Biarkan ‘Ku Ketukkan Langit

Aku sungguh bersyukur. Duri-duri dalam batinku perlahan terlepas. Bukan aku hanyut. Aku sudah lama menepi dan menatapnya terombang-ambing dalam ombak. Rangkaian kata-kata dalam batinku pun mengalir. Cukuplah aku sebagai bayangan dan biarlah aku “naikkan” doa saja untuk mengetuk langit-Nya.

Biarkan ‘Ku Ketukkan Langit
Fressia

“Ini Rara, kan?”

“Apa kabar?”, kubaca kalimat seolah dari seseorang yang aku kenal baik.

Sesaat terasa detak jantungku terhenti. Waktu pun terasa berhenti untuk sekian detik. Kerongkonganku otomatis tergerak menelan ketegangan.

“Siapa ini?”, gumamku dalam hati sambil merebahkan diri sekadar meluruskan kembali otot-otot yang terasa menegang setelah wara-wiri dengan urusan rumah di pagi hari.

Pagi hari yang hectic dengan segala hal. Mulai dari PJJ (pembelajaran jarak jauh) anak-anak, menyiapkan makan pagi, membersihkan teras dari jejak-jejak kaki kucing adopsi yang aktif di malam hari. Pesan itu seolah membuatku beku terdiam sejenak dengan kelopak mata yang terasa membuka lebih lebar memandangi layar telepon genggam.

Sudah sekian lama aku tidak mendapati kalimat chat dengan sapaan akrab seperti ini. Aku sudah tak lagi di usia 20 tahunan-an, jaman ketika single dan tidak terikat dengan siapa pun. Jadi, ada sisi diriku yang sudah mulai canggung dengan sapaan seperti itu dari lawan jenis. Aku bingung harus bagaimana.

“Sungguh absurd”, komentarku sesaat.

Aku langsung berpikir spontan saja bahwa ini adalah orang salah kirim pesan.

“Mungkin karena kesamaan nama di akun media sosial atau apa”, pikirku kemudian.

Tanpa pikir panjang, aku pun memberikan balasan datar saja.

“Siapa ya ini? Salah orang ya.”

“Ini Rara yang pernah kuliah di Belanda, kan?”

Good morning. Ini Kiki.”

“Kiki??? Kiki yang pernah kuliah Sosiologi?”

“Iya ini aku. Kita kan kan satu kelompok waktu itu.”

Tak salah lagi, ini memang dia. Memoriku langsung terbayang akan wajahnya ketika dulu. Dia yang selalu membawakan dirinya sebagai sosok kalem, pendengar yang baik, penuh empati terhadap orang lain, dan tidak pernah melontarkan kata-kata penuh judgement.

“Ahh … legaaaa, akhirnya bisa ngobrol lagi sama kamu”, komentarnya kemudian.

Ada rasa lega berkecamuk bingung harus bagaimana, dan mengapa baru sekarang hal ini terjadi dalam hidupku. Mengapa setelah penantianku bertahun-tahun, dia baru muncul.

Mulai ada rasa penyesalan dan memori langsung dibawa terbang tanpa beban ke masa-masa yang telah lalu. Tanganku seolah ada yang menarik untuk berlari kembali ke belakang. Lalu, melihat kembali masa-masa di saat perasaanku hancur berkeping-keping, tanpa ada kata yang sanggup terlontar. Hanya air mata yang membasahi sajadah. Bahkan hatiku sendiri seolah tak membuka ruang untuk merasa bahwa aku sedang sedih.

Hatiku sakit. Ingin rasannya aku berteriak di dalam kamar asrama. Aku ingin teriakkan saja kesedihanku ke luar balkon yang menghadap dengan dengan lautan lepas, tempat aku memandang dari kejauhan tentang sesosok yang aku cari dalam hidup. Walaupun akhirnya aku hanya bisa menangis dalam simpuh, dan mengakui bahwa aku tak menemukannya.

Hari itu, hatiku terasa sakit lagi. Namun, di sisi lain entah mengapa ada pula hinggap rasa lega dalam dadaku. Aku simpan saja kesan pertama dari chat di hari itu.

“Kamu lagi ngapain?”, tanyanya kemudian.

