MISTERI DI BALIK ASAP ROKOK

MISTERI DI BALIK ASAP ROKOK

Seorang pasien datang ke dokter dan mengeluh, "Dada saya kok sakit ya, Dok?"

"Anda merokok?" Dokter balik bertanya.

"Iya, Dok."

"Ya, itu penyebabnya."

Di hari berikutnya, seorang pasien lain datang dengan keluhan yang hampir sama, "Napas saya kok sesak, Dok?"

"Anda merokok?"

"Nggak, Dok," jawab pasien.

"Di rumah ada yang merokok nggak"

"Suami saya ngerokok."

"Ya itu penyebabnya."

Di hari yang lain lagi seorang pasien dateng, "Batuk saya kok gak sembuh-sembuh, Dok?"

"Anda merokok?"

"Nggak, Dok."

"Di rumah ada yang merokok?"

"Nggak ada, Dok?"

"Di kantor ada yang merokok?"

"Kalo di kantor, sih, ada , Dok."

"Ya, itu penyebabnya."

"Kok bisa langsung tau, Dok?" tanya pasien takjub, “Kan Dokter belum meriksa saya.”

“Saya gak perlu periksa. Sudah berpuluh-puluh pasien datang dengan keluhan seperti Anda dan penyebabnya selalu sama: rokok!”

“Tapi kan saya ngga ngerokok?” Si pasien masih setengah percaya setengah tidak.

"Anda harus tau bahwa perokok pasif itu lebih berisiko kena penyakit daripada perokoknya sendiri!" Kata dokter setengah membentak.

“Oh, ya? Kalo gitu saya harus mulai merokok untuk mengurangi risiko. Thanks, Dok,” sahut Sang Pasien sambil ke luar ruangan periksa.

________________________

Hahahahaha... cerita Toni di atas membuat kami berdua ngakak guling-guling sampai membuat semua orang di dalam smoking area pada ngeliatin namun kami gak peduli.

Saat itu saya sedang bersama seorang teman lama. Namanya Toni (bukan nama sebenarnya). Kebetulan kami bertemu di bandara saat menunggu pesawat dengan tujuan yang sama. Berhubung waktu masih cukup lama, Toni ngajak saya masuk ke salah sebuah lounge terbesar di bandara itu. Setelah ngambil beberapa snack dan Cappuccino, kami berdua nongkrong di smoking area. Teman saya ini cukup unik. Dia seorang dokter tapi merokok.

"Gue punya pengalaman nyebelin seputar masalah rokok ini." Saya mulai curhat.

"Gimana-gimana?" tanya Toni penuh minat.

“Gue pernah ke dokter. Sampe di sana dokternya tanya ‘Anda merokok nggak?’ Gue jawab jujur bahwa gue ngerokok. Eh, dia ngamuk-ngamuk dan ngusir gue. Katanya dia gak mau melayani orang yang perokok.”  

“Waktu itu keluhan lo apa?” tanya Toni.

“Low back pain gue kumat. Sakitnya minta ampuuun.” Saya menjelaskan.

“Oh, berarti Dokter Asu itu.”

Hahahahahaha....kami ngakak lagi.

“Lo mah masih mendingan, Om Bud. Orang yang menghakimi gue lebih sadis lagi.”

“Kenapa bisa lebih sadis?” tanya saya seraya menyalakan rokok sebatang lagi.

“Gue, kan, dokter. Orang gak bisa menerima ngeliat gue ngerokok. Pernah ada yang bilang gini, ‘dokter merokok itu sama aja dengan polisi yang berbuat kejahatan.’ Gitu kata kolega gue.”

“Ada benernya juga tuh...” sahut saya dengan wajah distel serius.

“Kampret lo bukannya belain gue!!!” teriak Toni.

“Hahahahaha....” Tawa kami kembali berderai-derai.

“Lo pernah perhatiin gak, Om Bud? Orang yang brenti ngerokok biasanya jauh lebih resek daripada orang yang gak pernah ngerokok.” Tiba-tiba Toni ngomong lagi sembari menghisap rokoknya dalam-dalam.

Saya berpikir sejenak. Mencoba menganalisis sekian banyak teror yang masuk. Dan betul, loh. Orang yang paling resek biasanya orang yang tadinya merokok. Mereka berhenti dengan alasan ingin menjalani hidup sehat. Sementara yang gak pernah merokok, umumnya cuek aja selama saya ngerokok gak berdekatan sama dia.

“Eh, bener juga analisis lo, Ton."

Toni tidak menjawab. Dia cuma tersenyum sembari membuat lingkaran-lingkaran asap yang keluar dari mulutnya.

"Jadi merokok itu seberapa berbahaya, Ton?” tanya saya lagi.

