Bertha dan Adi

Bertha dan Adi

Udara dingin menyergap sejak masuk daerah Puncak sampai akhirnya masuk perbatasan Cimahi. Ini sudah keempat kalinya Aku mengulangi hobi bermotor dari Jakarta sampai Bandung dengan Astrea Black tua yang dulu sempat iseng dibeli.

"Sudah di mana, Mas?" Whatsapp masuk dari seorang perempuan. Namanya Bertha. Seorang single parent yang menyepikan diri di pinggiran Bandung ini.

Setelah memesan hotel, Aku mengajaknya bertemu di kafe. Pukul 14:00 Aku menjemputnya dengan taksi. Cukup terpencil, kami harus berputar-putar beberapa kali dan akhirnya Aku menunggu di sebuah sekolah karena sudah menyerah mencari di mana lokasi kontrakannya. 

Hampir pukul 16:00 sampai akhirnya sesosok perempuan tampak dari kejauhan, menggandeng anak sekitar usia 10 tahunan. Adi namanya. Kusalami dan kusapa, ia sedikit terlihat takut dan memalingkan wajah dengan mata yang agak kosong seperti juga Ibunya, ciri khas anak yang mengalami trauma. 

Bertha mengajakku ke kontrakannya sebentar untuk menaruh oleh-oleh yang sudah dibawakan. Agak penuh dengan barang yang tidak tersusun terlalu rapi dan piring terlihat berserakan, belum dicuci. 

"Kadang kasihan melihat Adi, harus menyesuaikan diri dengan keadaan ibunya," ceritanya tanpa kutanya, saat mengizinkan Adi bermain sebentar keluar. 

"Keadaan seperti apa?" Tanya saya.

"Bipolar. Aku sering tanpa kontrol meledak dan menyiksanya. Kadang sampai membenturkan kepalanya ke tembok. Kalau sudah seperti itu dia diam saja," jawab Bertha.

"Dia sendiri bagaimana?" Selidikku lagi.

"Ya kadang dia mencari pelampiasan ke binatang. Pernah sampai menenggelamkan dan menyiksa kucing di sini," ceritanya lagi. 

"Bapaknya di mana?"

"Kami sudah cerai. Tapi mantan suami tidak mau memperlancar urusannya. Sampai sekarang surat cerai tidak keluar, jadi tidak bisa mengurus kartu keluarga sendiri," Bertha bercerita dengan setengah melamun. 

Suami Bertha yang berselingkuh dan diam-diam menikah dengan perempuan lain adalah alasan mereka berpisah. Sementara posisi Bertha di tengah keluarganya juga sudah tidak diakui lagi. 

"Bapak tidak mau mengakui Aku jadi anak. Jadi mau gabung KK dan mengurus BPJS juga sudah susah. Mengurus kepindahan ke sini juga dipersulit karena stigma sebagai janda dan orang bermasalah dengan mental."

Bertha adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang kutemui setelah menyatakan keinginannya bunuh diri di media sosial. Kondisinya sulit sekali ditolong karena posisinya juga sudah hampir stateless, sulit mendapat pertolongan dari negara karena rumitnya birokrasi. Sementara kebutuhannya untuk ditangani psikiater mendesak dan mahal. 

"Sekali konsultasi mesti keluar 200 sampai 300 ribu. Belum termasuk obat," terangnya lagi saat kuajak makan malam di kafe di tebing yang terletak beberapa ratus meter dari perkampungan itu. Adi yang dipesankan kentang dan sosis goreng memakannya dengan lahap. Terlihat ia jarang sekali makan layak dengan tubuh sekurus itu. 

"Sekedar untuk bertahan hidup, membayar kontrakan dan makan kami, Aku harus kerja jadi desainer web freelancer. Kalau sedang beruntung, buat template web bisa dibayar 300 sampai 500 ribu."

Bertha mengaku beruntung masih ada beberapa sahabat masih berusaha menolongnya.

"Orang di sekitar yang tidak mengerti, sering menuduhku pembohong. Padahal bukan maksudnya begitu," aku Bertha. Kondisi penyandang bipolar disorder yang sering mengiyakan sesuatu tanpa berpikir panjang, karena cara kerja otaknya yang impulsif dan di lain waktu bisa tiba-tiba depresi memang membuat mereka terlihat sulit memegang komitmen. 

Bertha mengaku anaknya lah yang sampai sekarang menahannya dari mewujudkan niat bunuh diri. "Kalau tidak ada ibunya, nanti dia bagaimana?" 

Selain Adi, ia masih memiliki seorang putri dari pernikahan lainnyanya yang juga kandas. Malang, putrinya dipisahkan darinya dan hampir tidak mengenalnya lagi setelah beranjak dewasa. 

"Dulu dititipkan ke saudara dengan pesan tolong dibimbing jadi programmer karena dia pintar. Tapi sekarang sudah tinggal kenangan saja. Bicara pun sudah tidak mau lagi," mukanya terlihat sedih. Hanya Adi yang masih sempat ia miliki dan rawat. 

Pernikahan yang berulang kali gagal dan dikhianati membuat Bertha trauma dan sulit percaya lagi kepada siapapun. Keluarga pun sudah tidak memperhatikannya lagi. Inilah yang membuat Bertha kesepian dan tenggelam dalam depresi. 

Malam itu Aku berpamitan setelah mengantarnya pulang. Kutitipkan sejumlah uang. "Hasil  urunan dari teman-teman. Silakan pakai untuk apa saja. Beli makanan atau peralatan lukis boleh, biaya ke psikiater juga silakan," jawabku saat Bertha bertanya uang itu dari siapa dan untuk apa. 

Aku kembali ke Jakarta dengan dingin yang jauh lebih menusuk dan mencekam. Terlebih memang pakaian yang dibawa cuma kaos tipis dan celana pendek.

Sambil mengigil di Puncak Pas, kuteguk teh hangat, memperhatikan kerlap kerlip lampu di kejauhan. Pikiranku melayang jauh. Tidak semua orang berkesempatan mendapat hidup yang lancar dan menyenangkan. Sebagian besar yang harus kita hadapi adalah kesengsaraan. Itulah kenapa kebahagiaan itu begitu langka dan diburu semua orang di dunia ini. 

*Cerita fiksi yang terinspirasi kejadian nyata tiga tahun lalu

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.