Petualangan Ajaib ke Negeri Istimewa!

Petualangan Ajaib ke Negeri Istimewa!

 

Dari awal perkenalan aku dan sahabatku ini selalu mempunyai keinginan kuat untuk mencari tahu, jika sudah merasa menemukan ada "sesuatu", insting dan hasrat detektif menggebu. Seperti yang terjadi di pagi hari ini, dia hanya sekedar bercerita tentang Negeri Istimewa yang pernah dibacanya dari buku. Ceritanya memang sangat seru, bahkan di buku itu dituliskan, Negeri Istimewa adalah sebuah destinasi dimana keajaiban dan harapan menyatu dan tak lagi semu. "Sepertinya tempat yang memang patut dikunjungi sih nih! Tapi....", komentarku dengan perasaan ragu.

Sahabatku langsung memotong, "iya nih, tempatnya sepertinya bukan tempat wisata pasaran, masih belum banyak orang yang tahu! Bisa jadi ide tulisan loh! Pasti seru banget deh. Gimana?"

"Boleh juga ide kamu. Ya atur deh!", aku mengiyakan untuk ikut seperti pasrah terhipnotis oleh sebuah undangan maut.

Aku dan sahabatku akhirnya mempersiapkan semua kebutuhan perjalanan, mengatur jadwal dan rencana. Tapi di balik semua rencana, kami tidak tahu menahu bahwa perjalanan ini adalah petualangan yang penuh lika-liku.

 

Keesokannya kamipun berangkat, dan sesampainya di tujuan, ternyata Negeri Istimewa ini bukan terletak di dalam kota besar. Entah kenapa kami lalai membaca atau memang ini seperti sebuah penipuan agensi perjalanan. Namun, karena kami pikir tempat ini masih bisa ditempuh dengan perjalanan darat, jadi kami mengikuti saja semua instruksi yang diberikan oleh agensi perjalanan. Dan karena kami berniat untuk berhemat, kami memilih perjalanan tanpa didampingi oleh pembimbing perjalanan dari agensi, memang terkesan sedikit nekat.

Berlanjutlah perjalanan kami mencari Negeri Istimewa dengan mengendarai mobil sewaan dari agensi. Kami sangat menikmati perjalanan ini seperti layaknya kami tahu persis apa yang akan kami dapati. Namun, rencana itu sepertinya jauh dari perkiraan. Karena di sebuah titik lokasi, kami dihadapi oleh sebuah hamparan berbukit tapi ternyata tidak boleh dilewati. Lalu seperti dua orang yang kebingungan, kami melihat kanan dan kiri, mencari-cari petunjuk atau warga yang bisa ditanyai.

"Sepi sekali!", komentarku. 

Tidak ada orang lain yang kami temui di lokasi, hanya ada seorang penjaga, tapi sepertinya bukan petugas keamanan ataupun perwakilan agensi.

Penjaga itu orang tua yang bertubuh tinggi, berbaju putih bersih, berjanggut lebat dan bermata hitam pekat, sang penjaga juga membawa sebuah tongkat. Kami sedikit ragu untuk bertanya, tapi kami beranikan diri untuk mendekat.

"Mmm.. mmm.. ma maaf pak, permisi... kami mau mendatangi Negeri Istimewa, apakah bapak bisa membantu kami untuk memberikan arah yang tercepat?", tanyaku sedikit terbata karena perasaanku tidak nyaman.

"Tidak ada jalan tercepat, hanya ada satu jalan yang tepat!", dengan suara serak lagi dalam orang tua itu menjawab tegas seraya menunjuk ke atas.

"Hah?! Maksudnya, ke atas? Apakah harus terbang naik pesawat? apakah kami tersesat?", aku sedikit bingung karena aku tidak melihat ada pesawat.

"Tidaaaak, lewati bukit itu, kalian harus mendaki, maka kalian akan sampai di sebuah gapura kayu sakti." ujar sang penjaga, sepertinya dia jadi merasa terganggu dengan pertanyaanku yang memborbardir, namun sang penjaga tetap menjawab tanpa mencibir.

