CITRA
Cinta adalah mau menerima kekurangan masing-masing…
Cinta adalah mau menerima kekurangan masing-masing…
Kalimat sederhana itu sangatlah mudah diucapkan, tetapi sangatlah bangsat untuk dijalani.
Begitulah yang terjadi dengan Riki dan Sofi. Pasangan yang baru saja jadian, setelah masing-masing mengalami kegagalan yang kesekian kali dalam kehidupan asmara mereka.
Tak sengaja mereka bertemu saat ada pameran komik di sebuah toko buku. Sofi adalah manajer di toko buku itu yang menangani urusan publikasi dan promosi, rupanya toko buku itu juga sekaligus penerbit. Toko buku itu punya idealisme untuk membangkitkan kembali kejayaan komik-komik lokal seperti di era 80 – 90 an, sebelum runtuh karena serbuan komik jejepangan. Nah, penerbit tempat Sofi bernaung sadar bahwa serbuan komik Jepang ini tak bakal bisa dibendung atau disaingi, makanya strategi yang diambil adalah menerbitkan komik cerita lokal dengan gaya penyajian seperti jejepangan. Promosinya pun juga berusaha beradaptasi dengan kemauan pasar, seperti kali ini, pameran komik lokal lengkap dengan kostum sang tokoh utama, yang lazim disebut cosplay. Sedangkan Riki, yang usianya hampir mendekati setengah abad tetapi masih asyik membujang, adalah penggemar berat komik dan cosplay.
Riki adalah guru honorer di salah satu SMP swasta yang cukup terkenal mahal SPP nya. Kegemarannya membaca komik, cukup sebagai modal untuk mengkomunikasikan materi IPS yang diampunya.
Saat itu Riki ikut pekan cosplay yang digelar oleh penerbit KONIKINIKU, tempat Sofi bekerja. Saat itu dikalangan remaja sedang booming komik lokal yang bergenre bible fiction berjudul Petualangan Mencari Adam. Komik ini booming karena dengan berani membandingkan kisah penciptaan dalam kitab suci dengan teori evolusi dari Charles Darwin, dengan menggunakan pendekatan fiksi ilmiah mesin waktu. Kostum Riki banyak mencuri perhatian, karena dia hadir dengan celana dari rumbai-rumbai rafia sambil membawa Palu besar dari bahan styrofoam yang digunakan tokokh Kratos dalam game terkenal Gods of War. Badan yang ceking, dengan perut gembul mirip busung lapar, celana yang melorot sampai terlihat belahan pantatnya, berjalan tegap sambil menenteng palu raksasa. Sungguh kostum yang benar-benar bisa mencerminkan sebuah paduan menyedihkan seorang neanderthal yang dibuang dari taman firdaus.
Sofi sebagai penanggungjawab gelaran promosi komik itu, sigap menangkap situasi, segera menempatkan Riki agak di belakang photo booth, memberi kesempatan para pengunjung untuk foto bersama, sambil menyelamatkan Riki yang celananya sudah melorot hampir setengahnya.
Pameran itu sukses, dan Riki tanpa sadar adalah sebagai daya tarik tersendiri yang ikut mendongkrak penjualan komik Petualangan Mencari Adam.
Sofi memandang Riki, tersenyum simpul, kemudian terbahak.
“Ini bener-bener kamu, Rik ?”
Riki terdiam sesaat, kemudian dahinya mengernyit, dan matanya terbelalak.
“Sopi… ? Sopi Gembul ? Wkwkwkwk… apa kabar Sop ?”
“Eits… bentar. Ini pakai training ini dulu, palumu hampir keliatan tuh…”
Riki diam sejenak, rupanya kolor rumbainya putus. Segera menyambar celana training bermotif tribal dari karakter Jin Kadama, tokoh dalam game Tekken, kemudian mengenakannya dibalik photo booth sambil tertawa terbahak-bahak.
“Hihihi… hampir aku jadi tokoh Adam ketika masih di firdaus…”
“Hahaha Adam gemblung, Adam njembling… kamu masih gila aja, Rik.”