Berhubung sudah memasuki masa pandemi, jawabanku standard saja. Pusing rasanya, pikiranku bercabang-cabang. Berurusan dengan PJJ, aku harus terjun benar-benar menjadi guru dengan porsi yang lebih banyak. Padahal, mengajar anak memang bukan hal yang asing lagi bagi saya. Saya memang sudah terbiasa menempatkan diri sebagai guru yang memberikan pelajaran sekolah tambahan di rumah. Sekadar memantapkan pemahaman anak saya saja, agar lebih mantep lagi.

Obrolan kami pun, layaknya obrolan dua teman lama yang memang sudah hampir 15 tahun tak pernah sama sekali ada komunikasi. Kami mulai ngobrol dengan hal remeh-temeh saja. Sementara aku menjawab dengan pendek-pendek saja. Seperti ada firasat bahwa hati harus siap mengantisipasi sesuatu.

Setiap kali ada jeda pada kolom chat, aku langsung mempersiapkan diri dengan pertanyaan yang mungkin tidak aku harapkan. Yaa….aku sebenarnya tidak mengharapkan ada pertanyaan atau obrolan yang mengurai kisah kami di masa lalu. Kami memang berteman baik. Tapi pertemanan tidak selamanya berjalan sebagaimana mestinya.

Obrolan kami pun akhirnya memasuki tentang kedudukan kami yang telah berkeluarga dan sama-sama dikaruniai anak. Layaknya para orang tua muda, kami pun bertukar informasi tentang aktivitas anak-anak. Beberapa saat kemudian, tibalah saatnya jadwalku untuk terjun ke dapur untuk memasak makan siang. Mulailah Ketika itu dirinya nyerempet-nyerempet memori lama.

“Ah…inilah yang sangat tidak aku harapkan.”

“Mengapa ini betulan kejadian”, sesalku dalam hati.

Luka lamaku perlahan kembali terekspos. Benang-benang jahitnya satu per satu terlepas, hingga dadaku terasa sakit dan pipiku mulai basah. Mengapa dia muncul seperti ini. Anganku terbawa terbang melalui tatapan kosongku ke arah jendela, membisikkan kata hatiku, dan menerbangkannya ke langit.

“Mengapa….mengapa….harus sekarang, Yaa Tuhan.”

“Tolonglah aku”, lirihku pedih dalam hati.

Yang paling menyiksa adalah bahwa aku tidak sedang sendirian di rumah. Ada suami dan anak-anak yang jika sampai melihatku tersiksa begini, sungguh bisa gempar suasana rumah. Apalagi anak-anakku sungguh halus perasaannya, dan tidak pernah rela ada satu titik pun air mataku yang jatuh.

Aku coba tenangkan diriku dengan menarik napas dalam-dalam. Kubiarkan air mataku terjatuh di atas irisan bawang merah. Padahal mataku sudah resisten. Tak pernah aku rasakan lagi mataku terasa perih ketika mengirisnya. Mungkin sudah kebal karena setiap hari memasak.

“Aku masih belum bisa melupakan kamu, Ra?”

“Sudah terlambat, Ki. Kita sudah berbeda sekarang. Kenapa kamu harus ucapakan itu sekarang?” lanjutku seketika.

“Aku tahu kita sudah berbeda sekarang. Aku coba bertahun-tahun melupakan kamu.”

“Aku sempat menunggu kamu, Ki.”

“Menunggu kamu untuk datang kembali dan kita perbaiki keadaan.”

“Rara, dulu aku pikir cara yang paling tepat untuk melupakan kamu adalah dengan membenci saja karena kamu udah melukai perasaan aku.”

“Tapi aku ternyata salah.”

“Bertahun-tahun aku coba sekuat tenaga tutup memori masa lalu.”

“Walaupun memang hanya satu pekan saja, aku merasa begitu dekat dan diterima oleh kamu…tapi ternyata tetap berat rasanya melepas kamu.”

“Ki, dulu ketika aku masih di Belanda, aku coba hubungi kamu via YM (yahoo messenger) dan e-mail.”

“Tapi, apa yang aku dapat, hanya halaman kosong.”

“Tak ada jawaban apapun dari kamu, Ki”.

