Balada Kadek
“019, monitor?” Suara sember berderak terdengar dari handy talky di pinggang Kadek.
“019, monitor!” Kembali suara panggilan terdengar.
Kadek bergegas meraih radio panggil tersebut, menekan tombol bicara dan menjawab, “Siap, monitor!”
Jarum jam di dinding pos satpam depan kawasan wisata di bilangan Ungasan tersebut menunjuk tepat di angka 2 dini hari.
“019 segera merapat ke TKP, point 2.” Itu perintah dari Komandan Jaga. Kadek cepat merespon dan bergegas meninggalkan pos dengan langkah-langkah lebar setengah berlari. Point 2 tidak terlalu jauh dari tempat Kadek berjaga. Titik Point 2 itu terletak di jalan utama kawasan yang terkenal dengan patung Dewa Wisnu menunggang burung garuda. Menggunakan jalur jalan setapak memotong taman patung kerbau, Kadek hanya membutuhkan waktu 10 menit saja.
Dua jam lalu ada peristiwa menghebohkan di Point 2. Titik itu menjadi tempat kejadian perkara (TKP) kecelakaan tunggal sebuah sepeda motor menabrak tiang lampu di median jalan. Sekarang, Komandan Jaga meminta Kadek untuk ke lokasi kejadian. Jelas, ia sangat bersemangat. Ia ingin melihat situasi di lokasi tersebut.
Sampai di lokasi, Kadek menjumpai komandan dan empat orang satpam lain, dan seonggok sepeda motor yang ringsek tergeletak di kaki tiang lampu. Roda depan sepada motor berukuran besar itu terlipat ke dalam dan menempel di bagian mesin. Tangki bensin terlepas. Stang bengkok dan lampu depan remuk berantakan. Tidak terlihat pengemudi motor. Bercak-bercak darah terlihat di tanah dan rumput. Kotak hias penutup tiang lampu rompal lebar.
“Pasti keras sekali tubrukannya, “ kata Kadek dalam hati.
Kadek menghampiri Komandan dan memberi hormat.
“Kadek, kamu jaga di sini. Jangan sampai ada orang yang mengambil atau menyentuh motor ini. Jangan pergi sebelum ada perintah dari saya!” Tegas, komandannya memberi perintah.
Tanpa banyak bicara, Komandan dan tiga satpam meninggalkan lokasi. Satu satpam lain, bernama Adi, tinggal di lokasi. Rupanya, ia juga diperintahkan untuk berjaga bersama Kadek.
“Gimana kejadiannya tadi, Di?” tanya Kadek ingin tahu setelah Komandan dan satpam-satpam lain sudah tak terlihat.
“Jam 12 tadi, tiga motor masuk sini. Ngebut. Terus, satu motor pas nikung oleng. Dia ndak bisa mengendalikan motornya. Meluncur ke tengah pembatas jalan, nabrak tiang itu sudah,” kata Adi sambil menunjuk bekas lintasan yang dilalui motor.
“Nggak sempet ngerem berarti ya?” tanya Kadek.
“Iya kayaknya, tidak ada bekas-bekas roda direm,” kata Adi. “Mabuk kayaknya.”
“Mati yang nyetir?”
“Ndak tahu. Tadi langsung diangkut sama mobil teman-temenya. Dua motor lain langsung ngikut.”
“Nggak panggil polisi, Di? Kan kecelakaan gini harus diolah TKP-nya.”
“Teman yang kecelakaan itu polisi. Dia kasih liat kartu anggota dan lencana ke Komandan. Dia minta Komandan supaya ndak usah lapor.”
“Polisi yang kecelakaan?”
“Bukan, temennya yang polisi.”
“O begitu? Tapi kan, aturannya mesti lapor?”
“Beh, kamu itu tahu apa. Ini tahu sama tahu lah. Damai saja, kata Komandan.”
“Damai itu gimana maksudnya?” tanya Kadek keheranan.
“Ya, damai. Peh, masa kamu ndak ngerti. Ada duit damainya.” Adi kemudian cerita, tadi komandan diajak bicara oleh teman-teman pengemudi motor yang kecelakaan. Mereka memberikan lembaran tebal duit yang ditekuk pada Komandan.
