Mewaspadai Tamu

Surat untuk Rhea, anakku.
Rumah-rumah yang sering dikunjungi itu, Nak, takkan pernah sama lagi.
Setiap pengunjung rumahmu membawa sesuatu. Entah itu makanan, perabotan, atau gagasan-gagasan tentang bagaimana semestinya rumahmu ditata.
Kakung Ayip, nyangoni meja makan dan satu set meja tamu (tapi jarang bertamu), maka seperti itulah perabotan itu membentuk rumah kita. Kakung Uti meninggalkan tempat penyimpanan beras dan sering datang menjengukmu, sambil tentu, memberes-bereskan apa saja. Ya rumput, ya ceret, apapun. Maka begitulah rumah kita dikunjunginya.
Saat Tante Tita yang takut kucing datang, Ayah harus memasukkan Milo ke kandang. Budhe Sari mengomentari kenapa tidak memasang rak buku lagi. Juga kenapa ayah tidak punya termos sebagaimana rumah tangga pada umumnya. Kakung Pipit mengusulkan mengubah kursi tamu menjadi meja TV. Hanya Budhe Nita yang tidak berkomentar apa-apa selain memuji ketelatenan ibumu merapi-rapikan rumah.
Minggu lalu, sekotak eternit jebol. Ayah tidak langsung membetulkannya karena mencari tukang ternyata tidak mudah. Tapi, lama-lama risih juga jika ada yang bertamu. Ada tamu yang menatap lubang itu dan menanyai sebabnya. Ada juga tamu yang tanpa menunggu dia bertanya, ayah sudah menjelaskannya lebih dulu. "Jebol karena diinjak kucing."
Banyak juga tamu yang diam saja. Mungkin karena sungkan. Tak sopan mengomentari rumah orang. Atau tak melihat. Atau pura-pura tak melihat. Mungkin juga mereka kaget kenapa di rumah ayah ada eternit yang jebol.
Pernah juga driver taksi mengomentari - setengah meledek - bahwa rumah ayah seperti rumah kosong karena di terasnya banyak tumbuh rumput liar. Juga, ini yang absurd, dia mengeluh kenapa kebun besar depan rumah tidak dibersihkan saja. Supaya bisa menjadi area dia putar balik.
Atas komentar pertamanya, tentu saja ayah tidak perlu menjelaskan bahwa "rumput liar" itu sengaja ayah pelihara. Memang aneh kok manusia itu. Seenaknya melabeli tanaman dan binatang sebagai "makhluk liar" hanya karena dia tidak tumbuh sesuai rencana manusia, atau karena tidak ada manusia yang memilikinya. Bagi ayah, mereka tidak liar. Mereka tunduk perintah Tuhan. Dan barangkali, di mata rumput dan binatang, justru kita manusialah yang dianggap liar. Sukanya beranak pinak begitu saja, membangun rumah dengan mengganggu sarang dan membunuhi anak istri mereka.
Atas keluhannya tentang kebun, ayah hanya menjawab singkat: Itu bukan kebun kami. Tapi, driver tersebut masih memaksa. "Ya ga papa. Bersihkan saja. Toh pasti dia suka. Mobil juga jadi gampang putar balik."
Nah, sekarang siapa yang liar?
Saat berkomentar atau memberi usul itu, para tamu itu seperti meninggalkan sekotak kardus di dalam rumahmu. Kardus yang berisi gagasan. Terimalah “pemberian” tamu-tamu tersebut seperti Ayah menerima rumput-rumput liar kiriman Tuhan untuk merimbunkan taman kecil kita.
Sebagai tuan rumah, kau berhak untuk kemudian meletakkan “kardus-kardus” konstruksi sosial itu di kamarmu, di meja makanmu, di gudang (untuk kau ambil lagi saat kau butuhkan, atau saat si pemberi bertamu lagi dan kamu ingin menunjukkan bahwa kau masih menyimpan pemberiannya), atau bila kau sudah yakin, kau boleh menaruhnya di tempat sampah.
Biarkan seseorang memungutnya.
Kau berhak menyambutnya cukup di gerbang, cukup di teras, atau kau izinkan masuk ruang tamu, ruang makan, hingga kamar tidurmu. Kau boleh menyambutnya lewat pintu utama yang 'formal', pintu samping yang lebih personal, atau kau susupkan lewat jendela kamar seperti saat ayah kecil dulu iseng 'menyelundupkan' teman-teman ayah.
Rumah-rumah yang sering dikunjungi itu, anakku, akan sering dibersihkan, didekor ulang, bahkan direnovasi. Dan rumah yang direnovasi, akan mempengaruhi penghuninya.
Itulah kenapa eternit yang jebol itu sudah ayah perbaiki. Atap bocor telah ditambal. Rumput liar telah dicabuti. Tembok sudah dicat ulang. Rak buku telah dipasang. Meja TV telah dibeli.
Kotak-kotak gagasan dari para pengunjung itu mempengaruhi cara ayah melihat dan menata rumah.
Maka, waspadailah bagaimana engkau menata rumahmu. Waspadai bagaimana engkau menyambut tamu dan apa saja yang mereka tinggalkan untukmu. Dan terpenting: Waspadai mengapa engkau melakukan semuanya. Lakukanlah demi orang-orang penting di hatimu. Sebagaimana ayah merenovasi rumah demi kamu dan ibumu.
Tentu saja, Rhea anakku, “rumah” yang ayah ceritakan ini boleh kau tafsirkan sebagai hatimu.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.