Desa Kanikeh di kaki Gunung Binaiya—gunung dengan ketinggian 3.027 meter di atas permukaan laut/mdpl—di Pulau Seram itu sedang mengadakan pesta. Kami orang-orang kota yang tengah berekspedisi di daerah itu, turut diundang untuk menghadirinya. Buat ikut makan-makan, dan berkeriaan di puncak acaranya yang dilaksanakan pada suatu malam. Mendengarkan live music dengan penyanyi-penyanyi desa yang bersuara luar biasa, atau musik dari kaset.
Di pesta itu orang juga asyik berdansa. Joget gembira dengan salah satu lagu favorit orang-orang di Seram, atau mungkin bahkan seantero Maluku. Sebagian liriknya berbunyi: manis, manis, manis, bukannya gula… Karangan seniman lokal yang saya lupa namanya. Penyanyinya perempuan, sayang saya lupa juga namanya. Sempat beli kasetnya, tapi entah sudah ke mana.
Kami para pendatang juga ikut turun melantai, tentunya. Selain joget, ada juga dansa model slow dance. Alias waltz atau wals. Atau ballroom dance—eh, nggak juga hehehe...
"Eh, gue bisa tuh dansa gitu," Milug yang duduk di sebelah saya nyeletuk.
"Nyang bener," saya asal menyahut.
"Iya! Pernah diajarin ibu gue," katanya lagi.
"Oya!?" respon saya yang percaya tidak percaya.
"Coba yuk!"
"Gue nggak bisa haha...," saya menyanggah.
"Gampang! Lo tinggal ikutin langkah-langkah gue aja!"
Demi menambah pengalaman dan petualangan, saya akhirnya menyetujui. Lucu juga kan kalau kelak di kemudian hari saya bisa bercerita bahwa saya pernah dansa wals di tengah sebuah taman nasional.
Kami berdiri berhadap-hadapan. Milug memperlihatkan bagaimana saya harus meletakan tangan kiri saya di pinggang kanannya, dengan agak sedikit ke belakang. Tangan kanan saya harus terangkat setinggi dada dan mengarah ke kanan luar. Telapak tangan kanan itu dipegangnya. Wah, udah pro lah gaya kami itu.
"Siap ya, ikutin aja gerakan gue. Kayak liat diri lo di cermin," Milug menginstruksi.
Dengan serius saya mengamati gerak kakinya, dan dengan khusuk saya mengikuti setiap gerakannya. Ketika kaki kirinya melangkah ke kiri, kaki kanan saya melangkah ke kanan. Saat kaki kanannya melangkah ke depan, kaki kiri saya melangkah ke belakang. Keren kan? Sudah seperti yang berpengalaman saja.
Tapi, langkah Milug besar-besar. Pun demikian langkah-langkah saya. Alih-alih lembut dan mengalir, gerakan yang kami hasilkan bak terjangan bulldozer. Tabrak sana tabrak sini. Banyak korbannya.
Walhasil, kami ditegur panitia. Sampai dua kali. Karena, dianggap membuat keributan. Panitia benar-benar serius dalam menjaga ketenangan, ketertiban, dan keamanan pesta. Salut! Pada teguran yang kedua, kami dilarang berdansa. Disuruh berhenti. Kalau tidak, akan dikeluarkan dari arena pesta dengan paksa hahaha... Ya sudah. Saya minta maaf pada pedansa di sekitar kami. Sebab, tak hanya saling menginjak kaki kami sendiri, kami juga menginjak kaki para pedansa lain. Saya memakai sepatu gunung yang beratnya sebuahnya saja (bukan sepasang) 1,2 kg. Tak nyaman bagi orang yang terinjak tentunya.
Kenapa juga saya memakai sepatu yang demikian? Karena, peraturan dari panitia pesta Desa Kanikeh itu adalah, hanya yang memakai sepatu tertutup saja yang boleh masuk area pesta dansa. Mereka yang tak memakai sepatu hanya boleh berada di luar gedung semi permanen tempat pesta diadakan. Hanya bisa memandang dari balik dinding gaba-gaba, yang terbuat dari pelepah pohon sagu dan setinggi sekitar 1 meter itu.
Mereka yang berada di luar itu saya lihat bukan hanya penduduk desa setempat. Tapi, juga teman-teman se-ekpedisi yang entah bagaimana telah kehilangan sepatu-sepatu mereka sesaat sebelum pesta dimulai.
Selesai pesta, malam itu saya menginap di desa. Terlalu malas untuk pulang ke basecamp, yang jalan menujunya berupa tanjakan-tanjakan tegak lurus belaka. Namanya saja kaki gunung ya...
Pagi keesokan harinya, Desa Kanikeh yang baru saja menyelesaikan puncak acara desanya terasa dingin seperti biasa. Cuaca cerah. Enak rasanya menikmati pagi dengan bengong sambil menyesap teh bikinan ibu di tempat saya menginap. Teh biasa, bukan teh impor seperti yang selalu tersedia di basecamp kami. Dengan tambahan rasa asap kayu yang sedap dan menyenangkan hati. Airnya tadi direbus di tungku yang memakai kayu.
Sedang asyik begitu, seorang teman ekspedisi liwat di tempatku duduk. Dia merupakan salah satu dari mereka yang kemarin malam hanya dapat memandang keramaian pesta dari balik dinding gaba-gaba.
"Sepatu lo udah ketemu?" saya bertanya sambil melirik ke kakinya.
"Sudah, hahaha. Sama misterius dengan kisah hilangnya adalah, bagaimana sepatu gue itu bisa balik sendiri. Bangun-bangun, sudah ada di tempat di mana kemarin sore gue letakkan".
Lantai rumah panggung di desa ini terbuat dari gaba-gaba juga. Kami yang masuk ke situ, akan melepaskan sepatu, dan meninggalkannya di tanah dekat tangga masuk. Mana tahu bahwa ternyata bisa raib juga. Padahal, kemarin-kemarin tak ada masalah.
"Kopi kayaknya asyik nih. Mau donk," katanya.
Padahal yang kuminum adalah teh. Bagaikan yang punya rumah, kupersilahkan dia masuk. Baru mau mencari ibu untuk minta dibuatkan kopi, tiba-tiba, terdengar pelantang suara dari balai desa dinyalakan.
"Pengumuman..., pengumuman... Kepada saudara-saudara yang kemarin malam meminjam sepatu saudara-saudara kita dari kelompok ekspedisi, harap segera mengembalikannya".
Pengumuman itu diserukan berkali-kali, menggaung di seantero desa. Ah, syukurlah, bisikku dalam hati. Senang aku karena teman-temanku yang semalam kehilangan sepatunya, akan segera mendapatkannya kembali. =^.^=