Kadek terdiam. Ia memperhatikan bangkai motor yang teronggok. Rasanya, dia belum pernah melihat jenis motor seperti itu.
“Motor apa ini, Di?”
“Aku juga baru liat sekarang ini, Dek. Kata orang tadi, ini motor Yamaha YZF-R1M. Motor langka ini. Cuma sedikit yang punya di Indonesia. Harganya 800 juta lebih, tadi dia bilang begitu ke Komandan. Makanya kita disuruh jaga di sini.”
Wih, 800 juta. Kadek tidak bisa membayangkan ada sepeda motor seharga 800 juta. Motor Beat bekas harga 5 juta saja sudah terasa sangat mahal untuknya. Ini 800 juta?
“Kenapa mahal sekali, Di?”
“Tadi orang itu bilang, ini motor super sport. Kastanya Ida Bagus neh, paling tinggi. Motor canggih. Full digital, kone.”
800 juta! Angka itu terus terngiang-ngiang di kepala Kadek. Dia belum pernah melihat, apalagi memiliki, uang sebanyak itu. “Kalau ditumpuk setinggi apa ya uang sebanyak itu?” tanya Kadek dalam hati. Ia kemudian berhitung. Gajinya sebagai tenaga kontrak satpam Rp2.250.000/bulan. Dia perlu berapa kali gajian supaya punya 800 juta? 800 juta dibagi 2.250.000 berapa ya? Kadek mencoret-coret di atas tanah menggunakan patahan ranting kering yang ditemukannya di tempat itu. 356 bulan. Atau, 30 tahun. Wah, dia perlu kerja 30 tahun untuk punya uang 800 juta. Itu dengan catatan, gajinya ditabung semua. Tidak boleh untuk bayar kos, harus puasa makan, tidak bisa main hp, tidak beli bensin, nunggak cicilan motor, tidak kirim duit ke kampung, dan seterusnya. Mana mungkin?
“Enak sekali Komandan, dapat duit sedangkan kita dapat nyamuk. Mudah-mudahan kita dapat bagian. Kalau ndak, pocol kita. Jagain bangke motor tapi ndak dapat apa-apa. Nanti kamu minta sama Komandan ya, Dek,” kata Adi menggerutu.
“Mana aku berani, Di!”
“Masa ndak berani kamu. Dia kan ajik kamu.”
“Justru karena dia ajik aku, aku nggak berani.”
Komandan Jaga itu memang ajik atau paman Kadek. Dan, paman itu yang memasukkan Kadek ke perusahaan jasa tenaga kerja. Pamannya juga yang kasih duit ke Kadek untuk ikut ambil Paket C dan kursus satpam di Polda. Tanpa bantuan pamannya, Kadek tidak tahu nasibnya akan bagaimana, mungkin akan menjadi gelandangan atau pengemis seperti warga desa lainnya. Sudah banyak yang diberikan pamannya, mana berani dia minta lebih.
Tentang warga desanya yang kebanyakan menjadi gelandangan dan pengemis sudah sangat terkenal di Bali. Salah satu banjar atau dusun di desa yang berada di kawasan timur Pulau Bali itu pengekspor gelandangan dan pengemis terbanyak di seluruh penjuru Bali. Kalau tidak percaya, tanya saja sama pengemis-pengemis yang beraksi di pasar swalayan atau lampu-lampu lalu lintas di Denpasar, Kuta, Tabanan, Negara, Singaraja, atau Gianyar. Mereka pasti akan menyebut nama banjar Kadek sebagai daerah asal. Kadek tidak terlalu paham apa penyebabnya.
Kadek ingat, waktu kecil Perbekel pernah cerita asal muasal mengapa warga desanya banyak yang menjadi gelandangan dan pengemis. Konon, di masa lalu desa mereka sama makmurnya dengan desa lain. Sampai kemudian, terjadi kelangkaan air. Dewi Danu khawatir, lalu bertapa di Bukit Balengkang yang terletak di belakang desa itu. Dewa Wisnu mendengarkan permohonan Dewi Danu. Dewa Wisnu turun ke bumi dan melepaskan panah ke arah batu dan keluarlah air.
