I'm Not Lesbian

I'm Not Lesbian
Image by pixabay.com

Muka bulat, rambut berponi dengan kacamata bulat pula dan kawat gigi yang sudah tidak karuan warnanya benar-benar menyempurnakan identiknya seorang Diani. Ditambah dengan cara dia merespon obrolan teman-teman, terkadang kita semua ingin tepok jidat, jidatnya Diani.

 

Belum lama kami kenal Diani, dia adalah siswa pindahan dari Kalimantan yang terpaksa pindah ke Bandung karena tugas orang tuanya seorang Jenderal Bintang 3.

Satu kelas di kelas 9 C, menurutku Bu Shinta sebagai Wali Kelas keliru menempatkan Diani di kelas ini. Kami, termasuk saya tentunya adalah biang kerok sekolah. Ada saja ulah yang kami buat sampai Bu Shinta saja lebih memilih diam di ruangannya daripada harus memarahi kami karena saking seringnya kami buat ulah.

 Tapi yang membuat Bu Shinta enggan untuk komentar karena kami selalu dapt membuat wangi nama sekolah.

 

Perkenalkan, saya Roro adalah Juara Kimia se Bandung Raya.

Lalu kami punya Galih yang merupakan Juara 1 Olimpiade Kimia se Jawa Barat dan kami pun punya Ab Three ala ala, Ninok, Melda dan Sari adalah cewek-cewek tengil yang paling bahagia kalau dihukum karena terlambat sekolah bahkan sengaja terlambat karena kebiasaan Pak Kepsek adalah menghukum siswanya menyanyikan Indonesia Raya 10 x sambil keliling lapangan basket.

Ya Salaaaaaam, hukuman ini menyenangkan buat mereka, katanya lapangan basket ini adalah awal mula kita melakukan konser. Gila kan?.

 

Kami adalah siswa kebanggan Bu Shinta tapi Bu Shinta  gengsi mengakui. Hubungan kami sangat baik, sebandelnya kami masih sopan dan tidak berani kurang ajar terhadap guru-guru kami. Maka dari itu pihak sekolah terkadang membiarkan kami apa adanya.

 

Rupanya bukan mau Bu Shinta menyimpan Diani di kelas 9C, Diani dan ayahnya sudah tanya kesana kemari, kelas yang cocok untuk Diani. Loh ko mereka yang cari sih.

Agak mengherankan.

 

Ayahnya merasa berduit, beliau ingin Diani berkembang dan mengikuti trend anak masa kini. Tapi sayangnya penilaian kami terhadap Diani tidak seperti yang ayahnya nilai, buat kami Diani termasuk kategori trend anak “masa gitu”.

 

Sejujurnya kami tak berhak menghina, bahkan ketengilan kami hanya sampai saling menghina satu sama lain yang memang masih dalam kategori bercanda atau paling strong adalah memanggil kami denga panggilan bapanya. Tidak pernah kami menghina sampai ke ujung kuku. Eh ko ke ujung kuku sih .

 

“Sueb, liat PR Fisika dong. Semalam ketiduran terus pas udah siap mau kerjain PR eh tukang mie tektek lewat, ngobrol dulu sama tukang mie. Eh tau ga, ternyata ya keuntungan jual mie tek tek lumayan tau. Abangnya bilang, satu malam saja dia bisa menjual 100 porsi mie tektek. Modal 1 porsi 5 ribu aja dan dia bisa jual 15 ribu. Gila ga tuh 10 ribu satu porsi untungnya. Gimana kalo kita ikutin jejak si Abang Mie?. Mau Ga?”.

“Euuuuh, Mastur. Nyontek PR aja Panjang bener urusannya. Noh ambil di tas. Gue simpen di selipan belakang, deket penggaris 30 senti terus di depannya ada kain bekas ingus gue, nah lu buka deh resletingnya terus abis itu..”

 

“Sama aja lu Sueb, dah diem lu biar gue ambil sendiri”

 

Hahahahaha, Mastur eh Rona marah.

 

Rona ini salah satu pelanggan percontekan PR gue, banyak basa basinya, karena keahlian dia cuma satu yaitu berdebat.

 

Kalau ada PR sudah pasti tidak pernah dikerjakannya, tapi curangnya kalau Guru test ke depan dia selalu duluan dan selalu bisa jawab. Maka ga heran kalau Rona selalu masuk ranking 10 besar. Aneh-aneh ya temenku.

