Bawa Aku Pergi
"Sedikit lagi, lukisan ini akan selesai. Perahu ini akan membawaku pergi. Sedikit lagi."

Memutar badan ke sana kemari, aku menjelajah setiap lekuk tubuhku. Bagaimana lagi aku akan mengukirnya? Sudah setengah tahun berlalu sejak aku mulai berolahraga. Hampir setiap hari, aku ikuti berbagai latihan melalui layar dan aplikasi yang kuunduh atas saran seorang teman. Dokter bilang, penting untukku melakukan aktivitas fisik, dan aku menurutinya.
"When your body moves, your mind stays still. And when your body stays still, your mind will start to wander."
"With your current state of mind, such a thing can be dangerous. So make sure to keep your body moving, every single day," pesannya 6 bulan lalu membekas begitu kuat.
Kata-kata itu masih terngiang jelas dalam ingatanku, walaupun sejak saat itu aku berhenti menjumpainya. Bukan, bukan karena aku telah merasa lebih baik dan tidak memerlukan bantuannya lagi. Hanya saja, tanganku sudah terikat oleh keterbatasan uang. Satu sesi konsultasi saja mahalnya bukan main. Tabungan yang kupunya kian menipis. Makan dengan teratur pun bahkan kadang terasa berat.
Tak lama setelah aku merambah dunia olahraga, aku merasa terobsesi dengan tubuhku sendiri. Apa pun kata orang lain, aku tak peduli. Biarlah mereka berbicara, mengatakan aku terlalu kurus, atau mungkin kurang gizi. Pikiranku sama sekali tak terpengaruh. Aku punya standar ideal yang ingin kucapai, dan takkan—bahkan tak bisa—berhenti sebelum kusaksikan hasil yang membuatku puas.
Orang-orang bilang, dari awal sebenarnya badanku sudah cukup bagus. Figur berbentuk jam pasir, katanya. Atau mungkin ada juga yang menggunakan istilah “gitar Spanyol”. Idaman para lelaki (dan juga wanita, tentunya). Seharusnya, dari dulu aku tak punya masalah untuk mengenakan bikini atau harus bertelanjang tanpa sehelai kain sedikit pun. Tetapi, aku tak merasa percaya diri. Dan kini, meskipun lingkar pinggangku telah menyusut tujuh senti, rasa puas tak juga datang. Selalu saja ada yang kurang. Selalu ada yang mengusik, membuatku ingin lebih, lebih, dan lebih.
Masih dalam keadaan tanpa busana, aku melangkah keluar dari kamar mandi. Menuju kamar tidur, lalu perlahan merebahkan tubuhku yang setengah basah di atas ranjang. Tatapanku terpaku pada langit-langit kamar. Jejak pola hujan masih terlihat, bekas rembesan air yang dulu meresap dan merusak atapku.
Aku bosan.
Hidup di kota asing, terasing dalam bahasa yang tak kupahami, seakan aku alien di tengah lautan manusia. Atau, entahkah sebaliknya? Mereka yang alien, dan aku adalah satu-satunya manusia. Ya, mungkin saja begitu. Bagaimana pun juga, tak mungkin aku menganggap diri sendiri alien 'kan? Pada akhirnya, bukankah alien itu artinya makhluk asing? Masa iya aku merasa asing dengan diriku sendiri? Yah, walaupun memang benar, kadang-kadang aku merasa seperti itu. Kadang rasanya lebih mudah bagiku untuk memahami orang lain daripada mengenal diri sendiri. Sebuah perjalanan panjang yang tak kunjung terang ujungnya: perjalanan menemukan jati diri.
Mungkin itu pula yang selama ini menghambat rasa percaya diriku. Secara tidak sadar aku selalu mencari validasi dari orang lain, terutama dari mereka yang dekat denganku, orang-orang yang kusayangi. Membuatku selalu berpikir, ‘Apakah aku cukup pintar?’ ‘Apakah aku cukup baik?’ ‘Apakah aku cukup cantik?’. Seakan meminta seseorang memberikan jawaban. Ya, mungkin begitu. Jadi, bagaimana bisa aku percaya pada diri sendiri, kalau kenal saja tidak?
Aku meratapi diri dalam monolog yang semakin tebal, menyelimuti sepertiga dunia. Cahaya sore menembus jendela, menerpa kulit tubuhku yang hanya tergeletak tak bergerak sejak sepuluh menit lalu. Sinar jingga menyiratkan matahari akan segera meredup, meski jam masih menunjukkan pukul empat sore. Musim dingin memang kejam. Kedatangannya membawa pergi sinar matahari yang kusukai, membuat depresiku semakin menjadi-jadi, menambahkan lapisan pada rasa sesak di dadaku.
Orang bilang suplemen vitamin D bisa memperbaikinya. Benarkah? Entahlah. Mungkin itu hanya trik dan akal-akalan mereka saja. Atau bisa jadi, itu cuma efek placebo. Bagaimana bisa vitamin menyamai kehangatan matahari? Bisakah menghirup kapsul membuat bahagia?
Kamarku tenggelam dalam kegelapan. Langit di balik jendela berubah menjadi ungu pucat. Rambutku yang berantakan menutupi pandangan. Mataku kabur. Tetapi aku harus bangun dan menyelesaikan lukisanku.
Dengan gontai dan perasaan setengah hati, aku bangkit dari ranjang untuk menyingkap kain usang yang menyembunyikan lukisan berwarna merah di sudut ruangan. Aku menatapnya lekat-lekat.
"Sedikit lagi," gumamku.
Kuambil sebilah pisau kecil di dekatku dan menyayat pergelangan tanganku. Meringis, aku menyambar secangkir kopi yang sudah setengah basi di meja samping tempat tidur, lalu menenggak isinya sampai habis. Kutadahkan cangkir itu di bawah pergelangan tanganku. Darah segar mulai menetes.
Kuambil kuas di dekat kakiku dan kuayunkan, melanjutkan lukisan di hadapanku.
"Perahu ini akan membawaku pergi dari tempat asing ini."
"Sedikit lagi," gumamku.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.