"FEEL USELESS"
Pernahkah kamu merasa tidak berguna di hidup ini ? tidak menjadi diri sendiri agar sesuai dengan segala ekspetasi ? padahal tidak semua bunga mekar dan tumbuh bersama, mengapa kita berloma-lomba membandingkan proses mekarnya kita dengan yang lain.

“FEEL USELESS”
Ladang sawah yang luas nan kosong itu begitu terlihat menyeramkan. Konon katanya, dulu ada seorang anak laki yang mati bunuh diri disana. Tidak ada satupun warga yang tahu alasan dan keberadaannya hingga saat ini. Walau demikian, di sampingnya terdapat gubuk yang nyaman. Di sana tempat Aji bernaung dari teriknya matahari sepulang sekolah.
"Sampeyan dadi melu sayembara menulis po? /kamu jadi ikut lomba memenulis?" Tanya Guntur teman Aji yang kini sibuk memakan bekal yang dibawakan oleh ibunya.
"Ora ngerti tur, bingung. Aku ora duwe bakat menulis. /tidak tahu tur, bingung. Aku tidak ada bakat memenulis." ucap Aji dengan lirih.
"Coba dhisik, lah ji. /coba dulu, lah ji." Kata guntur sambil mengunyah nasi.
"Aku ora wani. /aku tidak berani." Jawab Aji dengan tidak percaya diri.
Begitulah percakapan dua orang anak laki yang sibuk berdebat. Karena di sekolah, ibu guru fani mengatakan kalau minggu ini akan ada lomba memenulis. Oleh sebab itu Guntur memberi saran kepada Aji untuk mengikuti lomba memenulis, karena dia merasa Aji memiliki bakat memenulis yang berbeda dari orang lain.
“Aku rasa sudah cukup bernaung disini, sudah saatnya untuk pulang." Kata Aji sambil membereskan tas nya yang bergeletakan.
"Piye kulo mboten ngertos bahasa indonesia. /bagaimana, aku tidak mengerti bahasa indonesia." Ucap guntur sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"AJI!" Teriak guntur, pasalnya aji ternyata sudah berjalan jauh entah sejak kapan.
Malam pun tiba, dengan kaki yang sudah teramat lelah ditambah pandangan yang berkurang karena rambut berantakan yang menutupi setengah wajahnya Aji. Akhirnya Aji hampir sampai di rumahnya yang berada di pinggiran kali. Jarak Sekolah dengan rumahnya memang cukup jauh, makanya aji sering kali bersinggah di gubuk sawah milik orang lain untuk beristirahat. Meskipun Aji dan keluarganya berasal dari kota. Namun saat Aji masuk kelas 5, Ayahnya dikeluarkan dari pekerjaannya lalu akhirnya bangkrut. Pada akhirnya mereka dengan terpaksa tinggal di rumah bekas neneknya yang sebulan lalu telah meninggal.
Sesampainya Aji di rumah, sang ibu dan ayahnya terlihat sangat cemas menunggu anak bungsunya pulang. "Bocah lanangku durung mulih, kepiye iki!. /anak laki ku belum pulang, gimana ini!" Kata Ibunya berbicara dengan seseorang melalui telepon seluler.
"Emak, Aji pulang" ucap Aji dari depan pintu kayu yang sudah terlihat rapuh dan lama.
"Ya Allah darimana saja kamu Aji! kan sudah emak bilang jangan pulang malam!" sergah ibu
"Siapa suruh Aji sekolah di pedesaan yang jauh!, kenapa juga ayah harus bangkrut?" timpal Aji dengan suara yang tidak kalah kencang, ia terbawa emosi karena lelah.
"HEH DIAJARI SIAPA KAMU BICARA KAYAK BEGITU KE ORANG TUA?!" teriak sang ayah.
"Sudah berbicara begitu ke orang tua,tidak bisa membantu perekonomian keluarga! Ikuti kakakmu dong! Bisa kuliah sambil kerja, bantu ayah. Tidak berguna!” lanjut sang ayah.
Aji hanya bisa menahan tangis dan menunduk seolah-olah menahan rasa kesalnya yang menumpuk. Batinnya penuh sekali keluh kesal yang ingin disampaikan saat ini juga. "Aji padahal pulang sekolah jauh-jauh untuk menuntut ilmu bukan main, kaki aji banyak tanahnya karena melewati sawah. Tapi Aji tidak pernah dikasih seduhan teh sama emak atau bapak. Tidak seperti teman-teman aji yang lain" batinnya.