“Totalitas, Sop. Totalitas. Ini prinsipku dari dulu, meskipun hal yang sederhana, musti dilakukan dengan sepenuh hati.”
“Jangan Sop dong, Sofi, biar keren dikit lah, memangnya aku ini cukup berkuah ?”
“Hihihi… lah lidah Jawa, Sop… eh Sof,” kata Riki sambil ludahnya sedikit tersembur karena melafalkan huruf ef.
Kemudian mereka duduk di café corner, toko buku itu juga membuka gerai kopi sederhana, dimana pengunjung bisa bersantai sambil membaca beberapa buku yang sengaja disediakan di rak sebagai sarana promosi.
“Sekarang kerja di mana, Rik ?”
“Aku ngajar, Sop… eh Sof… halah ribet amat ya…”
“Hahaha… iya panggil saja Sop… gak papa kalau lagi berdua.”
Sofi menyalakan sebatang rokok. Riki baru ngeh kenapa Sofi memilih duduk di smoking area. Raut muka Riki memancarkan rasa kaget.
“Rokok, Rik…”
Riki menggeleng.
“Kenapa ? Kaget ? Belum biasa melihat cewek merokok ?”
Riki tanpa sadar menggeleng canggung.
“Iya… Sop. Aku kan guru, lingkunganku kerja menganggap merokok itu tidak pantas. Dan itu persyaratan untuk diterima bekerja disitu.”
“Hahaha… ya, pasti itu.”
Sofi tertawa, meskipun merokok, giginya tetap terlihat putih bersih. Mungkin karena lebih rajin menggosok gigi, batin Riki. Ya… Sofi sekarang terlihat berbeda sekali. Dulu waktu SMA, badan Sofi gemuk dan kacamatanya tebal, makanya dapat sebutan gembul. Sekarang ini, langsing dan tak berkacamata, tapi Riki masih mengenalinya dari alis matanya yang tebal mirip Sinchan, dan tahi lalat kecil di atas sebelah kanan bibirnya.
“Kamu sekarang… kelihatan berubah, Sop.”
“Berubah gimana ? “
“Ya… berubah saja. Sekarang kelihatan lebih…”
“Lebih apa ?”
“Lebih sehat…”
Dan mereka berdua tertawa berderai-derai.
“Anakmu berapa sekarang, Rik ?”
“Mmmm… aku masih suka sendiri.”
“Wkwkwkwk… ternyata jomblo to. Kebanyakan maen cosplay kali…”
“Lha kamu sendiri ?”
“Iya…”
“Maksudnya ?”
“Iya… sendiri juga. Sama…”
Dan mereka kembali tertawa.
Kemudian kursi café itu menjadi sering diduduki oleh mereka berdua. Berbagai cerita mulai mengalir silih berganti, termasuk mengenai kegagalan-kegagalan yang menyebabkan mereka masih sendiri. Dan cerita-cerita itulah yang kemudian menyatukan mereka, hingga tangan mereka berani menyeberang meja untuk saling bertatut, berpegangan, saling menggenggam dengan lembut.
Suatu saat, kedua tangan itu sepakat untuk meninggalkan meja café, mencoba mencari hal lain di dunia luar untuk mengetahui apakah mereka masih bisa saling bertatutan, bergandengan, dan saling menggenggam dengan lembut.
“Lalu, kita mau ke mana ?”
“Jalan, ganti suasana…”
“Iya… tapi kemana ? Kau tahu aku kan cuma guru di sebuah SMP, gak pernah tahu dimana tempat-tempat untuk nongkrong di sini.”
“Aku juga gak tahu, gak pernah kemana-mana…”
Sejenak tangan itu menggenggam sedikit erat, sedikit berkeringat, dan kembali berada di sudut meja café. Tak jadi beranjak. Dan genggamannya beringsut terlepas.
“Masak kamu gak tahu tempat ngobrol yang enak dimana ?”
“Iya…”
“Sop… selama ini aku sudah jujur padamu, cerita apa adanya.”
