DEATH IS NO “OMDO”

.. kapanpun Engkau menghendaki aku mati…

DEATH IS NO “OMDO”
Private documentary

Bermula dari sebuah komentar panjang yang aku tulis di salah satu podcast Youtube dimana dia, Allan Sinclair, menjadi bintang tamunya.

As the saying goesLife begins at 40’, sejak menjelang usia 40 tahun aku melakukan puasa Nabi Daud, yaitu puasa selang sehari, lebih berat dari intermitten fasting yang tadi Allan sebutkan. Ritual harianku saat sedang tidak berpuasa sederhana. Tiap pagi aku minum kopi tubruk dengan sedikit parutan gula aren yang kunikmati sambil telanjang, berjemur di bawah matahari pagi selama 20 menitan. Pernah menderita gangguan depresi berat thus kehilangan nafsu makan menjadikan aku pelaku “OMOD”- One Meal One Day – yang juga dia (Allan) sebutkan tadi, yaitu sehari hanya makan besar sekali. Menu makanku selalu disertai lalaban dedaunan hijau mentah, aku dorong dengan teh panas tawar dari pucuk daun teh hijau lokal curah yang dijual orang di pasar basah. Makanan penutupku sesendok minyak keletik, Virgin Coconut Oil buatan rumahan. Di bawah jam 7.00 malam aku hanya makan aneka buah-buahan tropis. And guess what? Banyak orang mengira usiaku sekarang baru pertengahan 40 tahunan, mungkin karena tubuhku masih tetap langsing singset, kulit wajah dan leherku masih kencang, rambutku lebat sepinggang masih bewarna hitam legam, gigiku masih lengkap putih rata dan aku belum menggunakan kacamata baca. Oh ya aku perempuan Indonesia, 72 tahun, janda cerai hidup”.

 

Tiga hari kemudian saat aku  ada waktu luang membuka-buka Youtube lagi, tak kusangka ada 500 lebih tanggapan atas komentarku itu. Luar biasa!

Aku baca secara acak, mencari-cari tanggapan yang paling menarik terlebih dulu. Yang menanggapi warganet dari berbagai negara, mayoritas orang Amrik, rata-rata perempuan usia matang. Ada juga beberapa pria matang yang menyatakan tertarik untuk berkenalan, halah, skip dulu, malesin, jangan-jangan para romance scammers yang berkeliaran di berbagai platform medsos termasuk Youtube bahkan Linkedin.  Saat aku scroll lagi ke baris paling atas tiba-tiba jreng! Muncullah tanggapan dari Dr. Allan Sinclair PhD himself, seorang Longevity Expert dari Harvard University (ilmuwan dalam bidang pengelolaan umur manusia), si bintang tamu podcast yang aku tonton dan tanggapi tersebut! Dia menulis tanggapan singkat padat untukku, tanggapan yang kemudian hari benar-benar ditindaklanjutinya,  

Exceptionally inspiring! I’d love to scrutinize further about your ageless lifestyle method and daily regiments.”

Dia ingin tahu lebih dalam lagi tentang pilihan gaya hidupku dan perawatan fisik yang kulakukan dalam kehidupan sehari-hari sehingga di usia lansia 72 tahun ini aku tetap tampak awet muda layaknya perempuan berusia 40 tahunan yang sehat.

 

Tanggapan Allan itu berlanjut dengan komunikasi via email, lalu menjadi lebih intensif via telepon, WA chat dan sesekali via WA video. Pembicaraan kami merupakan diskusi ilmiah informal yang menarik  dan menjadikan kami semakin akrab, khususnya setelah saling berbagi cerita tentang tujuan hidup kami masing-masing.

Allan berkata,

“You and me have one thing in common. You said you’re doing what you’re doing in order to survive well, live well, until your time is come. And you want to help other beings all around you who need help in order to survive.. That's exactly what my life purpose is!”.

Memang betul, segala hal yang aku lakukan dalam pilihan gaya hidupku yang berbeda dengan orang lain itu semata sebagai sebuah upaya untuk tetap bisa bertahan hidup dengan baik, agar bisa menghadapi tantangan lika-liku kehidupan kesendirianku ini dengan baik, sampai tiba waktuku untuk kembali pulang ke haribaanNya. Rupanya Allanpun mempunyai tujuan hidup yang kurang lebih sama.

