Meneruskan Warisan Leluhur dalam Sebuah Reuni Kecil

Orang Indonesia itu keren. Ramah, sopan, dan sangat menjunjung tinggi adat istiadat serta budaya warisan leluhur.
Sayang, beberapa di antaranya malah jadi bumerang.
Kebiasaan bertualang misalnya. Sampai sekarang, coba hitung berapa jumlah anak muda yang benar-benar menetap di desa, yang mau bekerja menggarap sawah dan ladang yang diwariskan oleh kakek-nenek mereka? Hampir semua merantau guys. Alasan mereka rata-rata sama. Mencari pengalaman baru. Kenyataannya? Banyak yang tidak mencari pengalaman baru, tapi masalah baru. Kemudian, mereka nggak mau pulang ke desa lagi. Makanya jangan heran kalau banyak gadis desa yang mau dinikahi oleh kakek-kakek yang berkantong sedikit tebal. Selain karena mereka juga 'sedang mencari pengalaman' dengan pria tua, tapi karena di desa sudah nggak ada lagi stok bujang yang seumuran. Plus tentu saja karena faktor 'X' dari si tua-tua keladi hehe....
Contoh lain, semangat gotong royong guys. Dulu, leluhur kita bergotong royong untuk membangun rumah, membuat jembatan, memperbaiki jalan atau menciptakan sistem pengairan yang bisa mengaliri seluruh persawahan di desa.
Tapi sekarang? 'Darah gotong royong' yang mengaliri urat nadi banyak digunakan untuk demo secara anarkis, meneror, menghujat, menipu rakyat, bahkan berbuat maksiat.
Lalu, gimana dengan 'budaya berkumpul'? Ada juga. Nama populernya reuni. Meskipun nggak semua tapi hampir selalu acara reuni teman SD, SMP, SMA, atau kuliah, diadakan di gedung pertemuan, hotel atau restoran. Siapa yang pernah menghitung, berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk pertemuan wangi yang penuh 'basa-basi' itu? Belum lagi polusi suara karena saling pamer harta. Peribahasa 'mangan ora mangan kumpul', yang berarti 'makan nggak makan kumpul', pelan namun pasti, akan hilang. Ironis lho. Orang-orang kota kan dulu semuanya berasal dari desa. Tapi pas reunian, mana mau mereka ngadain di desa. Padahal seru banget kalau orang-orang yang sudah sukses di kota, reunian di desa. Beberapa hari selama acara reuni itu misalnya, yang biasanya kerja di depan komputer, mencangkul di sawah. Atau cewek-cewek yang biasanya berjam-jam nongkrong di salon, masak di pawon. Paling enggak belajar meniup kayu atau batok kelapa agar apinya nggak mati.
Contoh lainnya adalah 'budaya' malu. Dulu, kakek nenek kita malu kalau tidak bekerja di sawah atau ladang, malu kalau tidak melaut, malu kalau ketahuan mencuri, malu kalau ketahuan merebut suami atau istri orang. Tapi sekarang? Wow! Malu kalau nggak punya akun 'medsos', malu kalau nggak punya hape, malu kalau rajin belajar dan nggak pernah nongkrong di kafe-kafe kekinian. Tapi nggak ada malu-malunya tuh kalau korupsi, ketahuan selingkuh dan merebut istri atau suami orang. Yang penting viral hahahaha...
Ada juga kebiasaan nenek moyang kita yang masih terasa 'manis' sampai sekarang. Budaya 'bawa oleh-oleh'. Biasanya, oleh-oleh atau buah tangan adalah benda khas suatu daerah yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Bagi si pelaku perjalanan, oleh-oleh yang dibawa bisa berupa pengalaman dan kenangan yang bisa menerbangkan ingatannya ke daerah itu atau mungkin malah membuatnya ingin kembali lagi suatu hari.
