UBAN. Mending dicat atau dibiarin aja?

UBAN. Mending dicat atau dibiarin aja?

Bersama 5 orang teman, saya sedang mengikuti workshop tentang meditasi di sebuah hotel. Workshop berlangsung selama dua hari dan semua peserta diinapkan di dalam hotel tersebut. Jadi selama dua hari itu kami digembleng oleh mentor bagaimana mengenal diri sendiri. Bagaimana mencapai titik hening saat bermeditasi dan berbagai tetek bengek lainnya.

Pukul 12 siang kami rehat untuk isoma. Semua peserta pergi ke coffee shop untuk makan siang. Saya dan 5 teman tadi duduk satu meja dan berdiskusi seputar materi yang diajarkan oleh mentor. Lagi asyik-asyiknya ngomongin meditasi, sekonyong-konyong, salah seorang teman, bernama Hadi, bertanya pada teman lain yang namanya Bisma.

“Bis, rambut lo item semua pasti dicat kan?” tanya Hadi dengan nada menuduh.

“Iya dicat. Sebenernya belom banyak, sih, ubannya,” jawab Bisma.

Tanpa menimpali jawaban Bisma, Hadi menoleh ke Trianto, seorang teman yang bekerja di biro iklan multinasional, “Lo juga dicet kan Tri? Dari warna itemnya aja keliatan ga natural.”

“Ya, iyalah. Saya tahun ini udah 58 tahun,” sahut Trianto separuh mendengus.

“Lo juga dicat, kan, Bud? Ayo ngaku!!!” Ga ada angin, ga ada ujan, Hadi menyerang semua orang. Rupanya sekarang giliran saya.

“Kagak. Emang rambut gue warnanya gini,” sahut saya tanpa emosi.

“Lo ga usah ngebo’ong Bud. Ngaku aja kalo rambut lo dicat.”

“Mau dicat atau ngga, apa urusannya sama lo?” Saya pun mulai sewot.

“Pointnya lo jangan menipu diri sendiri. Lo liat deh rambut gue.” Sambil ngomong gitu, Hadi menunduk memperlihatkan rambutnya.

Semua orang menatap rambut Hadi yang tebal berwarna hitam legam. Item banget dan keliatan subur.

“Liat rambut gue. Item semua, kan? Menurut kalian ini dicat atau nggak?”

“Ya dicatlah. Lo, kan, juga udah tua,” celetuk Mas Dirham salah seorang pemilik biro iklan lokal.

“Kalian boleh percaya boleh nggak. Warna rambut ini asli dan ga pernah dicat.”

Semua orang terkejut mendengar pengakuan Hadi. Bagaimana mungkin rambut kami semua sudah beruban dan dia bisa hitam semua.

“Demi Allah, seumur hidup, gue ga pernah ngecat rambut. Warna item rambut gue adalah warna natural. Warna alami tanpa sentuhan cat kayak kalian,” celoteh Hadi dengan songongnya.

Semua orang makin takjub mendengar omongannya.

“Warna rambut sehitam ini bisa diperoleh karena gue selalu makan dengan pola hidup sehat,” Hadi melanjutkan.

“Jangan kayak Budiman, tuh. Makannya jorok banget. Segala kalio otak, paru, rempelo, limpa dan semua jeroan masih dia makan juga!” kata Hadi lagi nyerang saya terus tanpa sebab.

“Abis gimana lagi, dong? Gue, kan, Padang. Hehehe…” sahut saya.

Dan makan siang hari itu diisi dengan taudziah dari Hadi tentang bagaimana melaksanakan pola hidup sehat. Semua orang begitu antusias mencatat-catat semua yang dikatakannya. Mereka percaya omongan Si Hadi karena udah terbukti dia sehat dan rambutnya masih hitam legam.

Begitulah hidup! Orang rela melakukan apa aja untuk mempertahankan kemuda’annya. Dan Uban sering menjadi momok buat mereka yang takut keliatan tua.

Ngomongin soal uban, memang selalu ada kontradiksi. Saya punya temen, namanya Ivan. Ketika uban menyerang, Ivan ga pernah mau ngecat rambutnya. Ubannya dibiarin berkembang biak sehingga sepintas dia rada mirip dengan Mas Ganjar, calon presiden kita itu.

“Kalo memang sudah tua ya tua sajalah. Kenapa kita harus membohongi diri sendiri dan berpura-pura muda?” Begitu selalu alasannya.

Omongannya Ivan kedengerannya sederhana tapi ga semudah itu menjalankannya. Bagi banyak orang, mengecat rambut itu adalah keharusan.

Ada temen saya yang lain lagi, namanya Firman. Dia seorang music director. Usianya lebih tua dari saya tapi tampangnya muda banget. Wajahnya nyaris ga beda kayak waktu saya mengenalnya jaman SMA dulu.

Suatu hari saya ajak Firman lunch bareng di Senayan City. Di kesempatan itu saya juga mengajak Vina istri saya.

Saya selalu suka sama Firman. Dia orang yang sangat rendah hati. Omongannya selalu membumi dan ga pernah menempatkan diri sebagai orang yang lebih hebat dari orang lain. Padahal kenyataannya dia emang hebat banget. Seperti Hadi, rambutnya juga masih hitam legam.