“Aku betul-betul menyesal, Rara.”

“Aku telah lari dari kamu hanya karena merasa kecewa dengan kamu tanpa tahu pasti penyebabnya apa kamu membuat keputusan demikian.”

“Padahal aku tahu banget kamu sedang terluka parah karena dia.”

“Andaikan aku beri kamu waktu lebih lama”, imbuhnya lagi.

Aku pun mencoba memahamkan dirinya bahwa aku minta maaf karena ga terbuka sepenuhnya tentang keadaan hatiku yang masih dalam keadaan terluka oleh dia yang lain.

“Aku merasa ga seharusnya membuka diri dulu untuk kamu karena aku ga ingin dalam kepura-puraan,” jawabku cepat.

“Kamu tetap yang terbaik untukku, Ra.”

“Tanpa aku sadari, masih ada doa yang terselip untuk bisa bersama kamu, walau entah bagaimana aku pun nggak tahu.”

Kami hanya bisa menangis bersama lewat percakapan itu. Keterbukaan yang terlambat untuk diupayakan. Seperti halnya menggenggam angin, kami hanya akan merasa lelah tanpa memperoleh apa-apa.

Peristiwa itu membuatku terpuruk secara batin karena jauh sebelum kejadian chat pertama itu, aku pernah menulis sesuatu dalam diary tentangnya. Apakah ini pertanda ada kesamaan rasa bahwa ada sesuatu yang tertinggal di belakang yang belum usai. Ada awal tanpa ada akhir?! Sungguh jika bukan dengan cahaya keimanan dan percaya akan takdir, maka kami benar-benar tak menemukan kesamaan kalimat mencapai kata “akhir”. Lebih tepatnya harus diakhiri karena memang sudah tak layak dilanjutkan.

Ingin rasanya aku katakan hal yang sama, walaupun itu sudah lama berlalu dan tak layak aku ceritakan. Apa daya aku balut saja rasa yang tertinggal ketika itu, dengan puisi. Setidaknya dengan adanya kata-kata yang kutuliskan, ada beban yang terasa berkurang dari hati. Walaupun, kata-kata itu mungkin tak sepenuhnya dimengerti, aku memang tak butuh itu. Bagiku, itu sudah tak penting lagi.

Sekian malam, aku habiskan waktu beberapa saat meraba perasaan yang semakin berdarah-darah karena ketidakberdayaan atas takdir-Nya yang telah menjauhkan kami. Bukan takdir yang kutolak. Namun, masa “menunggu” yang menguras hati dengan menyisakan residu perasaan terdalam, sungguhlah toksik bagi batinku. Menanti jawaban atas itikad baik memperbaiki keadaan, tak kunjung tiba. Hingga akhirnya, pinangan lain pun datang membiarkannya mengendap seperti endapan ampas kopi. Tak peduli sebening apapun air yang dituang, ampas memori itu tak pernah larut dan habis. Memori itu akan selalu ada, mengendap menembus waktu beriringan dengans irama kehidupan yang berjalan.

Sekiranya kami sedang mengarungi lautan lepas, kami sudah berada dalam perahu yang berbeda. Arus gelombang lautan yang kami hadapi tak lagi sama. Alam sekitar kami sungguh jauh berbeda, terpisah jauh oleh daratan dan samudera.

Beberapa hari sejak chat pertama itu, aku jalani dengan rasa tidak menentu. Kadang jiwaku terasa seperti daun kering yang pasrah terbawa angin memori dalamku, entah berhembus ke mana. Kadang pula di saat yang sama, logikaku memilih menjadi kuat berdiri tegang seperti batang pohon yang tak gentar dengan angin kencang penuh godaan masa lalu.

Aku pun tetap menjalani aktivitas bersama keluarga di rumah. Angin di bagian luar jendela dapur pun menyelinap ke dalam menyapaku yang sedang bereksperimen rasa dan tekstur di depan kompor. Terasa ada kesejukan sejenak. Ada haru biru perasaan yang buatku termangu beberapa saat ketika memandangai sederatan bahan masakan yang harus aku segera olah. Beberapa chat dari dirinya dengan serta merta masih mampir menggetarkan telepon genggamku. Beberapa hari itu, aku harus relakan mataku membaca kebenaran demi kebenaran dengan tekad kuat bahwa akarku tak pernah goyah.

