Lari Pagi di Minggu Subuh

Melawan kantuk saat jogging subuh memang berat.

Lari Pagi di Minggu Subuh
Image by eommina from Pixabay
"Nina, bangun...," Ayah berbisik di telingaku.
 
"Iya...," sahutku pelan dengan mata masih separuh tertutup.
 
"Ayo, ke kamar mandi," perintah Ayah.
 
Ngapain?” tanyaku dengan mata masih tetap separuh tertutup, tanpa upaya membukanya karena tak mampu.
 
“Pipis dulu,” sahut ayah dengan halus sambil tersenyum.
 
Aku, yang masih berumur sekitar 8 tahun, mengangguk pelan. Lalu, dengan mata yang masih tetap berat, kuseret langkah ke kamar mandi. Kukunci pintu, pipis sesuai suruhan, dan lalu meraih sikat gigi. Karena kantuk masih berkeras menyelimuti, kusikat gigiku sambil jongkok dan dengan mata tertutup.
 
Selesai di kamar mandi, mata sudah lebih bisa terbuka sedikit lebar. Mungkin karena tadi kubasuh muka dengan air. Aku lalu bersiap untuk lari pagi. Ini hari Minggu, hari yang kuniatkan untuk jogging subuh. Siap dengan pakaian olahraga, aku pun keluar. Pintu pagar sudah tak terkunci, jadi aku tak repot minta tolong Ayah membuka gembok.
 
Kubuka pagar sambil menggumamkan pamitan ke Ayah yang tengah melanjutkan permainan kartu solitaire-nya. Kudengar reaksi Ayah yang seperti terkejut akan sesuatu, tapi tak dengar apa katanya. Ah, biarlah, lari dulu saja...
 
Dengan kondisi masih tetap mengantuk, aku jogging mengeliling bagian dalam kompleks perumahanku yang berbentuk seperti tapal kuda. Sepi sekali. Senyap. Rumah-rumah yang kulewati semua masih tertutup.
 
Tak ada satu orang pun terlihat, baik di jalanan maupun di rumah masing-masing. Tak heran, di masa itu hanya Minggu yang merupakan hari istirahat. Pada Sabtu orang masih bekerja di kantor atau bersekolah.
 
Kulalui rumah tante dan oom-ku. Kulihat Ayah De—panggilan kepada oom-ku—dan teman-temannya di ruang depan rumahnya.
 
Eh, koq tumben ya sampai pagi, pikirku. Kebiasaan Ayah De dan teman-temannya di setiap malam Minggu adalah main kartu bridge. Tapi, biasanya tak sampai subuh begitu. Paling-paling sekitar jam 00.00 mereka bubar. Meski aku heran, langkahku tak kuhentikan untuk bertanya.
 
Satu putaran kompleks sudah kulakukan. Niatku, masih akan melanjutkan lari ketika kulihat Ayah berdiri di depan pagar dengan gaya khasnya: bertolak pinggang.
 
"Kenapa, Yah? tanyaku yang masih tetap mengantuk.
 
"Larinya sudah dulu, lanjut nanti subuh saja," kata Ayah sambil tertawa.
 
"Ini bukannya subuh?" tanyaku heran.
 
"Bukan, baru jam 10 malam," sahut Ayah.
 
Ya ampun...
 
"Pantes Ayah De masih main bridge," sahutku.
 
Pantas saja kantukku tak juga hilang.
 
"Untung kamu nggak dikira maling kabur. Bisa-bisa dikejar orang pakai golok. Sana pipis lagi sebelum tidur. Nanti subuh Ayah bangunkan lagi".
 
Menggerutu tak jelas, kulaksanakan suruhan Ayah sebelum menyelinap masuk lagi ke selimut. Ayah memang orang yang selalu membangunkanku buat jogging di Minggu subuh. Tapi, tiap malam Ayah juga membangunkanku untuk pipis.    =^.^=

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.