 

Sekitar dua bulanan setelah kami berteman jarak jauh tersebut, suatu hari Allan meneleponku dengan nada riang,

Let’s meet halfway, literally, in Hongkong that is. I’ll fly all the way from Boston and you’ll fly all the way from Jakarta.”.

Katanya kebetulan dia diundang kesana untuk menjadi pembicara utama simposium ilmiah bidang Molecular Genetics, molekul genetika manusia. Dia bilang selain ingin bertemu muka denganku, ada sebuah penawaran yang akan dia ajukan secara langsung kepadaku dalam pertemuan ini.

“I have an offer you cannot refuse..”

katanya bernada rahasia.

Tentu saja aku menyambut baik undangannya tersebut, apalagi Harvard University menanggung semua biaya travel & accomodation di hotel berbintang yang menghadap laut dalam business trip ini. Dan Hongkong bukanlah tempat asing bagiku. Dulu aku pernah menetap beberapa tahun disana saat masih bekerja pada perusahaan penerbangan swasta terbesar di Asia milik grup perusahaan Inggris yang bermarkas di kota itu.

 

Pertemuan Allan denganku dia atur agar bersifat informal, ditetapkan pada sebuah acara dinner. Allan bahkan menyerahkan kepadaku untuk memilih sendiri dimana sebaiknya tempat makan malam yang asik sambil berbincang, terserah mau di wilayah Kowloon atau di Hongkong Island.

Dan malam itu aku bertemu muka dengan ilmuwan ngetop Harvard yang  tampan dan sedang naik daun ini di atas The Aqua Luna, perahu besar layar merah yang ikonik di Hongkong. Orang Hongkong sendiri menyebut nama perahu besar ini Cheung Po Tsai, tokoh bajak laut Hongkong abd ke-19. Dari Victoria Harbour perahu besar tempat kami menikmati buffet dinner ini berlayar menyusuri pelabuhan Hongkong. Cahaya lampu warna-warni yang bertaburan dari gedung-gedung pencakar langit dan memantul di riak air laut di sepanjang Hongkong Harbour itu membentuk cakrawala malam yang sangat indah dan romantis.

Allan tampil bergaya smart casual. Celana panjang linen warna beige dan polo shirt warna peach tampak cocok dengan warna kulitnya yang pucat, mata biru dan rambut pirangnya. Usianya 54 tahun, namun penampilannya tampak seperti pria 38 tahunan. Pantas saja pada wawancara Podcast dia katakan dia jadikan dirinya sebagaii “manusia percobaan” untuk riset-riset awet muda yang dilakukannya selama 20 tahun belakangan ini. Aku  sendiri berkebaya encim tangan tigaperempat dengan bawahan sarung celana longgar batik tulis motif Tiga Negeri bewarna dasar beige bercorak merah menyala. Rambut panjangku kuikat buntut kuda yang ujungnya kugerai ke depan.

Saat berjabat tangan Allan memandangiku dari atas ke bawah dengan pandangan heran.

Dia memperhatikan kulit wajahku yang hanya kusapu dengan make up flawless tipis-tipis, kemudian memperhatikan tubuhku dengan seksama. Jangan salah, pandangannya bukanlah pandangan berbau mesum mata seorang lelaki yang memandangi lekat-lekat seorang perempuan di depannya, melainkan semacam pandangan calon pembeli lukisan yang mengamati setiap jengkal kanvas lukisan tersebut.

My Gosh… you’re kidding me Rina!!! You said you are 72 years old, no way, no, no, no!!!”

serunya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya berulangkali. Meskipun kami telah beberapa kali melakukan video call, namun baru kali inilah dia melihatku dengan mata kepala sendiri dari jarak sangat dekat. Aku terkekeh,

Well.. thank you Allan, what a compliment!”

Entah mengapa aku tidak merasa tersipu mendengar pujiannya. Mungkin aku sudah terbiasa mendengar orang “bersungut-sungut” keheranan seperti Allan ketika tahu berapa sebenarnya umur KTPku. Meskipun wajahku wajah lokal Indonesia yang “B-aja” layaknya wajah Mbak-Mbak pekerja kantoran yang lalu lalang di stasiun KRL ataupun MRT di Jakarta ini, tetapi memang sosok tubuhku ini masih jauh dari sebutan nenek-nenek, masih masuk pada kategori “mahmud”.

