BB, BK, BH

Tulisan ini dikembangkan dari status facebook kakak sepupuku, Drupadi Kramadibrata.

BB, BK, BH
Image by Cheryl Holt from Pixabay
 
"Bebe tu artinya baju rok bukan, sih?" tanyaku pada Kak Drup, kakak sepupuku, lewat pesan WA.
 
Pertanyaan dari adik sepupu tersayangnya itu—aku, tentunya—mengingatkan Kak Drup pada gaya bahasa yang dipakai keluarga besar kami pada jaman 1960-an. Dan juga, pada ibuku.
 
"Nin, begini bahasanya Ibu Aat yang khas banget itu: 'Tunggu ya. Pakai bebe dulu, baru kita berangkat,' begitu," kenang Kak Drup.
 
Ibu Aat adalah ibuku. Kakak langsung dari ibuku adalah Ibu Titi, yang merupakan ibu kandung dari Kak Drup. Hubungan antara kedua ibu itu sangat dekat, sampai-sampai membuat kami anak-anak mereka menjadi punya dua ibu. Karena aku lahir jauh kemudian, maka Kak Drup tentunya lebih lama mengenal ibuku, dan mempunyai lebih banyak kenangan dengan beliau.
 
Ibu Titi tidak bisa menyetir mobil, sementara Ibu Aat jago banget, yang gaya menyetirnya bagai pembalap—demikian menurut teman-temanku. Dan, kepiawian menyetir ibuku itu menurunnya ke Kak Drup. Aku? Heee..., aku donk lebih suka duduk santai di mobil sambil membaca.
 
"Ya, bebe adalah dress, rok biasa yang kita gunakan sehari hari. Kata itu mungkin adaptasi dari bahasa Prancis. Barangkali yaaa…," Kak Drup berkata lagi.
 
Yang aku tahu sih dalam bahasa Prancis ada kata bébé yang artinya bayi.
 
"Biasanya, bebe-bebe kita itu dibuat sendiri oleh Ibu," Kak Drup melanjutkan kenangan.
 
Kali ini yang dimaksud oleh Kak Drup sebagai Ibu adalah Ibu Titi. Ibu Aat itu termasuk canggung dalam menjahit. Untung dari empat anaknya, yang perempuan hanya satu. Bukannya tak pernah sih Ibuku menjahitkan baju untukku, atau untuk balitanya termasuk yang laki-laki, baju-baju sederhana yang namanya baju monyet. Aku sempat menemukan jejak-jejaknya, sekian belas tahun kemudian.
 
Jejak-jejak yang kumaksud adalah kain-kain yang sudah dipotong sesuai pola baju. Pada sebagian guntingan kain-kain itu bahkan masih tertempel pola-pola baju yang terbuat dari kertas. Direkatkan oleh jarum pentul yang sudah karatan. Beberapa jarum pentul karatan itu sempat menusuk tanganku, untung aku tak kena tetanus.
 
"Empat perempuan bersaudara plus satu adik sepupu. Sebelum lebaran, Ibu sibuk jahit baju untuk kita berlima. Paling sedikit masing-masing dapat 2 baju. Hmm, lebaran pakai bebe baru," Kak Drup mengenang lebih jauh.
 
Hmm..., aku sih ingatnya paling sedikit dapat 3 baju lebaran deh. Dulu itu lebaran di keluarga pihak ibuku sudah dimulai sejak malam takbiran. Di mana kami berkumpul di rumah Opa dan Oma kami, dan sudah pakai baju baru. Lalu, esok harinya ada dua hari lebaran, dan buat masing-masing hari tentunya ada 1 baju lebaran. Maka, ada 3 baju baru, kan?
 
Kak Drup yang anak sulung itu punya adik perempuan tiga. Tak ada saudara lelaki. Sementara, aku perempuan sendiri di keluarga. Dengan demikian, aku selalu menyelip di antara anak-anak Ibu Titi. Usiaku setahun lebih tua daripada anak bungsu Ibu Titi, jadi bebe-bebe kami berdua cenderung dikembarkan.
 
Jangan salah, kadang bebe-bebe itu tak sekedar dijahit mesin lho! Detil-detilnya sering dikerjakan Ibu Titi dengan tangan. Misalnya, smok di bagian dada, atau aplikasi seperti aplikasi kijang Bambi pada salah satu bebe bikinan Ibu Titi yang takkan pernah kulupakan.
 
Kalau kepiawaian ibu kandungku dalam menyetir menurunnya ke Kak Drup, maka kepiawaian ibu-nya Kak Drup dalam menjahit menurunnya juga ke Kak Drup. Demikianlah. Aku tak dapat kepandaian apa-apa dari dua ibu itu. Tapi, aku mendapat cinta nan melimpah. Saat kukecil, aku sering dibikinkan macam-macam aksesoris oleh Kak Drup! Masa kecil yang tiada duanya!
 
Nostalgia antara Kak Drup dan aku ini timbul gara-gara keisengan seorang temanku, si fotojurnalis Arbain Rambai nan jahil itu. Saat itu dia sedang berada di Jambi.
 
"Di Jambi, semua mobil dan motor pakai BH," tulisnya di status facebooknya.
 
"Di Medan pake rok," komentarku.
 
Komentar ngasal-ku ini tercetus karena kupikir nomor polisi mobil di Medan adalah BB. Setelah berkomentar begitu, aku kirim pesan WA ke Kak Drup. Untuk memastikan bahwa bebe adalah rok, dan ternyata benar. Tapi, aku salah karena yang memakai rok ternyata bukan Medan.
 
"BK untuk eks-Karesidenan Sumatera Timur. BB untuk eks-Karesidenan Tapanuli," jelas Arbain yang mental jurnalistiknya sangat tebal.
 
Kalau kalian bingung akan cerita ngalor-ngidulku ini, tengoklah paman gugel dan tanya padanya plat nomor polisi mobil di Indonesia. OK!?   =^.^=
 
 
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.