Tangisnya pecah seketika, Aji berjalan kekamarnya. Sedangkan kedua saudaranya hanya melihat Aji dari ruang TV. Aji sudah tidak peduli dengan pakaian sekolah yang kotor terkena tanah, kini ia hanya menangis sambil menatap langit-langit kamarnya.
Sebenarnya, Aji tidak mau menaruh ucapan ayahnya ke hati. Tapi jauh di lubuk hati, Aji memang merasa tidak berguna hidup di dunia ini. Dia tidak pernah ranking kelas seperti adik laki lakinya yang bernama Adipramana, bahkan arti namanya pun penguasa. Aji juga tidak seperti kakaknya yang selalu menang dalam kompetisi lomba. Apalagi ia memang sudah iri dengan teman-temannya yang sudah punya bakat dan tujuan hidup yang jelas.
Contohnya Guntur, dia sudah berniat akan menjadi seorang penyanyi atau song writer suatu saat nanti, bahkan dia juga memiliki suara yang didambakan teman yang lain. Lalu, Adinata. Teman yang selalu menjadi unggul disetiap pelajaran. Wajar sih, namanya saja memilikii arti unggul. Terakhir, Ismoyono. Dia teman yang selalu di puji oleh semua guru dan teman-teman. Katanya sih idaman layaknya pangeran. Parasnya tampan, juga Pintar dalam Matematika. Aji jadi kecil hati karena ucapan ayahnya.
“Aji benar benar tidak berguna ya di dunia ini” lirih Aji
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah belakang Aji. “Aku yang lebih tidak berguna, Aji. Hiks”
“Huh? Apa aku tidak salah dengar tadi?” batin Aji.
“Kamu kini sibuk melihat layar ponsel dan mengabaikan aku hingga berdebu.”
Lalu Aji menoleh dengan ragu ke arah suara tersebut. Aji seketika terdiam dan tidak percaya. Ia kaget setengah mati karena melihat sebuah benda bisa berbicara padanya. Ia pikir hal seperti ini hanya ada pada cerita fiksi belaka, ternyata ini sungguh ada dikehidupan nyata.
“Sebuah J-jj-am berbicara padaku?” Kata Aji dengan ragu.
“Hiks, Aji sekarang tidak lagi menggunakanku untuk bangun tidur, ini semua karena ponsel!” jam terlihat kesal.
“Kalian harusnya bersyukur. Aku lelah, tidak di charge penuh tapi setiap hari dipakai Aji untuk bersenang-senang belaka.” Timpal ponsel dari meja yang jaraknya tidak jauh dari stop kontak.
“Kamu juga jarang bawa aku ke sekolah untuk mencatat pelajaran, Aji. Makanya kamu tidak pernah mendapat ranking di kelas” Kata sebuah buku yang sampulnya sedikit robek .
“Aku malas setiap malam mendengar keluh kesahmu yang tidak pernah ada kemajuan, Aji!” kata sebuah bantal yang terlihat sudah lusuh karena sering sebagai tempat bertumpu saat Aji menangis.
Ternyata sejak awal ada yang mendengarkan pembicaraan mereka dan Aji. “Begitulah, Aji. Semua sebenarnya memiliki bakat dan manfaat masing-masing. Namun kamu bisa memilih, ingin menjadi siapa? Jam yang menyalahkan orang lain untuk terlihat lebih unggul, ponsel yang serba bisa, atau versi dirimu sendiri. Jangan pernah bandingkan prosesmu dengan orang lain. Karena tak semua bunga, tumbuh dan mekar bersamaan.” Kata Kucing Kampung yang sering diberi makan oleh Aji.
Akhirnya Aji mulai sadar bahwa ia bisa berguna di dunia ini, dengan menjadi diri sendiri. Tanpa harus membanding-bandingkan dengan orang lain.
“Guntur! nengndi ndaftar kanggo kompetisi menulis? /Guntur di mana untuk mendaftar lomba memenulis?” Tanya Aji dengan semangat.
“lho? sampeyan pengin melu sayembara? /loh? kamu mau ikut lombanya?” tanya Guntur
“hehe” kata Aji sambil menggaruk-garuk kepala.
“nahh, kowe pahlawanku sing wani! /nah seperti itu dong jagoanku yang berani!”
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.