"Sampai di rumah ada cerita sedih deh. Ray kehilangan dompetnya beserta semua kartu. KTP, SIM A & C, STNK motor, dan dua kartu debet dari bank berbeda. Plus, uang sejumlah Rp1.300.000,-," begitu bunyi pesan WA dari Sisi, teman masa kuliah, kepadaku malam itu. Ray adalah anak lelakinya.
Aduh. Kenapa nih, Sisi seperti sedang dapat sial terus. Kemarin dia terpeleset jatuh. Akibatnya, nyaris seluruh punggungnya harus dipasangi salonpas. Sakitnya bukan main, demikian ia berkata. Membuatnya hampir saja tak bisa hadir di acara halal bi halal angkatan kami yang seru dan menyenangkan siang tadi.
Aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam dalam WA dari Sisi tersebut. Dapat kubayangkan wajah sedihnya saat menceritakan hal itu. Selain itu, aku juga tahu rasa putus asa dan tak nyaman ketika diri ini kehilangan dompet, karena aku pernah mengalaminya sendiri. Bisa dikatakan bahwa seluruh hidup kita tersimpan dalam dompet yang sehari-hari kita bawa-bawa. Maka ketika dompet hilang, rasanya sepotong hidup kita pun hilang juga.
Uang mungkin bisa dengan segera kita relakan. Kartu-kartu ATM bisa segera diblokir. Namun, kartu identitas seperti KTP, SIM, dan juga STNK kendaraan, lain lagi ceritanya. Kehilangannya berarti akan diperlukan tenaga, berbagai prosedur, dana, dan waktu untuk proses mengurusnya kembali.
Dompetku yang hilang itu adalah karena kecopetan. Akibat kebodohanku sendiri, yang lalai meletakkan ranselku di lantai saat hendak makan di sebuah restoran di Mal Ambasador di Kuningan, Jakarta Selatan, bersama beberapa kawan. Ransel di lantai itu kuposisikan di antara kaki kananku dan tembok. Sengaja kuposisikan demikian, dengan keyakinan bahwa cara itu adalah aman adanya. Waktu yang akan membuktikan apakah hal itu benar atau tidak.
Kuketahui dua orang lelaki muda duduk di meja di belakangku. Mereka masuk di restoran itu beberapa menit setelah kami. Tak lama, kusadari bahwa mereka berdua sudah tak ada. Pergi tanpa memesan makanan sama sekali. Aku pun terkesiap, tiba-tiba ada rasa khawatir menyelinap di dada. Buru-buru kuraih ranselku yang kuyakin tak bergerak sama sekali sejak awal kuletakkan di lantai. Kucari dompetku. Ah. Benar kan! Tak ada. Dapat kurasakan bagaimana darahku berhenti mengalir ke wajahku. Keringat dingin banjir di punggungku.
Segera kuhubungi semua bank-ku. Guna memblokir kartu ATM dan kartu-kartu kreditku. Operator telepon kartu kredit melaporkan bahwa sudah ada upaya-upaya untuk menarik uang tunai, dengan menggunakan dua kartu kredit. Upaya itu gagal semua karena tak berhasil memasukkan nomor PIN.
Aku tertawa kecut, namun lega. Mau tak mau aku tertawa karena aku sendiri tak pernah memakai kartu kreditku untuk menarik uang tunai seperti itu. Sehingga, aku belum pernah menciptakan nomor PIN-nya. Ya, bahkan diriku sendiri pun tak tahu apa nomer PIN-nya. Kartu-kartu kreditku itu hanya kupakai untuk menunjang kerjaku yang kerap harus keluar kota. Untuk menginap di hotel yang mewajibkan kartu kredit sebagai jaminan, dan sebagai alat bayar tiket penerbangan. Itu saja.
Setelah semua kartu bank terblokir, aku melapor kehilangan dompetku pada pos polisi kusam dan suram yang berada di sisi belakang mal. Malas aku sebenarnya, mengingat waktu rumahku kecurian dulu, lapor polisi hanyalah buang-buang waktu belaka. Tapi, aku perlu surat laporan kehilangan untuk mengurus pembuatan KTP dan kartu-kartu bank tadi. Di hari berikut, bermodal kartu laporan kehilangan, aku segera mengurus pembuatan ulang kartu-kartu bank.
Sementara sebagai pengganti KTP, kusematkan fotokopi KTP, yang untungnya kupunya, pada surat laporan kehilangan. Saat itu aku tinggal di daerah Jakarta Pusat, sedangkan alamat yang tercantum pada KTP-ku berada di ujung selatan Jakarta Selatan. Bintaro namanya.
Selain ada rasa malas untuk menembus kemacetan ibu kota guna sampai ke sana, terlebih dahulu aku harus membuat rencana dan janji pertemuan dengan Ketua RT dan RW, demi mendapat surat pengantar pembuatan KTP. Tapi, kemudian masuk telepon dari teman yang bekerja di alamat yang tercantum pada KTP-ku.