Sambil nunggu makanan dateng, saya tanya, “Man, rambut lo emang masih item apa dicat?”

“Ya dicatlah. Uban gue udah lumayan banyak.” katanya jujur.

“Kenapa dicat? kenapa ga dibiarin aja?” tanya saya lagi.

“Sebelumnya emang gue biarin tapi lama-lama gue memutuskan untuk dicat.”

“Oh, ya? Karena?”

“Gue pernah nyoba ga dicat. Pas bangun pagi dengan tampang kusut, gue kaget ngeliat ada orang tua di dalem cermin.”

Saya makin menyimak.

“Ternyata itu bayangan gue sendiri. Gila! Gue tua amat. Nah, karena gue merasa tua, otomatis gue juga merasa lemah, ringkih dan gampang sakit.”

Saya semakin fokus menyimak. Sudut pandangnya Firman sangat menarik buat saya.

“Dan sejak ga dicat, gue jadi sering masuk angin, sering flu, badan ngilu-ngilu seperti layaknya orang yang udah tua.”

Ternyata sugesti itu luar biasa sekali ya pengaruhnya. Saya terus menyimak.

“Akhirnya gue putuskan untuk mengecat rambut lagi. Gue ga pernah ngebiarin uban mendominasi kepala gue lagi.”

“Terus gimana? Masih suka flu sama masuk angin ga?”

“Alhamdulillah sejak dicat, gue kembali merasa muda. Kembali merasa sehat dan kuat. Gue ga pernah kena penyakit apa pun!” seru Firman dengan suara bersemangat.

Saya merenung dan membandingkan omongannya Ivan dan Firman. Saya mengagumi pendirian Ivan. Saya setuju sama omongannya bahwa kita ga perlu menutupi usia. Kita ga perlu berpura-pura muda. Tapi saya juga setuju dengan pendapat Firman. Ga ada yang salah dengan mengecat uban.

Setelah sekian lama berpikir, Saya menyadari bahwa setiap orang punya pemahaman sendiri-sendiri. Sering kali dua pendapat mempunyai kebenarannya masing-masing. Dan dalam hidup sering kali kebenaran dibenturkan dengan kebenaran yang lainnya.

Tidak ada pesta yang tidak bubar. Acara makan siang pun berakhir. Saya dan istri pamitan pada Firman.

Kita mampir ke coffee shop temen gue dulu, yuk?” kata Vina.

“Okay. Gue juga mau ngopi lagi. Kopi di sini tadi ga enak.”

Vina memang mempunyai teman yang baru saja membuka coffee shop di mal itu. Setelah berjalan kaki dan menuruni tangga jalan kami pun tiba di tempat yang dimaksud.

“Hey, Bud. Pakabar lo?” Sekonyong-konyong seseorang menegur saya.

“Baik-baik aja….”sahut saya dengan suara ga meyakinkan karena ga mengenali orang yang menyapa saya.

Orang tersebut khusus bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri kami. Saya menatap orang itu lekat-lekat tapi belum juga bisa mengingatnya. Tampangnya, sih, inget tapi uban di kepalanya menghalangi memori saya.

“Hello, Hadi, sama siapa lo? Lama kita ga ketemu, ya” Tiba-tiba bini saya menyalami sambil cipika-ciipiki dengan orang tesebut dengan hangat.

“Hai Vin. Iya, nih. Gue baru cuti satu setengah bulan nemenin anak-anak ke Amerika.”

Oh? Itu Hadi, toh? Hahahahahaha…. Goblok banget! Saya pangling karena rambutnya didominasi oleh uban. Rupanya selama cuti, dia ga merasa perlu ngecet rambutnya.

Loh..loh...loh..ntar dulu! Perasaan baru kemaren dia rambutnya hitam legam? Bahkan katanya asli gara-gara menjalankan pola hidup sehat. Kok sekarang rambutnya udah putih semua?

“Lo kenapa kayak orang linglung gitu, Bud?” tanya Hadi sambil menyodorkan bangku ke saya.

“Ga papa. Hehehehe…” Saya ga mau bikin Hadi tersinggung, jadi selama pertemuan itu saya sama sekali ga pernah menyinggung soal warna rambutnya.

Masalah uban memang kedengerannya sepele tapi buat beberapa orang ternyata cukup mengganggu bahkan bisa menjadi momok. Contohnya Si Hadi ini. Dia sampe nekat ngomong bahwa warna hitam rambutnya asli. Heran! Takut amat, sih, sama uban....

By the way, Mas Ganjar Pranowo rambutnya putih semua tapi tetap keren ya? Badannya terlihat kokoh karena sering bersepeda. Bibirnya yang selalu tersenyum membuat wajahnya tampak selalu muda. Rambut putihnya tidak mampu membuat dia terlihat tua. Keren!

PS: Halo Pak Ganjar, colek dikit gapapa, ya? Btw, kalo butuh storyteller buat mengisi team suksesnya saya bersedia loh, Pak. Hehehehe... 

Sumber foto: enbeindonesia

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.