“Mendaki??! Sakti!? Bagaimana aku tahu kalau itu sakti pak?”, seperti biasa aku jadi ingin lebih tahu, karena terdengar seperti misteri.

“Iya, mendaki… tapi kayu itu tidak sakti, jangan ngawur kamu! hanya tulisannya sajaaa, Gapura Kayu Sakti!”, dengan wajah datar tanpa intonasi, sang penjaga menjelaskan dengan kesabaran tinggi.

Aku hampir melepas tawa, tapi karena raut wajah si penjaga tak menunjukan rasa apa-apa, sambil menahan mulutku, aku hanya bisa berkata, “oooh, baiklah pak, terima kasih ya.”

Tanpa perlu bertanya lagi, karena akupun mulai ngeri, maka kendaraan kami tinggalkan dan memutuskan untuk mendaki. Perjalanan ini jadi membuatku murung, karena sejujurnya aku bukan pendaki ulung, bahkan jika diajak jalan kaki, aku urung.

 

Pendakian ini memakan waktu yang cukup lama, saat ini nafasku tersengal-sengal menapaki bukit, "apa kita sudah sampai?", tanyaku kepada seorang pembimbing pendakian, yang tak lain sahabat yang sangat kupercaya.

"Sedikit lagi! Jangan menyerah!"

Sahabatku ini memang dikenal pantang balik sebelum matahari terbit, maksudnya dia akan terus menerus mencari yang dia inginkan, walau hanya mendapatkan sekelumit. Sepertinya dia punya gangguan obsesi yang rumit.

"Pulang aja deh, aku lelah!"

Aku memang sedikit sudah mau menyerah, tapi aku tak mau kalah, hanya resah.

"Tenang saja, kelelahan itu hanya sementara, di balik bukit ini, akan ada sebuah batu permata."

Sahabatku, memotivasi bak seorang motivator yang tak pernah gundah akan masalah.

"Apakah permata itu akan bisa dijual lagi dan bernilai lebih tinggi daripada pendakian yang susah begini?!", aku menyindir sedikit canda, bernada frustrasi.

Diapun tertawa, "yah sudah, lihat saja… tidak akan ada yang bisa menjelaskan makna dari hikmah, jika kamu sendiri tidak mau bersusah payah.", tambahnya.

Sebuah kalimat yang mendorong motivasiku untuk meneruskan pendakian yang tidak mudah. Cukup menggugah, memang setiap manusia itu memerlukan sebuah pecutan, walau itu sekedar jalinan kata-kata.

Tak menyangka, kami telah mendaki selama dua setengah jam, dan akhirnya tibalah kami di Negeri Istimewa.

"Ampuuun…. Leganyaaa…", ujarku sambil melepas penat aku duduk di atas tanah, tak peduli apapun karena aku benar-benar lelah.

“Gapura Kayu Sakti!”, aku membaca tulisan itu sambil terkikik sendiri. Aku dan sahabatku berharap ada seseorang yang akan menyambut dan menjamu kami dengan segelas air minum, atau sekedar makanan ringan yang membuat perut terisi. Tapi tentu tidak, setibanya kami di titik lokasi yang telah diberikan petunjuknya oleh sang penjaga misteri, kami dihadapkan dengan satu kebingungan lagi.

Pertama kami hanya melihat sebuah gerbang gapura yang sudah bertahun-tahun tak terurus. Lapuk bahkan hampir ambruk.

Kamudian kami berjalan sedikit melewati gapura itu, "masyaaaAllah...!!!!", jeritku terkesima.

Disinilah penelusuran ke Negeri Istimewa bermula.

 

Inilah Negeri Istimewa yang terletak sangat jauh di balik bukit berpasir, di negeri itu telah berdiri sebuah singgasana kerajaan, bernama Kerajaan Kabir. Berdirilah aku di hadapan sebuah tabir, sangat ajaib! Ternyata itu adalah Gerbang Air. Sungguh memesona, tubuhku bergeming, seakan-akan otak dan seluruh panca inderaku larut dalam sensasi kekuatan sihir.

