Pesan Oma

Pesan Oma
Di garis keluarga besar pihak Ibu, kami bersepupu 27 orang. Salah satu di antara kami merupakan seorang tuna rungu. Kami para sepupu tidak pernah memperlakukannya dengan berbeda, demikian pula para orang tua kami. Sama saja. Maka, aku pun begitu juga. Sampai Oma (nenekku, ibunda dari Ibu) pada suatu hari menegurku.
 
"Kalau kamu memanggil Teri apalagi dari belakang, jangan hanya panggil namanya. Tepuk pundaknya jadi dia tahu bahwa kamu memanggilnya," kata Oma tegas.
 
Ah iya ya! Barusan itu aku hanya memanggil-manggil nama Teri—sepupu tuna runguku—yang berdiri membelakangiku, tanpa sama sekali menyentuhnya. Tentu saja ia tak mendengar panggilanku, seberapa banyak pun aku memanggil.
 
"Dan," sambung Oma lagi, "kalau kamu berbicara terutama padanya, pastikan mata Teri melihat ke arah mulutmu".
 
Ya, memang harus ada penyesuaian ternyata. Sungguh aku tak pernah berpikir begitu sebelumnya. Berkat nasihat Oma itu, aku tak merasa ada masalah di saat keluarga besar kami yang berisik itu berkumpul. Kalau kami bercanda, Teri biasanya kulihat tersenyum melihat kelakuan kami. Bagi Teri, mungkin pembicaraan kami terlalu cepat untuk diikuti, tapi aku yakin semua sepupu berusaha sebaiknya untuk memastikan bahwa Teri masuk dalam simpang-siurnya pembicaraan kami. Tak jarang, Teri pun mengungkapkan pendapatnya. Dengan ekspresi tanpa kata-kata, tapi tak jarang juga dengan ucapan yang kalau perlu kakak-kakaknya—Teri anak bungsu—membantu menjelaskan apa maksud Teri.
 
Sebagai keluarga besar yang sangat berisik tapi ramah, hehe…, kami selalu menyambut suami atau istri dari para sepupu dengan berisik dan ramah juga. Yang mungkin awalnya pendiam, saat berkumpul di keluarga besar kami dipastikan sekurangnya mereka juga jadi bisa becanda dengan kami senorak yang ia bisa. Suami Teri pun tak terkecuali.
 
Dedi, suami Teri, merupakan tuna rungu juga. Mereka bertemu di sekolah. Tetapi, jangan salah! Menurutku Dedi itu orang yang ramai. Dengan mudah dia masuk ke dalam keluarga besar kami. Selalu turut bercanda norak. Bahkan, menurutku dia salah satu sepupu-ipar yang paling jahil terutama terhadapku. Kami pernah berpapasan di sebuah mal besar di Jakarta. Kacamataku yang berkaca progresif selalu membuat fokus mataku ke pandangan depan berlangsung lambat. Di kejauhan, aku melihat ada seseorang yang berjalan ke arahku dengan gerakan-gerakan aneh. Ya ampun!!! Ternyata, itu Dedi yang tengah meledekku!
 
Begitu aku sadar sedang dijahili, segera aku mengancam dengan mengacungkan tinju kananku. Tetapi, aku kalah cepat, Dedi sudah ngacir duluan. Meninggalkan aku, Teri, dan lainnya terbahak-bahak seru.
 
Ketika generasi orang tua kami semakin menipis, kami para sepupu menjadi sangat jarang berkumpul offline. Lebaran yang tadinya menjadi kesempatan puncak untuk berkumpul dan bertemu, sudah tak lagi dapat menfasilitasi kami sepenuhnya. Berhubung keluarga masing-masing sepupu sudah berkembang, dan berbagai sebab lainnya. Mengakibatkan perbedaan jadwal kerap terjadi sehingga sulit mempertahankan tradisi yang penting itu. Apalagi, ketika pada 2019 kami kehilangan satu-satunya tante di Bandung yang tersisa, yang merupakan ‘tali’ pengikat kami yang terakhir. Lebaran kami tak lagi pernah ada—sementara ini.
 
Tapi, untungnya, kami tetap tersambung melalui media online—apa boleh buat. Terutama facebook dan whatsapp. Spirit kebersamaan kami ternyata tetap kental meski sulit untuk berjumpa fisik. Melalui media sosial, percakapan dari Teri ternyata menjadi lebih lancar, karena dilakukan melalui tulisan.
 
Akan tetapi, tetap saja aku merindukan pertemuan offline dengan keluarga besar kami itu. Termasuk dengan Teri, Dedi, dan anak-anak mereka.  =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.