JODOH TERBAIK

JODOH TERBAIK
Mas Arif adalah senior tingkat tiga saat aku memasuki kampus itu. Kampus biru. Kami berkenalan saat masa orientasi mahasiswa. Dia pengisi materi untuk sesi pertukaran pelajar di kampus. Dari data diri yang dia beberkan, mas Arif sudah membuatku terkesima. Bagaimana tidak?
Prestasinya tidak hanya di akademis tapi juga organisasi sangat mengagumkan. Sejujurnya dia tidak tampan. Hanya pembawaannya yang kharismatik dan teduh, membuat dia mempunyai kesan menawan.
"Halo Kak, saya Sukma, minta tanda tangan ya kak, untuk isi tugas MOS pemateri terfavorit." Aku menyodorkan kertas yang tergantung di dadaku.
"Boleh, silahkan, mana yang saya tandatangani." Setelah memberikan tandatangannya. Mas Arif tersenyum dan menyapa.
"Kamu jurusan apa? Tertarik dengan materi saya ya. Kalau mau gabung, join ya. Di lantai dua gedung utara paling kanan basecamp-nya."
"Boleh ya Kak?" Dengan berbinar aku berkata lagi, "Iya Kak saya mau. By the way, boleh minta nomer telepon kakak?" tanyaku malu-malu.
"Silahkan, ini." Mas arif memberikan kartu namanya dan tersenyum lagi.
Setelah perkenalan pertama itu, hubungan kami berlanjut intens. Kami nyaman dengan hubungan senior dan junior yang memiliki visi dan misi sama. Alias nyambung. Selain karena satu jurusan, kami sama-sama tertarik dengan dunia menulis. Jadi aku sering meminta pendapatnya dan sepertinya dia juga menyukai ide segar dari apa yang aku utarakan.
Tak terasa, masa kuliah sudah hampir berakhir. Mas Arif dengan kesibukannya yang memang luar biasa membuat dia terlambat lulus tepat waktu. Kami sama-sama menyusun penelitian tugas akhir dalam satu tim. Profesor kami sudah sangat mengenal kami dan mempercayakan proyeknya pada kami.
"Arif, Sukma, saya dapat telepon dari laboratorium PT P******, sampel kalian hasilnya bagus. Mereka tertarik dengan metode kalian. Saya tunggu laporannya segera ya. Biar bisa cepet selesai dan lulus tahun ini." Kata Profesor Anik di ruangannya.
"Alhamdulillah, serius Bu?" Mas Arif terlihat berkaca-kaca bahagia.
"Serius, kalau sudah lulus dan kalian menikah, saya jangan lupa di undang ya! Kalian sangat se.."
"Uhukkk...uhuuukk.." Aku langsung tersedak dengan pernyataan Profesor Anik.
Dengan malu-malu, Mas Arif juga berdehem menetralkan suasana.
"A-apaan si Prof, kami hanya berteman, Sukma sudah seperti adik bagi saya."
"Halah, apaan adik, adik ketemu gedhe iya. Bisa aja kamu Rif." Profesor Anik terkekeh.
"Wah Sukma, kamu jangan mau kalau di PHP-in trus. Harus minta ketegasan. Kemana-mana bareng kok cuma jadi adek!" Profesor Anik menambahi.
Mendengar pernyataan Profesor Anik, aku merasa campur-campur dan salah tingkah. Demikian juga Mas Arif. Terlihat dari sudut mataku, bahwa Mas Arif juga salah tingkah.
Memang, meski kami tidak ada pernyataan hubungan lewat ucapan bibir. Namun, semua sudah tahu, jika ada mas Arif pasti ada aku. Karena setiap kegiatan asistensi, organisasi, event nasional internasional, sering kami lakukan bersama-sama. Dan semua tahu, masing-masing dari kami sama-sama tidak punya kekasih. Serta entah kenapa, hasil goal yang kami ikuti selalu memuaskan.
Sampai akhirnya, tibalah masa wisuda. Masa yang ditunggu-tunggu oleh setiap mahasiswa. Masa yang dinantikan oleh setiap orang tua. Malam itu, sehari sebelum dilaksanakannya wisuda, Mas arif tiba-tiba sudah berada di teras kos. Hal yang tak biasa.
Ting tong.
"Neng Sukmaaaaa ... ada Mas Arif di depan."
Si Mbok penjaga kos mengetuk pintu kamarku. Aku yang sedang membaca novel pun kaget.
"Ha, serius Mbok? Ko tumben gak sms dulu.
"Tau atuh Neng. Cepetan, ditunggu Mas-nya."
Setelah berganti baju. Pakai jilbab ala kadarnya dan tak lupa bawa hp. Aku turun ke teras.