Aku tak bisa berkata-kata, mulutku hanya ternganga. Istana kerajaan Kabir dihiasi dengan warna hitam dan emas yang pekat, sangat menghipnotis indera penglihat.

Mataku sibuk menangkap semua warna dan cahaya. Kepalaku tak berhenti menoleh kiri dan kanan, lalu atas, kemudian bawah.

Lalu aku berputar dan berputar, tiba-tiba aku berhenti, melihat sesuatu yang bersinar!

Keingintahuanku memuncak, jantungku berdegup. "ada apa yah di sana?" aku gugup.

Sebuah celah, aku mendekatinya perlahan, ibarat detektif yang sedang memecahkan misteri di negeri antah berantah. 

Aku melihat sebuah pintu besi berlapis emas, berukuran lumayan besar. Lalu kuperhatikan nampak sebuah simbol dan tulisan, "hmmm, sangat familiar."

Tulisan itu diukir dengan warna emas, berbunyi, "Allahu Akbar!". Jantungku semakin berdegup kencang hingga tanganku bergetar.

Dengan sedikit tenaga, kudorong pintunya perlahan, dan akhirnya terbuka lebar, "wuuushhhhh….!!!". Hatiku berdebar-debar.

Kulit wajahku merasakan angin semilir yang dingin menerpa. Inilah pengalaman kali pertama, inikah rasanya jatuh cinta?

Ternyata pintu ini menyambung ke area halaman taman bunga dan padang rumput yang sangat luas, "haaah!!" aku terkejut bukan main, "aku menemukan permata!", sungguh euforia.

Langsung aku berlari jauh ke luar, luas sekali halaman ini. "Tidak seperti yang kubayangkan!" 

Hingga sampailah aku di sebuah bukit yang cukup tinggi. "Sungguh menyenangkan!". Aku bisa melihat seluruh pemandangan yang menenangkan.

Takkan pernah menyesal aku datang ke tempat ini, hanya satu kata istimewa, tersemat di hati.

Tak luput dari pandanganku di atas bukit, rumah-rumah penduduk dari kekayuan, pohon-pohon palem berjejeran, kebun buah-buahan yang terlihat sangat menggiurkan. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan satu pemandangan.

Aku bertanya-tanya pada diri, "ada sungai yang mengalir?", "apakah aku di surga?" "jangan-jangan aku sudah mati?" sembari mencubit-cubit pipi.

Tampak dari kejauhan, istana kerajaan dengan bangunan arsitektur yang megah nan mewah, di atasnya terdapat sebuah kubah yang berwarna putih dan emas, bangunan yang begitu gagah. Terpampang di beberapa sisi sayap istana, hiasan ornamen Kiswah yang indah. Kerajaan ini terkenal di penjuru dunia, sebagai bagian generasi penerus Khalifah.

Kerajaan Kabir memiliki seorang Raja, bernama Raja Hira yang terbilang masih muda, namun berwibawa. Walau kepiawaiannya memimpin sebagai raja saat belia, beliau sangat menjunjung tinggi nilai budaya. Terlihat keunikan di tengah kota di Negeri Istimewa, yang kelestariannya sangat terjaga.

Berdiri kokoh sebuah monumen kayu-kayu balok yang sengaja dibentuk tertumpuk. Namun penuh warna, ada kuning, hijau, biru dan merah. Diukir dan dihias sangat menawan. Walau tak terlihat seperti halnya monumen kebangsawanan, namun konon sejarahnya itu adalah sebuah simbol warisan kebudayaan.

Dikarenakan negeri ini, dahulunya adalah penghasil kayu terbesar, dan dibangun oleh para pengrajin yang memiliki keahlian tinggi yang mengakar.

Kali ini, aku berjalan memasuki area pedalaman negeri ini, pedesaan tertua bernama Desa Kayu. Begitulah sebutannya karena disinilah kayu sebagai bahan baku. Tidak sedikit penduduk yang masih bekerja sebagai pengrajin dan mengolahnya menjadi produk bermutu. Karena memang bukan hanya sebatas monumen yang kaku, ini adalah simbol kental warisan ilmu.