***

Tahun yang satu dan yang berikutnya saling menyambung berlalu di hadapanku, namun tetap saja masih ada yang tersisa dalam benakku, Rara. Ingin aku buka tabir, namun entah bagaimana. Pertanyaan itu aku pendam dan selalu menyesakkan dada, meskipun aku telah berkeluarga dan dikaruniai anak.

Suatu ketika berita penyebaran virus baru SARS-Cov2 penyebab Covid-19 menyeruak. Awalnya terbatas di Wuhan, China. Namun kemudian, virus tersebut makin merambah ke banyak negara. Hingga suatu saat, aku mulai khawatir dengan gejala yang aku rasakan selama beberapa hari, setelah status pandemi Covid-19 baru beberapa bulan saja ditetapkan oleh WHO.

Mungkin inilah resiko yang harus aku terima sebagai tenaga lapangan di sebuah perusahaan milik asing, ya Ran. Akhirnya aku memutuskan untuk isolasi mandiri di rumah untuk mencegah hal-hal yang tidak inginkan.

Demi tujuan sehat, tanpa aku sadari, ternyata momen itu justru menjembatani batin dan akalku ke masa-masa “penebusan” waktuku yang telah hilang tanpa kamu. Iya, hanya dan akan selalu kamu, Rara. Entah kenapa, kilasan-kilasan itu muncul kembali. Memang sih, ini bukanlah yang pertama kali.

Setelah sekian lama, beribu kali matahari terbit dan terbenam, entar berapa puluh kali siklus bulan terlewati, wajah kamu doang yang masih aja setia mengisi memoriku. Tak jauh berbeda dengan perasaanku yang sesungguhnya. Ketika itu, aku cukup katakan ini pada diriku,

“Kamu layak aku benci.”

“Kamu sungguh telah menjadi musuhku.”

Namun, pada akhirnya aku harus akui. Dengan rasa gondok aku katakan ini pada diriku,

“Hanya kamu yang aku mau.”

“You are my True Love.”

Seperti halnya judul lagu karya Fuji Fumiya. Sungguh aku merasa kehilangan.

“Di mana kamu sekarang ?!”

Entah berapa kali, kata-kata hatiku itu berulang kali muncul dan pergi sejak kehilanganmu. Mungkin sejak kamu memutuskan agar kita sudahi saja, lalu tak lama kemudian kamu harus terbang ke negara impian kamu.

Ra, ternyata yang kubutuhkan memang sehat lahir batin. Tidak hanya sehat untuk masa kini, sampai-sampai kebutuhan untuk “menyehatkan” masa lalu pun makin terasa. Tahun 2020 tak kusangka “menarikku” kembali menoleh ke belakang mengenang masa-masa penuh mimpi di kampus targetku, Ra.

Tentu saja, ketika SMA aku tidak pernah bercita-cita atau bahkan membayangkan akan bertemu the one and only di sana. Setiap mataku terpejam, seolah benakku akan otomatis bercerita tentang kamu. Bila perlu, rasanya aku ingin tempelkan keinginanku itu ke dalam tulisan dengan huruf besar-besar dan bold font.

Akhirnya, pencarian jawaban pun mulai aku jalankan. Radar digital pun mulai aku ON-kan.

Begitu rangkaian kata-katanya kubaca, seketika itu pula aku merasa ada yang menarik benakku begitu dalam. Terus menyelam di kedalaman memoriku yang sempat aku enyahkan dengan susah payah. Terus...dan terus...kembali terbaca alam pikirannya  dalam memoriku.

***

Delapan belas tahun yang lalu,

“Oh, kenapa aku tiba-tiba merasa sudah menua...hehehe”, hatiku tergelitik.

Hari yang bersejarah sampai-sampai tumbuhan rambat di gerbang kampusku itu selalu menyambutnya dengan bermekaran menebarkan warna jingga cerah. Iya...inilah masa penerimaan mahasiswa baru. Momen natural inilah yang akan selalu dapat membuat mahasiswa baru manapun mengingatnya.