Biasanya, tempat pertama yang kusatroni kalau pergi ke daerah lain adalah pasar tradisional. Menurutku itu adalah pusat dimana budaya dan adat istiadat bisa dilihat secara instan. Bahasa daerah, pakaian adat, transportasi, sampai cara kuli angkut di pasar membawa keranjang berisi barang belanjaan kliennya. Ada yang dijunjung di atas kepala seperti di Bali, dipikul atau digendong kalau di Jawa, atau memakai 'keruntung', keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang diletakkan di punggung dari kekuatan dengan tali yang digantung di atas kepala.
Klung klung klung! Suara notifikasi pesan singkat di ponsel menyelesaikan lamunanku.
"Aku lagi di Bali sekarang. Sama kakak dan adik-adikku. Kami datang berempat, aku, kak Bertha, Tiur dan Lina adikku," pesan singkat Katrin.
Wah kejutan yang menyenangkan. Katrin adalah teman satu geng jaman SD dan SMP di Baturaja, Sumatera Selatan. Saat ini Katrin berdomisili di Samarinda, sedangkan kakaknya, Kak Bertha masih tetap tinggal di Baturaja. Kedua adiknya, Tiur dan Lina, masing-masing di Jakarta dan Palembang.
Mereka memilih Bali sebagai meeting point.
Aku langsung mikir untuk ngajak mereka ke pasar tradisional. Tapi, mereka mau nggak ya? Nggak enak juga kan kalau langsung ngajak ke pasar karena mungkin saja mereka sudah menyusun destinasi selama di Bali.
"Kami nginap di Gatot Subroto. Nah, rencananya besok mau nyari baju, celana sama topi. Kami nak begaya di pantai. Mau jadi 'gadis bali'. Jadi kami pengen ke Pasar Badung sekalian mau cari oleh-oleh. Jauh nggak dari tempat kami nginap? Abis dari sana baru mau ke Uluwatu dan ke tempat lain," lanjut Katrin nyerocos.
Wuuuuaaaaaah... Keren. Rupanya pasar tradisional ada dalam agenda mereka.
"Pasar Badung menjual peralatan upacara adat Bali, sayur-sayuran, buah-buahan, dan ada beberapa warung di dalam pasar itu yang menjual minuman dan makanan khas Bali. Kalau mau cari kain pantai, daster, topi dan sandal jepit, tapi di sebelahnya, Pasar Seni Kumbasari. Di sana juga ada ukiran kayu, dan lukisan. Harga lukisan di sana murah-murah karena diproduksi secara masal," kataku. "Sebelum ke sana, kita sarapan dulu aja di Pasar Badung."
Esok harinya, kami sepakat bertemu jam 9 pagi di Pasar Badung.
Setelah saling bersalam 'wuhan' kami masuk ke Pasar Badung. Raut wajah Katrin, Kak Bertha, Tiur dan Lina terlihat sangat bahagia.
"Harum nian baunya di sini say, bau apa ini?" tanya Katrin sesaat setelah memejamkan mata menghirup aroma di dekat pintu masuk pasar.
"Bau bunga-bunga dan dupa untuk upacara adat Bali. Aromanya eksotis kan?" tanyaku.
"Iya lho. Nggak pernah aku mencium aroma kayak gini di Samarinda," lanjut Katrin sambil berjalan mendekat ke arah kios bunga dan peralatan sembahyang di depannya. Ibu penjual bunga yang sedang memercikkan air suci ke 'plangkiran', sebuah papan kecil berukir tempat menaruh sesajen sembahyang para penganut agama Hindu yang tergantung di dinding kios, tersenyum manis ke arahnya.
Setelah berjalan pelan mengelilingi lantai 1 dan membeli buah naga, kami lalu menaiki eskalator ke lantai tiga untuk mencari sarapan. Sejak direnovasi akibat kebakaran, gedung baru Pasar Badung yang terdiri dari empat lantai yang diresmikan oleh Pak Jokowi bulan Maret tahun 2019 itu memang dilengkapi dengan eskalator, toilet, wastafel dan lift khusus disabilitas di setiap lantainya.