Senyum ramah anak-anak kecil yang berlarian, sangat mencuri hati. Mereka bermain asyik, bercanda tawa, membuat aku yang melihatnya iri. Betapa polosnya mereka, dunia mereka sekonyong-konyong tiada beban yang berarti. Pikiranku terbang melayang, sepertinya aku ingin kembali kecil lagi.

Mataku melirik ke arah seorang anak laki-laki yang duduk sendirian, di rumput, sambil memegang mainan. Sangat seru sekali anak ini bermain tanpa teman. Aku penasaran, kuhampiri dia, dan duduk bersebelahan. "Kamu sedang bermain apa, kawan?"

Berbalas pertanyaanku dengan sebuah senyuman. Lalu, dia menjawab bersuara lantang, "ini adalah mobil terbang yang akan aku buat sendiri. Aku akan terbang dengan mobil ini suatu hari! Bersama seluruh teman-teman, keluarga dan  semua penduduk negeri!"

Aku berseru, "Waaah kereen! Hebat! Pasti orangtuamu bangga sekali!"

Walaupun anak ini baru berusia tak lebih dari lima, aku dibuatnya terperangah dengan imajinasinya yang luar biasa. Karena mobil terbang itu hanyalah berbentuk mainan mobil traktor beroda tiga.

"MasyaaAllah", betapa kebahagiaan dan keseruan terpancar dari seorang anak kecil yang penuh jiwa. Benar-benar sebuah negeri yang istimewa. Kerajaan tenteram yang memakmurkan semua rakyatnya. Tidak hanya sebagian kecil dan tak juga sebagian lainnya. Betul-betul keadilan yang merata. Ini adalah Negeri Istimewa, sebuah tempat yang pasti akan didamba.

Sedikit demi sedikit ada kilatan-kilatan yang memendar. Lalu aku menutup sebagian wajah, dan akhirnya kubuka mata, akhirnya aku kembali tersadar. “Astagfirullah..”, aku beristighfar.

"Hujan begitu deras diluar." Ternyata dari tadi aku tertidur selepas shalat Ashar.

Aku melihat di hadapanku sebuah sajadah yang masih terbentang, dan sebuah simbol kiswah terpajang di atas tembok ruang.

Aku mengucap lirih, "Alhamdulillah".

Semoga mimpi ini bukan hanya indah. Tak kuasa aku menahan air mata lalu kuusap wajahku yang basah. Perasaan rindu yang tak terbendung akan inginnya menyentuh kain kiswah dan melihat Ka'bah, walau sekali saja. 

Aku hanya berdoa semoga ini tanda, bahwa Allah akan memberikan balasan dari segala kesulitan, dengan akhir yang berkah. Insyaa Allah.

 

“BUNDAAAAAAH”, suasana hening dan khusyuk terpecah.

“Tante Amih dataaaang!!! Bawa Brownies!!”, anakku memberi kabar yang membuatnya sangat riang, karena sahabatku membawa buah tangan kue kesukaannya.

“Ada apa Mih? Sore-sore ke rumah, kok gak nelpon dulu?”, tanyaku.

“Nggak bisa lama kok, cuma mau ngasih brownies. Terus.. ada kabar gembira, hehehehe!”, sahabatku terkekeh sendiri.

“Kabar gembira apa? Kamu mau punya anak lagi yaah??”, aku menduga.

“Ehk, gaak! Jangan sekarang! Hihihi… Karena ini waktunya kita berdua berpetualang!”, sahabatku malah membuatku pikiranku melanglang.

“Apa sih maksudnya? Udah deh jangan bikin penasaran.”, tak bisa lagi aku menahan kesabaran.

“Ok, sabar Sistah! Aku harus langsung pulang juga. Nih, baca! Tapi gak boleh nolak ya! Wajib ikut! Kita berdua aja!”, dia pun pergi sambil menyodorkan sebuah katalog agen perjalanan.

Aku langsung membaca tulisan yang tertera sangat besar di halaman sampul katalog terdepan.

“Negeri Istimewa! Sebuah Destinasi dimana Keajaiban dan Harapan Menyatu, Tak Lagi Semu!”

“APAAAH?!??”

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.