 

Allan menanyaiku berbagai hal dengan teliti, termasuk urusan kehidupan ranjangku yang cuti panjang sejak aku menopause lalu bercerai dengan suamiku 20 tahun lalu. Dia berspekulasi mungkin salah satu faktor awet mudaku karena aku tidak lagi memusingkan masalah hubungan hati, tidak “emosi jiwa”, serta tidak pula punya kewajiban mengurus dan membesarkan anak sejak anak semata wayangku dipanggil Tuhan dalam usia relatif muda.

Nah, ketika kami menyantap dessert sambil menyeruput Kahlua, Allan mulai menyampaikan “penawaran rahasianya”.

 

Aku menyimak kalimat demi kalimat yang diucapkannya dengan seksama. Banyak jargon-jargon ilmiah seputar biologi genetika molekul dan reparasi DNA yang digunakan dan dia jelaskan satu per satu dengan bahasa awam. Sesungguhnya semuanya sudah aku dengar pada acara Podcast-nya itu. Justru metodologi ilmiah yang dicobakannya kepada tikus-tikus di laboratoriumlah yang mendorongku untuk menulis komentar panjang  seperti yang di paragraf awal tulisanku ini.  Maksudku gak usah pake cara kayak gitu-gitupun ternyata aku salah satu manusia yang beruntung secara genetika dengan hanya menggunakan metode sederhana ajaran ibukupun bisa membuat fisikku awet muda secara signifikan.

 

Allan mendekatkan wajahnya sambil berbisik,

Listen Rina, akan lebih mudah dan cepat jika metode penemuanku aku terapkan kepadamu yang telah terbukti dengan metode semi alamiahpun sudah berhasil menjadi sedemikian awet muda. Aku hanya perlu sampel darahmu untuk memprogram ulang DNA kamu melalui barcode-barcode yang aku ciptakan di laboratorium nanti. So, pindahlah ke Boston dan bergabunglah menjadi bagian dari team laboratorium kami. Dalam waktu tujuh tahun ke depan, bukan hanya penampakan fisikmu saja yang seolah baru berusia awal 40 tahunan, namun juga usia biologismu benar-benar “reverse aging”, diputar mundur menjadi usia awal 40 tahunan. Kamu bisa menikah dengan pria sebaya usia biologismu itu dan memiliki anak biologis lagi. Untuk semua ini kamu akan mendapatkan bagian dari royalty temuan ilmiah kami ini. Sepanjang hidup, kesejahteraanmu termasuk anggota keluarga terdekatmu di Indonesia kami jamin. Yang terpenting, kamu akan menjadi bagian dari sejarah dunia proyek human longevity yang prestigius ini. Dan Rina…, kamu bisa memilih di usia berapa kamu ingin mati nanti, bisa diprogram oleh komputer pada melekul sel-sel tubuhmu pada sebuah chip mini.”.  

Aku terhenyak di tempat dudukku… apakah tawaran ini sebuah berkah atau musibah?

 

Di keremangan cahaya kamar hotelku ini aku tergolek dalam keresahan tingkat dewa, meringkuk menghadap ke kanan, lalu berbalik ke kiri, begitu berulangkali. Sejak kembali dari dinner bersama Allan tadi hatiku sungguh tak karuan. Terbayang wajah orang tuaku yang telah lama tiada. Terbayang wajah kakak adik, para keponakan, kerabat dan teman-teman dekatku di Jakarta dan Bandung, kota asalku. Kalimat terakhir saat Allan memaparkan tawarannya kepadaku begitu menyengat otakku, aku bisa memilih di usia berapa aku ingin mati dan itu bisa diprogram di dalam sebuah chip mini?

“Astagfirullah!! Tidak pernah sedikitpun terlintas di benakku untuk menawar takdir ajalku padaMu untuk alasan apapun ya Allah, apalagi mengaturnya sendiri. Hanya kepadaMulah kuberserah diri, jiwa dan ragaku ini.. kapanpun Engkau menghendaki aku mati…” rintihku.

Tiba-tiba kaca jendela lebar kamar hotelku yang menghadap ke laut bergetar.. disusul bunyi angin kencang bertiup layaknya angin typhoon dari arah laut menerpa kaca jendela tersebut menimbulkan bunyi berdentam sangat keras. Gorden jendela bergerak-gerak seakan ada kekuatan yang menggerakkannya, dan lampu kamar yang remangpun tiba-tiba padam, ruangan kamar hotel menjadi gelap gulita. Aku tersentak saat melihat seolah ada dua berkas cahaya berkelebat masuk menghampiriku.

“La illaahaillalah..”, suaraku tercekat di kerongkongan.

 

 

IHH, 28 Agustus 2023.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.