Kemudian, Dewa Wisnu memerintahkan Dewi Danu menjual air ke warga. Dari sosok seorang perempuan cantik, Dewi Danu mengubah wujud menjadi kakek buruk rupa dengan tubuh penuh koreng dan belatung. Warga desa ditawari untuk membeli air. Bukannya membeli, warga malah menghina kakek perwujudan Dewi Danu tersebut. Karena marah, Dewi Danu pun mengutuk warga akan menderita selamanya, keturunan mereka akan menjadi gelandangan dan pengemis.
Seperti warga lain di desanya, Kadek percaya saya saja dengan cerita kutukan tersebut. Namun, di sisi lain, ia juga menyadari lokasi banjarnya yang terletak di tengah-tengah Gunung Agung dan Gunung Batur susah dijangkau. Tanjakan dan turunan ekstrem mendominasi rute perjalanan. Sumber air terbatas, kekeringan, lapangan pekerjaan minim, sarana transportasi jarang, sekolah cuma sampai SD saja , dan media informasi sangat kurang, membuat kemiskinan di desa tersebut semakin parah.
Kadek pernah dapat cerita dari seorang peneliti yang datang ke desanya. Menurut peneliti itu, desanya mengalami krisis kekeringan setelah letusan Gunung Agung pada 1963. Sumber-sumber mata air menghilang karena tertutup batu-batu dan lahar yang digelontorkan Gunung Agung. Krisis itu sebenarnya yang menyebabkan banyak warga bermigrasi ke kota-kota besar menjadi gelandangan dan pengemis. Tapi, masyarakat lebih yakin, kutukan Dewi Danu lah yang membuat kebanyakan dari mereka menjadi gelandangan dan pengemis.
Kadek cukup beruntung sebenarnya. Keluarganya terbilang ulet dan mengolah potensi yang ada di desa menjadi berbagai komoditas untuk dijual di kota. Misalnya saja, membuat inka dari anyaman lidi kelapa, berjualan tuak, memproduksi arak, dan potensi-potensi lain yang bisa diolah. Dari penghasilan orang tuanya itu, Kadek bisa bersekolah sampai lulus SMP di desa tetangga. Itu juga dengan perjuangan berat, karena Kadek harus berjalan kaki selama 2 jam pada pagi hari dan 2 jam siang hari. Lulus SMP Kadek tidak melanjutkan ke SMA, dia membantu orang tuanya bekerja. Baru setelah pamannya membawa Kadek merantau ke Denpasar, Kadek mengambil Paket C dan kursus Satpam.
Pukul empat dini hari, Kadek sendirian menunggui motor yang katanya mahal tapi sudah tak berdaya itu. Adi sudah pergi, tadi diperintahkan komandan untuk memeriksa bagian belakang kawasan. Kadek sebenarnya merasa jenuh juga menunggui rongsokan motor tersebut. Menurutnya, tak akan ada orang yang mau mengambil barang rusak tersebut. Tapi, dia tahu apa? Harga motor yang mahal bisa saja membuat orang gelap mata untuk mengangkutnya.
Mendadak, ada lintasan bayangan dalam benak Kadek. Sosok dan wajah Komang Ayu singgah ke ingatannya. Anak perempuan Kelian Dinas, pemilik rumah kos yang ditempatinya sekarang ini, tinggi semampai dan cantik sekali. Kulitnya putih, matanya bulat, dan rambutnya panjang. Kadek paling suka lihat Komang Ayu mengenakan kebaya dan kain saat akan bersembahyang ke pura. Selama ini, Kadek hanya berani curi-curi pandang dari kejauhan. Ia tidak berani menyapa Komang Ayu karena merasa tidak pantas. Dan, memang, tidak pernah ada alasan atau kesempatan bagi dia untuk menegur dan bercakap-cakap dengan Komang Ayu. Kadek tidak berkecil hati. Melihat Komang Ayu tersenyum atau tergelak, walaupun bukan untuk dia, sudah membuatnya bahagia sekali. Apalagi mendengar Komang Ayu sedang bicara dengan ibunya, Kadek seperti berada di taman bunga yang penuh dengan kicau burung. Kadek suka tersenyum-senyum sendiri seperti orang tidak waras.