"Nin, tadi ada dua orang pemulung datang antar dompetmu," katanya.
Lah!
Teman yang satu ini kebetulan tahu betul bahwa itu dompetku. Jadi, aku tak perlu mempertanyakan keabsahan berita itu. Aku hanya kaget, kok bisa begitu.
"Katanya, mereka jalan kaki dari Tanah Abang sambil geret gerobaknya sampai sini. Kasihan, siang-siang panas begitu mereka sampai kehausan setengah mati. Kukasih minum, mereka senang sekali!" sambungnya.
"Oh!" responku sambil mengernyitkan hidung.
Kok aku curiga ya, jangan-jangan mereka bagian dari komplotan pencopetnya juga.
"Katanya, merela lagi tidur-tiduran di bawah jembatan, waktu tiba-tiba dompetmu jatuh ke badan mereka".
"Oya? Wah!" aku masih skeptis.
"Aku cek, dalam dompet itu ada kartu ATM dan kartu kredit bank Ng. Terus, ada juga dua kartu kredit bank Cb. KTP-mu juga ada. Duit udah nggak ada sama sekali, pasti diambil copetnya”.
Pastilah itu!
“Sebagai tanda terima kasih, kuberi mereka imbalan Rp100.000,-. Ntar jangan lupa ganti ke aku uangnya ya!" ia menutup ceritanya.
Waduh! Saya jadi lumayan ngamuk. "Memang nggak cukup kau beri mereka air dingin penghilang dahaga saja!!!"
Maafkan bila saya terdengar sangat pelit. Akan tetapi, saya sungguh skeptis bahwa dua pengantar itu tak bersalah. Alih-alih bersyukur bahwa KTP masih ada sehingga bisa menghindari kerepotan mengurus yang baru, saya malah jatuh curiga dan geram.
Diantar si teman, dompet kembali ke tangan saya. Kuganti uangnya dua kali lipat karena menyesal telah memarahinya. Uang yang hilang tak banyak sebenarnya, sekitar Rp300.000,- saja, karena sebagian besar uang sudah kupakai untuk belanja bahan-bahan kerajinan tangan di mal tersebut. Konyolnya, koin-koin pun dikuras. Termasuk koin-koin nominal sangat kecil sebagai kembalian belanja di mini market, serta koin-koin rusak.
Yang kumaksud sebagai koin-koin rusak adalah koin-koin yang sudah tak jelas nilai dan nominalnya. Hasil pungutan di jalan, sebuah kebiasaan yang selalu kulakukan sampai sebelum terjadinya pandemi covid-19. Meski tak terdeteksi nilai dan nominalnya, koin-koin ini tetap bulat. Namun, permukaannya telah kehilangan ujud aslinya. Diganti bentuk tak rata dan gradakan. Sebagian bahkan jadi cukup tajam sehingga mampu melukai jemari.
Aku yakin koin-koin rusak dan koin-koin nominal kecil itu mereka buang. Kita tahulah mental banyak orang yang menganggap bahwa uang logam nominal kecil hanya sebagai sampah belaka. Sehingga, alih-alih disimpan malah dicampakkan begitu saja ke jalan. Tersia-sia di jalan, tergerus panas matahari dan elemen lainnya, koin-koin itu lalu menjadi apa yang tadi kusebut sebagai koin-koin rusak. Siap menunggu untuk kupungut lagi. Entah kapan.
Sejatinya, pada dompetku selalu ada bon-bon tak berguna yang tersimpan bersama lipatan uang kertas kembalian belanjaan. Ada pula kartu-kartu nama, dan kertas-kertas kecil sobekan sana-sini yang berisi catatan kecil ini-itu penting-tak-penting. Sebagian dari catatan ini dengan sengaja kuselipkan di bagian paling dalam dompet, sengaja agar tak hilang. Semua yang kusebut pada paragraf ini, sudah hilang juga.
Aku semakin menjadi geram. Terasa sekali bahwa privasi-ku dilanggar. Hak apa yang mereka punya untuk mengobrak-abrik barang pribadiku, dan membuangnya!? Bahkan, serpihan kertas di sudut terdalam pun seenaknya dimusnahkan. Sebagian kehidupanku meski kecil mereka hancurkan tanpa ijin.
Aku jadi berpikir, kecopetan dompet dan kehilangan pernik-pernik tak penting itu saja telah melukai hati dan jiwaku. Tak dapat kubayangkan dalamnya luka hati para korban perkosaan yang tak hanya privasi-nya yang dilanggar pemerkosanya. Belum lagi harus menerima stigma-stigma, dan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan orang. Semisal, “Tapi kamu menikmatinya juga, bukan!?" =^.^=