 

Tiba-tiba ada kotak makan dimejaku. Warna pink dan bertuliskan Hungry?

Gue bawa pulpen, lalu gue jawab di bawah tulisan tadi, No, Im Not.

“Ehhhh, ngapain Ro kamu coret tempat makanku?”.

“Hah…”
“iya itu tempat makanku mau kamu apain?”
“Loh ini punyamu?, sorry. Terus ngapain ada di mejaku dan ada tulisan dengan tanda tanya gue pikir nih tempat makan lagi ngobrol sama gue. Ya gue jawab aja.”

“Itu buat kamu, Ro. Aku bikin sarapan sengaja aku lebihin.”
 

Hmmm, gue ga pernah sarapan, karena sarapan Cuma bisa bikin kenyang dan habis itu ngantuk lalu setelah itu gue suka agak telat mikir karena pasti bawaanya pingin tidur.

 

Tapi ga enak sama Diani kalau ga dimakan. Aku intip dan isinya adalah Sandwich Daging asap berlapis telur omega kemudian ada lelehan mozzarella dan sedikit oregano dan diselimuti saos keju aga pedas.

 

Wow, sangat membuat berselera. Lidah sama air liur berdebat sebentar, ditambah dengan deretan gigi yang ikut bernyanyi siap-siap kunyah makanan yang tidak kaya biasanya. La iya, gue kalo makan di sekolah paling juga tahu goreng, mie goreng, elit sedikit roti kemasan yang kalo abangnya lewat suka ikutan nyanyi.

 

Nyari Roti, roti nyari roti…gitu lagunya. Nih roti suka maen petak umpet makanya lagunya begitu liriknya. Hahahaha, garing yah.

 

“Di, kamu bawa berapa sih rotinya?”

“Dua Ro, kenapa?”

“Ko dua? Kenapa ga banyak”

 

Kepala ditoyor sama Rona.

 

“Eh Sueb, makasih gitu.Malah minta banyak”

“Engga, maksudnya. Ko Cuma dua sih Di?. Kan teman-teman di sini banyak.”
“Aku memang hanya ingin bikin buat kamu”

 

Nafsu makanku tiba-tiba hilang. Mendadak kenyang berganti menyeramkan. Ga berani untuk tanya lebih lanjut tapi tempat makannya aku bawa terus aku kasih ke Galih yang dari tadi aku perhatikan mukanya lusuh karena kebanyakan mikir buat olimpiade berikutnya.

 

Setiap hari berganti kotak makan ada di mejaku. Rona dan Sari yang sering habiskan makanan itu. Diani tahu kalau makanannya tidak aku makan tapi dia tidak pernah marah.

 

Satu bulan Diani ada di kelas kami, tidak ada satupun yang mau temani Diani duduk.

Kata anak-anak sih, aneh.

Aku sendiri tidak mau tahu anehnya bagaimana, yang pasti jauh dari kata keren.

 

Alih-alih ingin pamer segala pernak perni branded, malah kebablasan.

 

Bayangkan saja, anak SMA sepatu merk Garis Tiga atau Bintang itu standard yah. Nah Diani pake sepatu Gucci yang notabene stelan kaki kaya orang mau kerja. Belum lagi Jaket yang dia pakai, kalau Rona senangnya pakai Jaket Ceklis, nah Diani pake Jaket LV. Ditambah dengan jam tangan yang dia pake, Baby G atau Swatch sudah sangat oke buat kita, nah Diani sudah hampir menyerupai Bang Hotman di jari dan lengannya. Kan aneeeeh.

 

“Woi, Di lu punya kaca ga sih, stelan Betty Lavea ga pantes ngikutin Victoria Beckham”

Duh, lambey Dimas ini. Rasanya pingin gue sambit.

Diani hanya senyum. Kemudian dia pergi ke luar kelas. Aku mengikutinya.

 

“Ro, kenapa sih bekal dari aku ga pernah kamu makan?”

“Sorry Di aku ikutin kamu bukan soal bekal aku hanya mau kamu baik-baik saja.”

“Aku baik Ro, mereka kan tidak tahu alasanku seperti ini”

“iya, oke. Aku ga bisa salahkan Dimas juga kamu dan caramu berpakaian. Tapi Di kamu berlebihan”.
“Aku ga pantas?”

“Iya , kamu tidak pantas. Kamu aneh Di. Apalagi kamu siapkan sarapan untuk aku. Maaf ya Di aku tidak mau mengira yang bukan-bukan”.