Pukul lima pagi, kawasan wisata itu sudah mulai ramai dengan warga yang berolah raga. Jelas, onggokan sepeda motor itu menarik perhatian mereka. Kadek pun bersiaga di sebelahnya. Beberapa warga menghampiri, bertanya-tanya, bahkan ada yang swafoto di hadapan rongsokan motor tersebut. Kadek menjawab pertanyaan-pertanyaan warga tersebut seadanya.
“Tadi malam kecelakaannya. Kecelakaan tunggal. Korban dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak tahu.” Begitu jawaban standar Kadek.
Hampir semua warga yang bertanya ke Kadek menyimpulkan sendiri penyebab kecelakaan. “Pasti karena mabuk ini!” Kadek menanggapi kesimpulan itu dengan tersenyum.
Beberapa warga mengenali tipe motor tersebut. Dan, tahu kalau motor tersebut berharga mahal.
“Wah, ini sepeda motor balap. Mahal pasti harganya. Makanya, bli disuruh jaga di sini ya?”
Kadek pura-pura tidak tahu. “Tidak tahu saya. Saya cuma diperintahkan komandan untuk jaga di sini,” kata Kadek dengan nada sopan.
Warga bergantian datang ke Kadek. Bertanya-tanya, foto-foto, lalu beranjak pergi untuk berolah raga. Awalnya, Kadek senang saja melayani warga. Ia merasa menjadi orang penting. Ia merasa seperti narasumber yang sedang diwawancarai. Ia membayangkan dirinya sedang berada di TV, menjadi orang terkenal. Namun, ketika warga bergantian datang terus menerus hampir selama empat jam, Kadek bosan juga. Ia jenuh. Ia merasa tidak ada gunanya melayani percakapan warga. Apalagi ketika diajak membicarakan harga motor yang begitu tinggi. Ia merasa sangat kecil dan miskin. Kehidupan warga di kampungnya, penghasilannya yang tidak seberapa dan selalu habis sebelum bulan berakhir, dan Komang Ayu yang hanya bisa dilihatnya dari kejauhan, membuatnya semakin tidak berdaya dan pesimistis.
Baru pada jam 10 pagi, Kadek digantikan satpam lain. Ia bisa pulang. Dengan tubuh lelah dan perasaan tidak menentu, Kadek mengendarai motor bekas yang belum lunas cicilan ke arah kos-kosan yang tidak terlalu jauh dari tempat kerjanya.
Baru saja memasang standar kaki di halaman rumah kos yang juga bagian depan rumah Kelian Dinas, tiba-tiba Kadek mendengar suara Komang Ayu.
“Bli Kadek jadi orang terkenal yaa!”
Entah dari mana datangnya, Komang Ayu sudah ada di depan motor Kadek. Kadek terpaku, tak tahu harus jawab apa, kecuali, “Eh!”
“Kok bengong Bli Kadek. Ini nih ada foto Bli Kadek di berita online,” kata Komang Ayu sambil mendekat ke samping Kadek dan memperlihatkan layar gawai. Terlihat foto Kadek sedang berdiri di sebelah sepeda motor yang mengalami kecelakaan. Kadek semakin terpaku. Bukan karena foto dan berita di gawai tersebut, tapi karena ia bisa mencium aroma tubuh Komang Ayu yang berdiri menempel ke tangannya. Ia serasa melambung dan melayang-layang di atas awan. Hilang rasa lelahnya. Purna rasa jenuhnya. Jantungnya berdebar kencang. Hidup terasa lebih hidup.
Kadek tetap saja duduk di atas sadel motor sambil tersenyum-senyum sendiri, meski Komang Ayu telah beranjak pergi. Kadek tidak mau kehilangan momen terbaik dalam hidupnya itu. (*)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.