Nasi Goreng Hangat

Nasi Goreng Hangat

“Bang, Kaya biasanya ya.”

Abang tersebut pun dengan mantap menjawab “pedas kan?, makan disini?”. Setelah menjawabku, dengan sigap dia menyiapkan sepiring nasi sembari mengusap dahinya dengan handuk.

Aku berusaha tidak melihat handuk itu. Bukan tanpa alasan, tentu aku tidak ingin napsu laparku pergi. Menjual nasi goreng itu pekerjaan yang sangat berat, berat sekali. Bayangkan wajan yang sebesar itu harus melompat kesana-kesini. Bahkan belum pernah sekalipun aku melihat perempuan yang menjual nasi goreng kaki lima, semuanya laki laki. Harusnya para pejuang kesetaraan gender marah dengan pekerjaan ini, terlalu segmented pikirku.

Meski belum pernah aku mendengar demo tentang kesetaraan gender yang menuntut pekerjaan ini bisa diperankan oleh perempuan. Pasti terdengar lucu “Para pejuang kesetaraan gender menuntut agar pedagang nasgor kaki lima bisa diambil perannya tanpa memandang gender”. Tentu tidak mungkin kantor berita akan menyiarkannya. Ini kan acara berita, bukan komedi.

“Apa mungkin karena pekerjaan ini terlalu biasa?”, pikirku. Ntalah perutku terlalu kosong untuk menanggapi pikiranku.

“Tseng song, Tseng song.”

Sigap sekali abang itu memutar wajannya. Tangan kiri memegang wajan dan tangan kanan menggenggam spatula, persis seperti kesatria romawi. Bedanya dia memainkan alat dapur. Abang ini terlihat profesional, tangannya besar dan berotot hasil dari ribuan kali memutar wajan. Begitu pula perutnya, besar dan buncit. Kalau ini aku menduga hasil dari memakan sisa dagangannya yang belum laku.

“Rapi banget mas? tumben baru makan jam segini baru pulang ya?”, tanya Abang ksatria romawi itu padaku.

“Hehe Biasa bang, urusan kerjaan. Baru dari luar kota, ini aja dari stasiun langsung ke sini. kasian perut kalo harus pulang dulu” Jawab aku.

“Oalah pantes mas, hampir sebulan kayanya ga keliatan. Curiga nasgor saya ini diselingkuhi, Tapi pasti ga mungkin dong. Sampean kan langganan saya dari kecil”. Ucap canda Ksatria romawi itu padaku.

“hehe iya bang, akhir-akhir ini sering keluar kota” jawabku singkat.

Padahal satu bulan ini baru sekali aku ke luar kota. Pede sekali Kesatria ini, dipikir sebulan aku akan makan nasi goreng terus terusan. Mana mungkin aku ingin menandingi perut buncitnya.

Setelah menjawab aku mencari tempat duduk. Mataku melihat ada yang berbeda. Ada warung kopi baru, berdiri tegak di sebelah gerobak nasgor. Warung kopi kecil dengan ibu-ibu separuh baya sebagai baristanya.

Aku duduk disana, “es teh tawar ya Bu, satu” Aku memesan sambil tersenyum.

“siap Dek, ini berarti gulanya satu sendok aja ya” tanya Ibu warkop.

“Oh engga Bu, gausah gula sama sekali, tawar Bu” jawabku. Ibu ini masih amatir pikirku.

Ibu warkop dengan sigap langsung menyeduh air panas dan menyiapkan kantong teh.

Tidak sampai 5 menit pesananku siap, langsung diletakkan di meja depanku. Warung itu sangat kecil, bahkan tempat dudukku dengan dapur hanya dipisahkan dua piring tumpukan pisang goreng.

3 menit kemudian nasi gorengku juga siap. Ksatria romawi itu mengantarnya ke meja tempatku. Aromanya sungguh menggoda, sedikit beraroma asap. Nasi goreng jawa dengan telor ceplok diatasnya. Aku hanya perlu 10 sendok lahapan untuk menghabisinya.

Sendok pertama kulahap dengan penuh semangat. Terkesan terburu-buru, lidahku seperti kebakaran. Untungnya ada minumanku sebagai pemadamnya. Aku duduk tidak sendiri, disebelahku ada bapak bapak setengah baya. Dengan kaos biru muda bertulis lanjutkan 2024. Bapak itu sedang melahap tahu isi, terdapat puntung rokok di mejanya.

“Tadi dek, saya ngangkut pipa besi, buanyak poll. Ke pasar kampung sebelah, bolak balik baju saua sampe basah”. Cerita Bapak itu ke Ibu warkop.

“Yang mesen nguawur ya. Besi berat gede kaya itu bukan pake pickup, tapi malah pake becak” Ibu warkop menanggapi sambil menggoreng singkong.

