benar diuji hihihihi. Kalo dipikir- pikir lagi menjadi guru memang sebuah panggilan hati dan perlu kesabaran tingkat tinggi. Salut untuk guru- guru sekolah juga orang tua yang semenjak sekolah berpindah ke rumah sedikit banyak berperan jadi guru untuk anak- anaknya. Anak tertua menggunakan metode Google classroom dan google meet, sepertinya semua berjalan baik. Yang membuat saya takjub, suara gurunya sudah hadir jam 8 pagi dan mengabsen anak- anaknya layaknya sedang berada di dalam kelas betulan.

 

Hari Minggu adalah hari yang sangat ditunggu- tunggu. Kami sekeluarga akan menggunakan pakaian layaknya sedang ibadah di gereja, dan beribadah melalui streaming di ‘space’ kami masing- masing. Si Bungsu dan Asisten Rumah Tangga di depan tv di ruang keluarga, anak pertama dan kedua di komputer dekat pintu masuk rumah. Suami dan saya di kamar tidur anak- anak. Selain mendapatkan santapan rohani hari yang luar biasa hari itu juga kami berkesempatan memilih santapan jasmani kesukaan kami yeayyy. Hari itu kami biasa memesan makanan dari luar sehingga semua anggota rumah bisa istirahat dari apapun termasuk kegiatan memasak.

 

Work From Home bagi semua ibu rumah tangga adalah melakukan kegiatan yang disukainya selain kegiatan rutin. Kegiatan yang selama ini hanya angan semata akhirnya terwujud. Anak- anakpun kadang ikut serta dalam proses pembuatannya seperti saat mencoba berkreasi brownies coklat dan aneka pizza. Ada rasa bangga dan haru ketika melihat anak- anak lahap menikmati makanan yang mereka olah sendiri. Dibantu asisten percobaan resep barupun kadang dieksekusi misalnya tempe dan tahu isi ala tukang gorengan, ketoprak dan soto daging. Oh iya bakso coba- coba sendiri masih gagal sepertinya saya perlu belajar dari ahlinya hihihi. Selain memasak kegiatan melukis bareng anak- anak akhirnya terlaksana. Kanvas- kanvas kosong mulai terisi gambar dan lukisan. Profesi memotong rambut anak juga mulai saya geluti hahahaha. Dari semua kegiatan ada satu kegiatan yang wajib saya lakukan ketika ada waktu luang, yaitu menulis di website The Writers.id yang diprakarsai trio guru hebat: Om Bud, Kang Asep dan Kak Devina. Dalam prosesnya website ini dibangun oleh salah seorang anggota komunitas The Writers yang bernama Mas Wicak.  Komunitas ini selalu positif dan memberi inpirasi bahwa cita- cita menulis sebuah buku bukan hanya sebuah mimpi belaka. Sejak diajak mba Cyndha tetangga kompleks, saya merasa terlanjur kecebur ke ‘kolam renang’ yang bernama website The Writers. Kerennya lagi website ini sangat welcome dengan siapa saja yang tertarik mengisinya.

 

Selama masa pandemi ini area kompleks perusahaan kami tinggal mengadakan sebuah sistem drop off point untuk setiap pembelian bahan makanan dan barang via ojek online ataupun kurir. Selain membatasi jumlah orang dari luar yang masuk, sistem ini juga memberi rasa aman kepada para penghuninya. Selalu ada dua sekuriti yang menjaga meja drop off dan mereka akan menelpon penghuni rumah ketika pesanan datang. Semua barang tidak bisa diantar ke rumah kecuali pengantaran galon air. Group wa Rayon 5 kami begitu antusias dengan pesanan kolektif yang dikoordinasi salah seorang penghuni, mulai dari pembelian berbagai jenis air galon, kebutuhan harian dari pasar Klandasan, juga roti Na Min. Wa group rayon kami menjadi penuh canda tawa dan kehangatan. Rasa haru ini membangkitkan sebuah kesadaran bahwa manusia di belahan bumi manapun punya kebutuhan pangan dasar yang kurang lebih sama.

 

Selain tim medis, pahlawan yang saya kagumi dan hormati adalah para ojek online, pedagang di pasar, dan pedagang makanan. Mereka mau berinovasi dan berkorban sehingga pembeli tidak perlu keluar dari rumah. Begitu juga dengan keluarga dan teman yang mencoba mengadakan aksi sosial untuk sesama yang sedang terpuruk akibat pandemi virus Covid-19 ini. Buku agenda saya penuh dengan berbagai catatan no. rekening. Di jaman ini transaksi uang lewat online sangat memberi kemudahan dan kenyamanan untuk banyak pihak. Suami yang hari- hari sibuk dengan pekerjaan kantorpun akhirnya ikut menggunakan fasilitas banking untuk membatasi pergerakan keluar rumah.

 

Kirim- kiriman makanan menjadi salah satu hal yang sangat saya syukuri di masa pandemi ini. Prinsip tabur tuai yang ditanam keluarga kami memang nyata selalu dalam hidup kami. Ketika kami tulus berbagi makanan, secara ajaib kami mendapat balasannya, entah dari orang yang dibagi maupun yang tidak. Terlalu banyak untuk diceritakan makanan apa saja yang sudah sampai ke rumah kami. Mulai dari aneka kue tradisional sampai banana crumble dan croissant. Gak kalah makanan berat yang hadir ada sayur asem dan mie bakso sampai ayam betutu.

 

Seandainya rumah saya dapat bercerita pasti masih banyak cerita yang ingin dibaginya. Ribuan rasapun kerap dirasakan segenap penghuninya, ada rasa senang dan susah yang bertamu silih berganti. Menanti pertemuan kembali dengan keluarga dan teman, tidak sabar menjelajah tempat baru dan lama, lalu rasa rindu berkarya di luar rumah. Kumpulan rasa bak pelangi yang menghiasi di rumah akan kami coba lalui dengan modal semangat dan cinta. Teringat kutipan terkenal dari Mother Theresa,

 

“Love begins at home, and it is not how much we do…but how much love we put in that action.”

 

“Cinta dimulai di rumah, dan itu bukan seberapa banyak yang kita lakukan…tetapi seberapa banyak cinta yang kita lakukan dalam tindakan itu.”

 

 

Balikpapan, 2 Mei 2020

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.