Matahari pagi menghangantkan kami, para mahasiswa baru yang sudah sejak pagi berbaris di lapangan luas nan hijau. Kami dipimpin oleh seorang “danlap” alias “komandan lapangan” yang sok gaya memakai jas almamter sambil memegang toa. Lalu, dengan penuh percaya diri, dia pun memimpin pembukaan acara ospek kampus. Iyaa...aku dan teman-teman baruku siap mengarungi kehidupan kampus, yang kini rumput halamannya sudah kami berhasil kami “injak”.

Aku tak ingat dalam kesempatan apa, mataku tiba-tiba tertuju pada seseorang berseragam SMA yang memakai sepasang jepit rambut dan tampak riweuh dengan atribut ospeknya. Wajahnya sungguh polos. Entah yaa kalau wajah lulusan anak SMA jaman sekarang kayaknya ga akan sepolos dia, hehehe... Tak teringat ada sesuatu yang spesial dengannya karena memang aku tak ada kesempatan untuk berkenalan dengannya. Aku memang belum mengenalnya ketika itu. Tidak ada kesempatan aku bertegur sapa satu kalipun dengannya.

Namun, beberapa tahun kemudian, ternyata ceritaku ini berlanjut. Satu semester di tahun awal masa perkuliahan pun berlalu, kulihat dia telah berbeda. Ada rasa kagum terasa dalam hati. Walau baru sebatas itu, aku senang saja ketika ada kesempatan melihatnya walaupun hanya dari kejauhan.

“Romansa apakah ini?! Cieee...”, ejek hatiku sendiri.

Waktu demi waktu, masa-masa perjuangan mengejar nilai mulai selalu mengisi hari-hariku. Aku memang bukan berasa dari keluarga yang kaya. Orang tuaku hanyalah PNS di daerah terpencil. Aku kuliah merantau saja, mereka tak yakin bisa terus mampu membiayaiku. Oleh sebab itulah, aku harus terus mempertahankan nilai-nilai yang bagus bahkan sempurna supaya mudah mencari beasiswa untuk menopang kehidupan dan biaya perkuliahan.

Setelah ospek kampus, para mahasiswa baru pun harus menempuh ospek berikutnya yang diadakan oleh himpunan mahasiswa di masing-masing jurusan. Sudah tradisi bagi para mahasiswa masing-masing jurusan untuk berlari-lari mengelilingi kampus dalam masa ospek jurusan ini. Entah sekadar menebar pesona atau apa, hehehe. Yang aku tahu, ada satu jurusan yang ketika para mahasiswa barunya ini melintas lari-lari sambil yel-yel, bikin rasa penasaran bagi kami para cowok yang jumlahnya menjadi mayoritas di jurusan. Inilah salah satu ironi yang ada di kampus ini, hehehe....

Suatu ketika, aku lihat lagi sosoknya itu. Aku masih ingat betul, dia sedang kenakan seragam lapangan. Memakai kemeja kotak-kotak nuanasa biru dengan celana lapangan warna krem. Entah kenapa, membuat hatiku terasa ada lonjakan gelombang khusus. Walaupun aku sendiri belum menghitung nilai amplitudo apalagi panjang gelombangnya, hehehe. Yang aku ingat, ada rasa

            “Eh, itu dia.”

Memasuki tahun kedua perkuliahan, ga disangka ga dinyana.

            “Eh, itu dia lagi”, pikirku.

            “Bentar-bentar...dia sekelompok nih sama aku.”

Kami ternyata sama-sama mengambil mata kuliah umum pilihan Sosiologi di semester ganjil Ketika itu. Jadi, ada kewajiban bagi mahasiswa untuk mengambil beberapa SKS mata kuliah umum sebagai syarat kelulusan program sarjana. Ada saatnya, ketika kuliah bertemu dengan multi-angkatan dan multi-jurusan. Saat itu, memang belum banyak teman-teman seangkatan yang mengambil mata kuliah ini. Umumnya, memang mata kuliah umum pilihan ini memang mulai diambil di semester ganjil di tahun ketiga oleh para mahasiswa. Rupanya ada kesamaan target belajar yang diambil oleh kami berdua.