“Aku juga gitu, Rik…”
“Sepertinya kok… tidak begitu menurutku.”
“Kamu nggak percaya sama aku, Rik.”
Riki terdiam. Jari tangan Sofi menyeberang meja, menggenggam tangan Riki. Tapi jari tangan Riki diam saja, pasif, dan sedikit berkeringat. Dan tanpa sadar, ada gerakan menggeleng yang tak kentara dari kepala Riki.
“Kamu gak jujur, Sop.”
“Soal apa, Rik. Tanya saja.”
“Soal.. kamu nggak tahu tempat ngobrol yang enak sekitaran sini.”
“Beneran, Rik…”
“Terus ceritamu tentang kamu dulu sama Benny ?”
“Kenapa ? Aku sudah gak ada perasaan lagi sama si Benny.”
“Lha katanya… kamu dulu sering ngobrol, ngerokok, ngopi bareng sama Benny. Sampai kalian jadian, kemudian putus.”
“Iya… tapi aku sekarang benar-benar sudah putus hubungan sama Benny.”
“Bukan itu poinnya…”
“Lantas ?”
“Kamu nggak jujur sama aku.”
“Rik, kamu mulai menilai aku, deh…”
“Maksudnya ?”
“Ya… itu, bilang kalau aku nggak jujur.”
“Oh… jadi begitu.”
“Iya… kenapa sih kok tiba-tiba jadi gini ?”
Riki mulai melepas genggaman Sofi.
“Kamu tetap gak mau jujur ?”
“Aku sudah jujur padamu… aku mesti cerita apa lagi ?”
“Pertanyaanku sederhana… dan kamu membuatnya rumit. Seperti model debatnya Sadly Fong, anggota DPR itu.”
“Jadi kamu menyamakan aku dengan mulut si Sadly Fong ?”
Nada bicara Sopi mulai meninggi. Maksud saya, Sofi.
“Nah, benar kan ? Persis seperti itu, selalu mengalihkan pada hal yang gak urgen, mempermainkan kata-kata, dan membuat lawan bicara menjadi merasa bersalah.”
Mata Sofi mulai berkaca-kaca. Tubuhnya menggigil. Sedikit terisak.
“Maafkan, aku Rik…”
“Oke… terus ?”
“Ya udah… itu saja.”
Riki menghela nafas panjang.
“Sudah kuduga…”
“Aku gak tahu lagi apa yang musti kukatakan, Rik.”
“Ini menyakitkan buatku, Sop.”
“Sama Rik, ini juga menyakitkan buatku…”
“Lalu kenapa kamu ngelakuin ini ke aku ?”
“Ngelakuin apa, Rik ?”
Kemudian Riki berdiri, menatap lekat ke wajah Sopi, eh Sofi.
“Kamu cerita kalau sering ngobrol, ngerokok, dan ngopi bareng Benny. Gak mungkin kan kamu lakukan itu juga hanya di tempat ini ? Dan ketika kutanya dimana tempat ngobrol yang enak sekitar sini, kamu jawab gak tahu ?”
Lalu Riki beranjak pergi meninggalkan toko buku itu. Membawa batinnya yang tercabik-cabik.
Sofi masih duduk di meja café itu. Tersedu pelan.
“Kenapa jadi begini ? Aku cuma tidak ingin membuatmu kecewa. Aku cuma ingin kamu mengenalku sebagai Sopi, bukan Sofi…”
Tapi kata-kata itu tak pernah tersampaikan oleh angin malam yang cukup keras bertiup. Mendorong badan Riki yang malam itu berjalan kaki sejauh 20 kilometer pulang ke arah kos nya.
Tak ada cerita tentang senja yang indah tercipta. Bagi Riki dan Sofi, senja yang indah cuma ada dalam cerita cinta yang terus direplikasi. Kebenaran tidak ada di keindahan senja.
Senja bagi mereka hanya sebuah citra…
Srengseng Sawah, 19 Pebruari eh Februari 2022
Pandemi itu sepi…
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.