"Ada banyak jurnal kesehatan yang gue baca. Semua mengatakan bahwa merokok itu berbahaya," kata Toni lagi.

"Terus lo sempet brenti ngerokok, dong?"

"Sejak itu gue langsung brenti...” kata Toni lalu melanjutkan, “...brenti baca jurnal kesehatan."

Hahahahahahaha...kami pun ngakak lagi. Meskipun itu joke lawas ternyata saya masih kejebak juga, loh. Abis momennya pas banget, sih. Hehehehe...

Setelah saldo tertawa kami menipis, Toni mendadak nyetel wajah serius. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya secara perlahan.

“Gue gak bilang rokok itu nggak berbahaya. Gue cuma mau mengatakan bahwa mulut kita adalah jalan masuk semua penyakit. Jadi penyakit yang datang bukan cuma dari rokok tapi juga semua yang masuk ke dalamnya. Termasuk makanan dan minuman yang kita konsumsi,” kata Toni.

“Nah, gue setuju.”

“Jadi kalo elo selalu mengonsumsi makanan dan minuman sehat dan olahraga yang teratur, bisa jadi lo lebih sehat daripada kaum radikal anti rokok yang makannya jorok dan gak pernah olahraga.”

“Sepakat, Ton.” Saya menukas dengan cepat.

Sejenak kami terdiam. Toni menghirup kopinya. Saya menyalakan batang rokok yang ketiga. Dan otak saya kembali mengembara. 

Kadang saya suka kasihan sama teman-teman perokok. Setiap ada yang mati, pasti ada saja orang yang komentar, ‘Gak heranlah dia mati. Udah umur segitu masih juga ngerokok.’ Seorang teman lain memberi tau bahwa Almarhum wafat karena ditabrak kereta api.’ Eh, Si Monyong itu masih juga ngotot, ‘Itu pasti efek rokoknya udah nyerang bagian otak. Akibatnya refleksnya jauh berkurang.’ 

“Lo gak kepikiran mau brenti ngerokok, Om Bud?” Sekonyong-konyong Toni melemparkan pertanyaan.

“Rasanya gak mungkin. Gue ngerokok untuk mengurangi stres.”

“Emang lo percaya ngerokok bisa ngilangin stres?”

“Meskipun masih misteri, gue memilih percaya. Karena gue merasakannya langsung.”

“Apa yang lo rasakan itu fakta. Stres memang berkurang saat merokok. Tapi lo harus tau bahwa yang mengurangi stres elo itu bukan rokoknya. Tapi cara bernapasnya.”

“Heh? Maksud lo gimana, Ton?”

“Orang yang hatinya sedang senang, gembira, ceria dan lain-lain biasanya napasnya panjang-panjang.”

Dengan khusuk saya berkonsentrasi penuh pada kuliah Toni.

“Sebaliknya, orang yang sedang stres, biasanya napasnya pendek. Begitu juga orang yang lagi sedih, letih, marah, sakit, semuanya pasti napasnya pendek. Kondisi itu bisa dikurangi dengan cara mengambil napas sepanjang-panjangnya.”

“Itu gue tau. Hubungannya sama merokok?” tanya saya.

“Saat lagi stres, lo merokok, kan? Lo sadar gak kalo sedang merokok, kita akan menghisap rokok sedalam-dalamnya lalu menghembuskan asapnya dengan perlahan.” Toni menjelaskan sambil mempraktikkan ucapan dengan cara menghembuskan rokoknya,.

“Ooooooh...gue nangkep maksud lo.” Tukas saya.

“Betul sekali. Yang membuat stres lo berkurang bukan rokoknya. Tapi cara bernapas panjangnya.”

“Eh, pinter juga lo, Ton. Kagum gue,” sahut saya tersenyum.

“Jadi tanpa rokok pun, lo bisa mengurangi stres dengan cara menarik napas sepanjang-panjangnya.”

“Ya...ya...ya...”Saya menganggukkan kepala bersyukur mendapat ilmu lagi. Misteri di balik asap rokok akhirnya terkuak.

"Attention, please. This is the final boarding call for passengers ABC Airlines Flight 943 to Auckland, boarding at gate A-3...." Tiba-tiba suara speaker terdengar kenceng banget. membuat kami segera mengambil ransel.

"Kembali ke pertanyaan tadi, apa lo gak kepikiran buat brenti ngerokok?" tanya Toni sambil berjalan ke arah pesawat.

Setelah berpikir beberapa detik saya menjawab, "Okeh, gue akan brenti ngerokok kalo elo juga brenti."

"Hahahahaha...gue belom ada rencana brenti." jawabnya.

"Sama. Ya paling tidak kita bisa memulai dengan cara mengurangi merokok. Setuju?"

"Setuju. Toss?" Toni menjulurkan telapak tangannya.

TOSS!!

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.