Di pertemuan pertama mata kuliah Sosiologi itu, dia duduk di depanku. Setelah pengumuman pembagian kelompok selesai, entah bagaimana akhirnya kami bisa berkumpul duduk dalam satu area sebagai satu kelompok yang sama. Akhirnya, momen perkenalan pun tiba. Ada perasaan senang bercampur aduk dengan rasa canggung.

            “Oh, ini toh namanya.”

Daaan....aku pun sungguh semangat jika momen mata kuliah itu tiba di tiap pekannya. Di situlah, aku bisa berinteraksi dengannya. Yang aku ingat, dia ini aktif sekali di kegiatan-kegiatan kampus. Rasanya setiap sudut kampus, mungkin pernah dia datangi atau dia “injak” bersama teman-temannya dalam rangka berbagai program. Aku beberapa kali melihatnya dari kejauhan.

            “Sibuk banget nih ini anak, ga ada capek-capeknya deh.”

            “Di sini ada...di sini ada. Meni loba kahayang pisan.”

Sungguh berkebalikan dengan aku yang memilih tidak banyak bicara, selain menyimpan rasa kagum yang penuh untuknya. Tak jarang, aku pun sering melihatnya ketika masa waktu sholat tiba ataupun ketika waktu sholat telah usai. Makin lama kekagumanku makin bertumbuh menjadi perasaan yang lebih. Mulai kurasakan cemburu ketika ada teman cowok lain yang bisa membuatnya tertawa dan tersenyum dalam momen diskusi. Akan tetapi, jelas aku melihat dia sungguh menjaga adabnya ketika berinteraksi dengan lawan jenis.

“Ga macem-macem nih anak...cool”, terbersit dalam hati aku.

Suatu ketika, sang dosen mata kuliah umum ini mengumumkan ada tugas kelompok untuk membahas suatu topik perkuliahan. Topik yang diangkat harus berdasarkan kesepakatan internal kelompok dan tetap relevan dengan materi perkuliahan yang diambil. Akhirnya, makin seringlah kelompok kami ini bertemu di luar jam mata kuliah reguler untuk membahas pembagian kerja dalam kelompok. Kami biasa pilih duduk berdiskusi di bawah pohon rindang di sebelah sebuah lapangan basket. Kalau udah duduk di sini, dijami adem lahir batin deh.

Kami pun akhirnya mulai dengan pembagian tugas. Daaan...melalui voting, ternyata aku dan dia dapat tugas yang sama, yakni studi literatur. Akhirnya, kami pun memulai studi literaturnya di perpustakaan kampus. Namun, akhirnya kami berkesimpulan yang sama bahwa kami masih butuh tambahan referensi. Kami pun memutuskan untuk ketemuan di perpustaan kampus “tetangga”.

Suatu hari, kami pun membuat janji untuk bertemu di perpustakaan tersebut. Ada perasaan senang, ketika kembali berjumpa dengannya. Seru aja...ada perasaan senang campur dag dig dug bisa berbagi ide dan pendapat dengan dia secara langsung, walaupun masih dalam konotasi formal demi tugas kuliah. Dari sanalah aku mulai bisa menilai kualitas intelektualnya. Makin salut saja rasanya dengan sosoknya.

Saya sangat suka dengan semangatnya dalam belajar. Tidak hanya soal hardskill, perjuangannya dalam menggali potensi atau softskill-nya pun sangat jelas terlihat dengan keaktifan dia melalui berbagai kegiatan kampus, lintas jurusan dan lintas angkatan. Ingin rasanya jika aku melihatnya, aku langsung memanggilnya.

Tetapi, entah mengapa dia terasa sungguh jauh. Di sekelilingnya selalu saja ada teman yang menemani. Kalaupun sedang terlihat sendiri, pasti dia sedang terlihat sibuk dengan langkahnya yang terburu-buru, setengah berlari, bahkan aku pernah melihatnya berlari sangat kencang. Mulai ada perasaan khawatir, ingin melindungi.

Setelah sekian waktu berkuliah di sana dan ada beberapa kali kesempatan aku ingin menyapa tapi tidak bisa. Namun, rupanya beberapa teman dekatku akhirnya mulai nyadar dengan gelagatku.

            “Ki...ki....tuh, itu dia.”, goda teman-teman jahilku.

