TERJERUMUS KE LEMBAH KEBAIKAN

Hari itu saya pulang kuliah agak cepet. Dari kampus saya arahkan Vespa tua saya ke rumah kawan saya Dita. Biasalah kangen-kangenan dan bersilaturahmi sambil nunggu buka puasa. Rumah Dita memang selalu jadi markas tempat berkumpul kelompok kami. Selain rumahnya yang asri, ibunya Dita jago masak sehingga sering kami sengaja datang untuk numpang berbuka di sana. Hehehehe…
Lagi asyik-asyiknya ngobrol, ayahnya Dita ke luar dan ikut berkumpul bersama kami. Kedua orangtua Dita memang funky dan demen banget bergaul sama anak-anak muda. Pengetahuannya pun selalu up to date sehingga dia mampu mengimbangi pembicaraan kami mengenai topik-topik kekinian seperti lagu apa yang lagi hits sekarang ini.
Ketika ada jeda yang cukup panjang, tiba-tiba ayahnya Dita bertanya pada kami satu per satu.
"Nat, kamu puasa ga?" tanya Si Om pada temen kami yang bernama Ronald.
"Puasa dong om. Saya kan islam. Masa islam ga puasa sih?" jawab Ronald dengan kalimat retorik.
“Bagus!” kata Si Om lalu menengok ke arah Topan, “Kalo kamu, Pan? Puasa, gak?”
“In shaa Allah, Om. Sudah lebih dari 10 tahun, puasa saya selalu pol!” sahut Topan rada songong.
Setelah semua orang ditanya dengan pertanyaan yang sama, tibalah giliran saya.
Dari dulu saya paling ga suka ditanya-tanya puasa apa kagak. Buat saya, puasa gak puasa itu kan hablumminallah atau urusan saya dengan Allah. Ngapain Si Om pake ngecek-ngecek orang puasa atau kagak. Dan menurut pengalaman saya yang lalu-lalu, kalo gak puasa, kita akan dikasih nasihat panjang lebar seakan-akan kita adalah orang sesat yang pantas masuk neraka.
"Bud, kamu puasa gak?" tanya Si Om dengan paras ramah dihiasi senyum lebar.
Karena dongkol dengan pertanyaan itu, saya jawab seenaknya tapi tetap dengan nada sopan dan ramah, "Yaaah.... Terpaksa puasa, Om."
"Loh? Kenapa kok bisa terpaksa?" tanya si pemilik rumah keheranan.
"Saya sih maunya gak puasa tapi semua temen pada puasa. Saya jadi mahluk aneh kalo gak puasa. Udah gitu, mau makan siang gak ada temen. Mau merokok gak enak sama yang lain. Jadi saya pikir, ah tanggung, mending puasa aja sekalian,” jawab saya tanpa rasa sungkan sama sekali.
Bukan sekali ini saya menjawab kayak di atas. Dan biasanya, orang yang mendengar jawaban saya kayak gitu akan langsung mencemooh, 'Ya, ngapain lu puasa kalo gitu? Lu cuma dapet lapernya doang. Udah laper malah lu dapet dosa karena mempermainkan rukun islam.' Dan masih banyak lagi celaan yang senada.
Saya sangat yakin kali ini Si Om akan mengatakan hal yang kurang lebih sama. Pastilah dia akan memberi khotbah panjang lebar tentang agama dengan segala dosa dan pahalanya. Dan saya pun udah siap berdebat menghadapi pepesan kosong orang tua ini. Soal berdebat kusir mah saya udah terlatih di sosial media hehehehe….
Semua temen juga terdiam mendengar jawaban saya. Mata mereka melompat-lompat dari saya pindah ke arah Si Om. Suasana menjadi agak tegang. Ruangan teras terasa hening. Semua orang menunggu reaksi ayah Dita atas jawaban saya.
Si Om juga masih terdiam. Matanya terus menatap saya tapi senyumannya tidak tenggelam dari permukaan wajahnya yang ramah dan teduh.
Dengan perlahan dia melangkah menghampiri lalu menepuk-nepuk pundak saya sambil berkata, "Bagus Bud, bagus sekali."
Saya tentu saja heran bin bingung bukan main. Ini bukan reaksi yang saya harapkan. Padahal saya udah siap berdebat dengan orang tua ini. Hadoh! Gimana sih ini bapak? Terpaksa puasa kok malah dibilang bagus?
"Kok, bagus sih, Om?" tanya saya gak tahan juga untuk bertanya.
"Ya bagus, dong. Biasanya orang-orang lain terpengaruh sama yang buruk, eh, kamu malahan terpengaruh sama yang baik. Saya doakan semoga puasa kamu dapat ganjaran yang setimpal," sahut Si Om masih menepuk-nepuk pundak saya.
"Tapi kan saya puasanya terpaksa, Om?" tanya saya penasaran.
"Hehehehe Bud... Bud. Kamu harus tau tidak ada alasan yang buruk untuk memulai sebuah kebaikan. Darimana pun kamu berangkatnya, kalo tujuannya ke arah yang baik, pasti Tuhan seneng. Kamu adalah orang yang sangat beruntung."
"Beruntung kenapa, Om?" tanya saya bertambah heran.
"Ya, itu tadi. Sementara orang lain terpengaruh sama yang buruk, kamu malah terpengaruh sama yang baik. Tidak semua orang mendapat keberuntungan seperti itu."
Saya terdiam. Terus terang saya sama sekali gak siap mendapat respons seperti ini. Si Om masih memandang saya dengan matanya yang terang benderang.
"Saya doakan kamu senantiasa memperoleh kebaikan seperti hari ini. Kamu harus memahami bahwa Tuhan sayang sekali sama kamu. Alhamdulillah."
"Tu… Tuhan sayang sama saya?" tanya saya semakin takjub.
"Iya, Dia sayang banget sama kamu. Tuhan memang sering menjerumuskan umatnya ke lembah kebaikan dengan cara yang aneh dan sulit dimengerti. Itulah sebabnya banyak manusia yang sering tidak menyadari kebaikan yang diberikan olehNya."
Saya terdiam seribu bahasa karena gak tau harus menyahut apa.
“Manusia sering terlalu fokus pada kesialan yang mereka alami. Mereka gak menyadari bahwa yang mereka alami bukanlah kesialan tapi sebuah pintu untuk menuju berkah yang luar biasa.”
Saya masih bengong karena semakin takjub mendengar omongan orang tua ini.
“Itu sebabnya orang sering merasa hidupnya gak berbahagia. Kenapa? Karena ketidakmampuan memahami rencana Tuhan, membuat manusia menjadi kurang bersyukur.”
Masya Allah..! Alangkah bijaksananya Om ini. Tidak setiap hari kita bisa menemukan orang yang berperasangka baik dan berkata baik meskipun peluang untuk menghujat telah terbentang di depan mata.
Terimakasih Tuhan. Bulan Ramadan memang selalu penuh berkah dan bergelimang hidayah. Alhamdulillah.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.