 

Diani kutinggalkan di belakang kantin.

 

Bell Pulang sekolah berbunyi nyaring sampai kuping ini melinting keriting.

 

“Ro, malam nanti temani aku belanja mau?, nanti aku traktir dan aku belikan HP yang kamu cari.”

Belum aku jawab, Diani sudah melangkah duluan.

 

Ko Diani ngajak aku jalan, ko Diani tahu aku cari HP. Pikiranku ga karuan. No Diani, im a normal.

Kuambil kaca kecil di sakuku lalu aku lihat dalam-dalam, apa yang salah dengan mukaku. Aku tidak mau Diani suka denganku tapi Sukanya….

 

Rona dan Sari lagi-lagi muncul.

“Sueb, jangan-jangan Diani Lesbi lo, terus suka sama lo. Lo kan kaya cowo kalo jalan jingkrak-jingkrak”

“Iya lo, sarapan aja dibuatin tiap hari” Sari menimpali.

“Duh, kalian jangan begitu deh, gue juga mikirnya sama. Dia pikir gue ga normal apa?”

“Terus gimana dong, nanti malam dia mau ke rumah.Takut nih takut”.

 

Akhirnya dengan berat hati, gue pulang dengan kebingungan. Jalan menyusuri samping sekolah sampai akhirnya tiba ri rumah Dimas.

 

“Sueb lu ngapain di sini?”

“Eh ko gue di sini, ngapain ya?”
“Gila lu yah, lu yang ke sini lu yang ga tahu. Mana mobil lu? Jauh parkirnya?”.

“Eladalaaaaah Dimas mobil gue ketinggalan di sekolah”’

“Kampret Sueb, bisa lu ya mobil ketinggalan, sebenernya mau ngapain sih?”

Akhirnya aku ceritakan sama Dimas, satu sisi aku tidak enak menolak ajakan Diani tapi di sisi lain aku takut Diani macam-macam. Orang bilang Lesbi kalau marah suka berlebihan. Maka meminta Dimas untuk menemani nanti malam sepertinya keputusan yang tepat.

 

Jam 7 malam, Dimas sudah di rumah dan tadi siang aku minta dia bawa mobil yang ketinggalan di sekolah. Diani belum datang.

 

Jam 8, Dimas sudah habiskan 5 batang kretek juga 2 cangkir kopi buatan mama. Diani belum juga datang.

 

Jam 9, ada Telegram masuk, Ro aku di sini, kamu ikutin GPSnya ya.

 

Sambil melihat Dimas, aku merinding.

“Lu ga salah minta anter gue Ro. Aneh si Diani. Ayo kita ikutin GPSnya”.

“Ga usah lah Dim, kan jadi alasan tepat kalau gue ga ikut dia.”
“Engga, ni orang so polos berbahaya mesti gue kasih pelajaran.Inget Ro, Lesbi bukan penyakit tapi bisa menular lo.”

 

Kami ikuti GPS nya, karena waktu sudah mulai larut malam, kami focus ke pergerakan GPS tanpa kami cek lokasinya di mana. Kami lupa.

 

Tiba kami di sebuah Rumah Sakit. Loh???

 

Kamar 303, Suster memberi kabar.

Dengan berat hati dan digenggam Dimas kami cari kamar tersebut. Kami buka dan rupanya ada Diani di sana, Koma.

 

“Sebenarnya apa yang terjadi tante, saya benar-benar tidak mengerti. Lalu kenapa tadi Diani kirim GPSnya”

“Sebelum Diani pingsan, dia sedang kirim chat. Hp tante pegang dan rupanya Diani tidak mau membatalkan rencana jalan-jalan dengan Roro, dari siang dia gembira karena kamu mau dia ajak jalan-jalan. Karena kepala Diani pusing maka dia bermaksud untuk meminta kamu yang jemput. Tapi tante baru send Chat itu setelah tante sampai di sini”.

“Diani kenapa tante, apa alasan Diani ajak saya jalan.”

“Kamu itu mirip dengan adik kesayangan Diani, makanya Diani selalu meminta tante siapkan sarapan untuk kamu. Dan ketika Papanya kasih hadiah ulang tahun berupa Kartu Kredit untuk Diani, yang dia ingat kamu, adiknya. Diani mau belikan HP yang sedang kamu inginkan.”

 

Dimas menatap, aku menangis dan kami minta maaf ya Di.

 

Diani Pergi.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.