Dan aku pun hanya tertawa pasrah. Hanya bisa melihat dan melempar kagum dari kejauhan. Sampai pada akhirnya kami pun bisa dikatakan menjadi teman, bukan lagi sekadar kenalan sebagai rekan satu kelompok di mata kuliah umum itu.

Aku mulai merasa mengenalinya lebih dekat. Namun, entah berapa kali juga aku urungkan niatku itu dan mesti melihatnya seperti sedang dekat dengan yang lain. Dia ini memang banyak juga fans-nya. Hmm...kayaknya ada deh di tiap jurusan. Yaa senasib lah fans-fans itu sama aku. Kami harus cukup puas saja dengan memandangnya dari kejauhan. Melihat wajah teduhnya saja, udah langsung berasa lagi di padang rumput indah di bawah pohon rindang sambil minum es jeruk di siang hari bolong. Ditambah bayangan, minumnya itu ketika break ospek jurusan setelah entah sekian kali putaran lari keliling lapangan stadion sambil menggendong carrier seberat 20kg, halah....

Akhirnya hari kelulusan sarjana pun tiba. Kami diwisuda di waktu yang sama. Namun, karena kami memang berbeda jurusan, kami tidak bertemu di gedung tempat pelaksanaan wisuda. Namun, kami bertemu ketika dia dan orang tuanya sedang berfoto-foto di landmark spot di dalam kampus. Kami pun saling bertegur sapa, dan di sanalah aku pertama kali dikenalkan dengan orangtuanya. Ada keringat yang tiba-tiba terasa mengalir deras di punggung dan menetes di pelipisku.

Kok, aku deg-degan gini sih.”

Seketika itu pula, ada kekagumanku sendiri sebagai laki-laki kepada perempuan yang disukainya yang ketika itu berpenampilan berbeda dengan kebaya dan toga. Aku langsung istighfar dan seketika itu pula memalingkan wajah dan berlalu dari hadapannya setelah perbincangan singkat. Namun, tetap saja setelah beberapa langkah, aku lemparkan kembali pandanganku kepadanya yang masih asik mengatur posisi berfoto dengan orangtuanya.

            “So sweet banget sih dia”, hatiku berbisik pelan.

Sekian pekan berlalu pasca wisuda sarjana, ada kalanya kami masih bertemu di kampus untuk mengurus berbagai urusan administrasi untuk melamar kerja dan sebagainya. Tak sedikit pun perasaanku berubah padanya, walaupun aku tahu hatinya sudah tertambat dengan seseorang. Bagiku, keteduhan senyuman sederhananya, tutur katanya yang selalu sejuk, membuatku tetap merasa nyaman sebagai seorang teman.

Suatu ketika, aku tahu bahwa hubungannya dengan “dia”-nya dia sudah berakhir. Aku bisa tahu bahwa memang hubungan mereka serius, bukan main-main. Ada komitmen besar yang telah mereka bangun untuk bisa berumah tangga suatu saat. Namun, memang mereka masih ingin mengejar mimpi-mimpinya yang berbeda takdirnya. Belum lagi ada masalah dalam persoalan karirnya yang mungkin tidak semulus yang dia bayangkan. Padahal aku yakin akan kualitas dirinya, sungguh merupakan aset bagi perusahaan manapun yang meng-hire­-nya.

Di suatu sore, aku menerima SMS bahwa dia minta untuk bertemu. Katanya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan dan diskusikan. Rupanya, di saat itulah aku pertama kali melihat air matanya menetes deras, sederas Bengawan Solo. Aku bisa rasakan perih hatinya ketika itu. Betapa tidak, aku melihatnya menangis tapi tak mampu berbuat apapun to ease the pain. Aku ikut tersiksa...aku bingung. Namun, memang dia punya mental baja. Akhirnya, dia pun bangkit dan pulang menyetir mobil sendirian menembus dinginnya malam.

Hari demi hari berlalu, aku pun tak bertemu dengannya lagi karena aku pun disibukkan dengan urusan riset proyek dosen yang harus aku kerjakan. Suatu saat, kami pun bertemu lagi ketika akan naik kendaraan umum. Rupanya dia sudah akan pulang, entah ada urusan apa di kampus. Aku pun tidak ingat pasti di momen itu. Yang aku ingat, dia sudah mengirimkan aplikasi beasiswa ke Belanda untuk program master. Aku sungguh senang melihat lagi matanya berbinar penuh harapan.