Beberapa pilihan menu sarapan khas Bali sudah menunggu kami di beberapa warung yang sudah buka. Sambil menunggu makanan yang kami pesan disiapkan, kami celegukan menelan ludah. Bagaimana tidak? Aroma 'ayam betutu', ayam yang dimasak dengan bumbu kuning khas Bali itu sangaaat menggugah selera. Belum lagi bau segar jeruk limo yang diuleg bersamaan dengan cabe dan kacang tanah untuk bumbu tipat cantok, ketupat yang dicampur dengan rebusan tauge, dan rujak bulung, rujak berbahan rumput laut yang dibumbui cabe, terasi, kuah rebusan ikan pindang dan parutan kelapa serta kacang tanah sebagai topingnya.
Kami juga memesan es daluman segar yang terbuat dari remasan daun cincau dicampur gula merah asli Bali yang diberi sedikit santan.
Selesai makan, kami menikmati penutup es daluman segar yang terbuat dari remasan daun cincau yang disajikan dengan gula kelapa asli Bali dan ditambah sedikit santan. Benar-benar nikmat.
Lalu kami turun lagi ke lantai satu, berjalan menyeberangi jembatan sepanjang 500 meter, menikmati jernihnya sungai Tukad Badung yang dilengkapi kursi-kursi taman serta lukisan warna-warni di kedua sisi dindingnya, menuju Pasar Seni Kumbasari.
Lantai 1 adalah tempat berjualan barang-barang untuk keperluan upacara seperti payung Bali, wadah-wadah beranyam untuk tempat sesajen, dan perlengkapan dapur seperti tampah, cobek, talenan dan berbagai macam keranjang yang belum dipernis.
Lalu kami naik tangga ke lantai 2. Sesampainya di sana, mata kami disuguhi warna-warni segar kain pantai, celana santai, bermacam-macam model daster, piyama, kaos, topi, sepatu dan sandal jepit dengan kisaran harga 15 sampai 75 ribu rupiah saja. Sambil komat-kamit mengingat siapa saja yang akan dibelikan oleh-oleh, mereka pun tenggelam dalam tumpukan kain, celana dan baju.
Sambil mendokumentasikan 'aksi penjarahan' mereka, sesekali aku ngobrol dengan beberapa penjual di sana, bagaimana mereka bertahan di era pandemi seperti sekarang ini.
"Ini stok lama, jadi masih bisa murah harganya. Susah 'jaman corona' gini dapat barang Mbak karena banyak garmen tutup, " keluh Bu Iluh, salah satu pedagang pakaian di sana.
Tak lama kemudian, keluarlah mereka dari toko-toko itu.
"Puas nian kami belanjo," kata Katrin sambil mengelap keringat di dahinya. "Kalu ado rejeki, kapan-kapan kami nak datang lagi."
Langkah-langkah kami lalu menaiki tangga ke lantai 3 yang menjual berbagai macam aliran lukisan dalam berbagai ukuran. Beberapa lukisan reproduksi karya pelukis-pelukis dunia ternama seperti Van Gogh, Pablo Picasso yang berukuran sekitar 6 kali 9 meter pun dijual di sana. Kami sedih melihat pasar seni yang kini begitu sepi. Lantai empat lebiiiih sepi lagi karena banyak toko yang tutup. Dan hanya kami berempat yang ke sana saat itu.
Lambaian kain pantai yang ditiup angin kemarau di sepanjang deretan depan toko-toko itu kemudian memancing kami untuk melengkapi kenangan sebelum waktu mengakhiri pertemuan singkat setengah hari itu.
Dan video 'tiktok' yang menampilkan goyangan suka-suka lima perempuan dengan lagu latar 'Saya Masih Ting-ting' pun kemudian meluncur tayang.
Terima kasih kawan karena sudah berhasil meneruskan adat istiadat dan kebiasaan leluhur kita dengan sederhana dan penuh kenangan manis. Sampai berjumpa lagi suatu hari nanti.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.