Rumah kosku memang bentuknya seperti hotel. Lebar dan kotak dengan kamar-kamar yang berdampingan satu sama lain. Tersusun rapi disetiap lantai dan hanya berpusat ke satu pintu keluar masuk dengan cctv yang stand by 24 jam. Jadi setiap tamu yang datang selalu di teras bawah, yang luas sekali dengan kursi-kursi berjejer seperti di rumah sakit.
"Eh mas, ada apa? Tumben, biasanya ngabarin kalau mau kesini."
"Hmmm ... ndak papa, Mas mau maen aja. Sukma lagi gak repot kan?"
"Ndak si Mas, lagi santai aja tadi." jawabku kikuk.
Hening.
Sama-sama bermain ponsel masing-masing.
"Ehhh.... "
"Hmmm...."
Kami berbarengan terus mau ngomong.
"Kamu duluan yang ngomong." Perintah Mas Arif.
"Gak wes, Mas aja dulu, kan Mas tadi yang kesini, kayak butuh sesuatu."
Mas Arif diam. Hanya melihatku.
Tatapannya seperti ... susah dijabarkan, tapi tiba-tiba membuatku deg-degan.
"Mas pamit pulang ya. Selamat malam. Oh iya, ini martabak kesukaanmu," jawabnya, singkat.
"Loh! Gimana mas ini. Kok aku jadi ngrasa aneh. Hehe. Jangan nakutin deh Mas." Aku berusaha sebisa mungkin menetralkan suasana.
Mas Arif cuma tersenyum, mengucap salam dan pergi dengan motornya.
*******
Saat hari wisuda, semua akan sibuk dan repot karena para orang tua pasti datang beserta handai tolan. Menyaksikan hari bersejarah untuk putra putri mereka.
Hari itu, di gedung G***** Mas arif, datang. Aku merasa dia jadi tampan.
Bersih dengan baju toga dan kemeja putihnya. Aku yang memakai kebaya warna merah pun sepertinya membuat dia terpesona. Bukannya ge-er, tapi aku merasa, Mas Arif memandangku dengan tatapan tak biasa. Tak seperti biasanya.
Karena satu tim, otomatis, masing-masing keluarga kami, saling mengenal. Kami pun memyempatkan foto bersama.
***
Beberapa hari setelah acara wisuda. Mas Arif, berpamitan padaku. Karena harus ke Britania Raya untuk melanjutkan studinya. Dari awal dia mendaftarkan beasiswa kesana, aku tahu, dia akan mendapatkannya.
Acara berpamitan pun biasa saja. Apa yang aku harapkan? Aku menghormatinya sebagai senior dan kakak karena sesama anak rantau. Saling melindungi dan mendukung.
Sejujurnya, dari perkataan Profesor Anik dan teman-teman yang mengenal kami. Aku pun merasa kami serasi. Kami sudah mengetahui apa yang kami ingini tanpa memberitahu satu sama lain. Seperti sudah terkoneksi lewat telepati.
Jadi, kalaupun mas Arif memintaku. Bukan, bukan, tapi menginginkanku lebih. Aku pasti langsung berkata, iya. Ah, tapi aku tak boleh berpikir kesana.
Bagaimanapun itu privasi sekali dan hubunganku tak boleh renggang karena mungkin ternyata dia tak memiliki rasa itu. Jadi aku menahan diri.
Bertahun-tahun berlalu, hubungan kami hanya sebatas email dan sms singkat. Dan lebih sering tak ada kabar karena sudah fokus dengan dunia masing-masing.
Hingga, orang tuaku menginginkan putrinya segera menikah. Karena dirasa sudah mandiri dan cukup umurnya. Akupun mengiyakan ketika ada seseorang yang datang untuk mengkhitbah. Pria itu juga mapan dan tampan. Kebetulan kami tetangga desa jadi tak sulit untuk saling mengenal. Ayah ibu setuju.
Malam pertama setelah akad, kami memutuskan untuk membuka-buka kado dan membalas ucapan selamat di sosial media ataupun di ponsel masing-masing.
Sampai akhirnya, mata ini berhenti pada sebuah pesan yang membuat dada masih berdenyut nyeri, meski sudah ada suami di sisi.
[Selamat atas pernikahanmu Sukma. Maaf tidak bisa datang dan membalas undanganmu di email yang kamu kirim. Aku sekarang sudah di Indonesia. Aku baru tahu kamu menikah hari ini saat aku sudah sampai indonesia. Maafkan aku. Sejujurnya aku menyukaimu, dan ingin datang meminta ijin kepada orang tuamu. Namun, ternyata aku kalah dengan waktu. Maaf jika waktu itu, aku tak memberi ketegasan. Karena kupikir, belum saatnya. Semoga dia yang kamu pilih memang jodoh terbaikmu]
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.