Beberapa kali ketika kuliah pun, aku sempat memandangi bola matanya yang coklat jernih ketika dia sedang berpaling. Kupandangi matanya dan hatiku terasa hanyut dengan kejernihan hatinya dalam bertutur dan bersikap.

            “Inilah wanita yang aku cari selama ini.”

            “Namun, mengapa kau terasa begitu jauh bagiku.”

Tibalah saatnya, aku akhirnya memberanikan diri tentang perasaanku yang sebenarnya, tanpa bertanya keadaan batinnya setelah putus dengan “si dia” yang telah terbang jauh menempuh cita-citanya. Tidak disangka, dia berkata “iya”. Sungguh tidak bisa dipercaya.

Walaupun begitu, ternyata memang “waktuku” tak lama dengannya. Sungguh aku tak punya firasat apapun. Satu pekan kemudian, dia memilih mundur untuk berikhtiar serius denganku. Di situ aku speechles. Kecewa luar biasa, tanpa memilih banyak berdialog. Dengan egoku, aku pun memutuskan untuk cukup dengan membencinya saja. Aku berharap dengan begitu, dia akan benar-benar lenyap dari hatiku. But I was totally wrong. Aku pun akhirnya tahu, dia akhirnya lolos beasiswa master dan terbang jauh meraih mimpinya di Negeri Kincir Angin. Aku pun kembali fokus dengan jalanku sendiri.

***

Membaca sebuah kejujuran tanpa paksaan adalah derita, sekaligus jawaban. Namun, apa daya. Apa yang bisa kubuat. Aku hanya sanggup membantunya menemukan perahu yang baik untuknya. Agar arah lajunya kembali full speed ke depan. Aku tempatkan diri hanya sekadar menolehnya, lalu aku kembali hadapkan badanku menghadap semak belukar dan memilih satu di antara dua jalan menuju hutan tropis yang kaya akan kehidupan.

Perlahan, apa yang kusampaikan dapat diterima dan luka batinnya pun terobati. Aku sungguh bersyukur. Duri-duri dalam batinku perlahan terlepas. Bukan aku hanyut. Aku sudah lama menepi dan menatapnya terombang-ambing dalam ombak. Rangkaian kata-kata dalam batinku pun mengalir.

 

Biarkan ‘Ku Ketukkan Langit

(3 Maret 2021)

Tak ada lisan yang sanggup teruntai

Untuk cukupkan kesan pasti

Selain isyarat hati

‘Tuk ketukkan langit yang tampak membisik

Simak kehidupan di luar ekspektasi

 

Biarkan aku menjadi bayangan

Yang selalu mengiringi langkah berarti

Dengan sinar-Nya maka akan tampak

Dengan gelap-Nya ‘ku pun kan pudar

Berpendar bersama cahaya bintang kalbu nan suci

 

Maka biarkan ‘ku ketukkan langit

Dengannya hujan pun akan tercurah bicara

Tentang gambaran hati yang takkan terhapus

Lalu melarut ke dalam jejak langkah berpasir

Yang mungkin terhenti sebab ketidakberdayaan

Atas Kuasa-Nya yang mengukir kisah pahit

 

Biarkan itu semua menjadi kenangan saja. Aku, my real me, tidak ingin seterusnya menjadi bagian dari masa kini miliknya. Cukuplah aku sebagai bayangan dan biarlah aku “naikkan” doa saja untuk mengetuk langit-Nya. Jodoh dan kematian adalah hak-Nya, sungguhlah angkuh jika manusia ingin mengaturnya. Yang Kuasa tak pernah salah dalam menentukan apa yang menjadi hak jalan bagi para hambanya. Biarkan diri kita berusaha, dan biarkan pula Tangan-nya berikan Yang Terbaik untuk kita. Hukum telah Dia tetapkan di muka bumi yang eksis sejenak, bukan untuk melalaikan. Melainkan menjadi bekal demi hari keabadian.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.