Aku mendengarkan sambil melahap sendok ketiga ku.

“Sing penting uangnya lumayan dek, baju basah kan gampang, pulang tinggal ganti”. Jawab Tukang becak.

Tiba tiba datang seorang anak, memakai seragam sekolah dasar. Pikirku sekolah dasar mana yang membiarkan muridnya pulang jam segini.

“bu deeeee” teriak ceria anak kecil itu

“gimanaa? udah abis telurnya?” Tanya ibu warkop.

Kukira anak itu menggendong tas, ternyata bukan. Itu dagangannya, dengan kotak seukuran papan catur menggantung di perut anak itu.

“lumayan looh Bu deee” Jawab anak kecil.

Dia duduk di sebelahku, memisahkan aku dan tukang becak tadi.

“Bu deee, Bu de tau obat sakit gigi gak?” tanya anak kecil itu ke Ibu warkop.

“Obat sakit gigi le? Buat siapa?” jawab Ibu warkop.

Aku mendengarkan sambil melahap sendok ke tiga.

“aku bu dee” jawab anak kecil itu sambil membuka mulutnya lebar lebar, jarinya menunjuk gigi paling belakang.

“wahh bolong itu, harusnya dicabut aja” ujar ibu warkop

“Makanya bu de, aku takut plus gaada uang. Jadi mending diobatin aja bu dee”, ujar anak kecil itu.

“Coba pake panadol”. Saran Ibu warkop.

“nguawur kamu dek, panadol itu obat pilek. Harusnya paramex” potong Tukang becak.

Aku yang melahap sendok ke lima sadar bahwa tidak ada satupun obat rekomendasi mereka yang benar.

“udah mending gini aja, kamu ke dokter gigi nanti pak de kasih duit buat ke Dokter” Ucap tukang becak. Tangannya mencoba mengecek uang di saku belakangnya.

“Tumben baik banget pak de” jawab anak itu.

Tukang becak itu mengecek seluruh kantong dicelananya. Tidak ada apapun, lalu pindah ke kantong  yang ada di bajunya.

“waduh mana ya” ucap tukang becak. Sambil terlihat bingung, tangannya kembali mengecek seluruh kantong dibajunya.

“Walahh, Pak de baru inget tadi abis nganter besi, abis gitu pulang dulu mandi”. Ucap Tukang becak sambil menepuk jidatnya.

Aku menyimak mereka sambil melahap sendok ketujuh. Aku merasakan kehangatan pada obrolan mereka.

“Huu dasar Pak de, kebiasaan Php. Udah deh aku beli obat aja” jawab anak kecil tadi sambil pasang muka masam. Lalu berpamitan pergi ke Ibu warkop.

“hati hati ya lee, Bu de kasih nasi bungkus ya?” tanya Ibu warkop.

“Gaperlu Bu dee. udah ada ini” Jawab anak kecil sambil menunjukkan plastik ditangannya.
“Tadi ada yang ngasih aku ini”. ucap anak kecil itu.

“yaudah hati – hati yaa pulangnya, salam sama nenek kamu”. Ujar Ibu warkop.

“siap bu de”. Jawab anak kecil itu.

“Kamu kalo nyebrang juga hati hati ya”. Ucap Tukang becak.

Anak kecil tadi pergi sambil menghiraukan ucapan Tukang becak tersebut. Dia melambaikan tangan serta  memberi muka masam ke Tukang becak tadi.

Ibu warkop hanya tertawa melihat kelakuan anak itu. Sedangkan tukang becak tersenyum, tangannya terlihat menggaruk kepala.

Aku pun melahap sendok ke sepuluh. Sekaligus tanda kosong piringku.

Percakapan mereka terlihat sederhana namun hangat. Meski kulihat tidak ada solusi dari percakapan mereka, terkesan kosong. Tapi ada perasaan hangat saat berada diantara mereka, interaksi yang jujur dan begitu lepas. Mereka terlihat sangat menikmatinya.

Aku berpikir, Tidak ada yang namanya pekerjaan biasa atau luar biasa. Setiap pekerjaan punya kehangatannya masing – masing. Begitu pula Ibu warkop ini, dia memberikan kehangatan ke pelanggannya. Memang benar kata orang, otak menjadi encer saat perut penuh.

Aku pun membayar es teh tawar ku sekaligus mengembalikan piringku ke abang ksatria romawi tadi.

“ini ya bang, duit pas” ucap aku.

“gimana? Masih enak kan nasi gorengku?” tanya abang itu dengan wajah bangga.

Aku tidak menjawabnya, hanya tersenyum. Ku akui kehebatan abang ksatria ini, lagi- lagi nasi gorengnya berhasil memberiku kehangatan. Aku lalu bergegas pergi.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.