Melintas Batas ke Timor Leste

Ketika Timor Leste baru berpisah dari Indonesia, melintas batas dari wilayah Indonesia bukan hal gampang.

Melintas Batas ke Timor Leste
Image by pixelRaw from Pixabay
Sendirian, siang itu aku sampai di Kupang. Mendarat dengan penerbangan dari Jakarta yang berangkat subuh tadi, dan transit sebentar di Denpasar. Ibu kota Nusa Tenggara Timur ini bukan tujuan akhirku. Aku harus ke Dili, ibu kota negara Timor Leste yang masih sama-sama berada di Pulau Timor. Guna bekerja selama beberapa hari untuk seorang koresponden radio salah satu negara Eropa.
 
Timor Leste baru saja lepas dari Republik Indonesia. Transportasi komersial yang menghubungkan kedua negara bertetangga ini belum lagi terbentuk. Baik darat, laut, maupun udara. Karena itu, harus cari akal supaya perjalanan bisa berlanjut. Misalnya, dengan menumpang penerbangan nonkomersial seperti yang dimiliki oleh badan-badan sosial seperti IRC, International Red Cross alias Palang Merah Internasional. Namun, sifatnya untung-untungan, karena penerbangannya tak reguler. Kalaupun jadwalnya ada, belum tentu dapat tempat.
 
Kuhanya bisa berdoa bahwa aku akan tiba di Dili pada waktunya. Masih ada waktu 2-3 hari lagi sebelum si koresponden mendarat dengan penerbangan komersial Darwin-Dili yang memang sudah ada. Tegang juga rasanya…
 
Cuaca Kupang yang panas sedikit terusir oleh pendingin di hotel. Masuk kamar, segera kukeluarkan laptop, ponsel, buku catatan, dan alat tulis. Biasalah, buka kantor darurat di meja rias kamar hotel. Selagi mempelajari catatan kontak-kontak yang mungkin bisa bantu aku masuk Dili, ponselku berbunyi. Dari Tino, temen di Jakarta.
 
"Nin, Fulan juga akan ke Dili dari Kupang. Dia perlu bawa mobil buat kantornya di sana, mending lo ikut dia. Lupakan penerbangan IRC. Kalau lo jalan sama dia, gue juga lebih tenang karena lo nggak sendirian," katanya.
 
Kawan kami si Fulan itu adalah jurnalis kamera sebuah kantor berita besar Eropa. Ia tiba di Kupang dengan penerbangan terakhir di malam hari. Besok paginya Fulan menjemputku di hotel tempatku menginap dengan mobil yang disupirinya sendiri. Lalu, kami berangkat ke Atambua, kota di dekat perbatasan ke Timor Leste.
 
Kupang-Atambua kami tempuh sekitar 6 jam. Setibanya di Atambua, Fulan memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum melapor ke yang berwenang bahwa kami akan melintas batas. Waktu itu, belum ada kantor imigrasi baik milik Republik Indonesia maupun Timor Leste. Maka, yang saya sebut sebagai yang berwenang di sini adalah polisi dan militer Indonesia. Polisi yang pertama kami datangi, yang lalu menyuruh kami melapor ke kantor militer. Kodim atau koramil, saya lupa tepatnya yang mana.
 
Untung Fulan tadi memutuskan untuk makan dulu. Dua jam lamanya kami berada di kantor militer tersebut. Ditanya-tanya keperluan akan kepergian kami. Sesuai petunjuk Fulan sebelum kami tiba di kantor tersebut, semua pertanyaan dijawab hanya oleh dia. Saya diam saja, kadang mengangguk dan tersenyum dikulum. Akhirnya, sepucuk surat pengantar (atau mungkin harusnya saya sebut sebagai surat ijin?) yang banyaknya dua lembar, diserahkan dalam amplop manila biru telur asin kepada Fulan. Surat tersebut ditembuskan ke entah berapa intansi militer setempat di wilayah Indonesia.
 
Setelah melintas batas, kami tiba di Mariana, distrik Bobonaro, Timor Lesre.  Lagi-lagi kami berhadapan dengan militer, tapi kali ini dengan tentara Australia. Mereka memeriksa paspor kami. Fulan memperlihatkan surat jalan dari militer Indonesia, yang dipandang dengan melongo karena mereka nggak paham maksud dan isinya. Lalu, barang-barang kami diperiksa. Fulan membuka koper-koper pribadi dan peralatan kerjanya yang banyak itu. Saya buka satu ransel besar yang berisi perlengkapan perjalanan saya, dan satu ransel kecil tentengan haraian.
 
Disebabkan perjalanan ini ada unsur ketakpastian soal transportasi, maka saya memakai carrier/ransel daripada bawa koper. Rasanya, lebih praktis begitu, demikian pemikiran saya yang dulu suka kemping. Semalam segala barang sudah saya masukkan ke ransel. Kecuali, beberapa barang esensial yang masih saya perlukan pada pagi harinya. Barang-barang mana letaknya jadinya di bagian atas ransel.
 
Fulan cukup membuka koper-kopernya, sementara saya sepertinya harus mengeluarkan semua barang dari ransel sampai ke dasarnya. Ya sudahlah, saya pikir. Tokh semua barang tersusun dalam kantong-kantong dan tas-tas kecil, jadi takkan terlalu berceceran. Sambil jalan nanti bisa saya bereskan lagi.
 
Kantong plastik paling atas berisi handuk yang masih basah, karena dipakai mandi pagi tadi. Saya buka, dan perlihatkan lipatan si handuk basah tadi pada si tentara Oz (Australia).
 
"Okay," gumamnya. "Next?"
 
Saya lalu buka travel toiletries milik saya, memperlihatkan segala sabun, sampo, sikat dan pasta gigi, dan seterusnya. Dia mengangguk, dan ganti saya keluarkan sebuah pouch kain beritsleting. Saya buka, memperlihatkan paket-paket mungil berwarna jambon muda.
 
"Itu apa?" tanyanya.
 
"Pembalut wanita," jawab saya.
 
Bule memang tak terlalu akrab dengan pembalut wanita, karena kaum perempuannya pakai tampon. Jadi, perlu dijelaskan dikit hehe... Ya maap mister, saya kan sedang datang bulan.
 
Sebuah pouch beritsleting berikutnya saya keluarkan. Sebelum ritsleting saya buka, saya beri warning terlebih dulu.
 
"My underware," kataku.
 
"Oh okay okay, I don't want to know," katanya sambil melambaikan kedua tangannya dan beranjak.
 
Peemeriksaan mendadak selesai. Baguslah! Karena, kantong kresek berikutnya isinya pakaian kotor termasuk pakaian dalam. Saya saja malas melihatnya.
 
Kami dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Tim tentara Oz tak memberi surat jalan atau sejenisnya. Paspor kami juga tak diberi tanda apa-apa.
 
Kami melanjutkan perjalanan ke Dili yang sebagaian besarnya adalah menyusuri pantai yang indahnya bukan main. Suasana terasa begitu sepi dan tenang. Tak satupun ada kendaraan atau manusia dan mahluk hidup lainnya yang kami temui, ataupun yang berpapasan dengan kami. Cukup menciutkan hati kami.
 
"Gimana kalau tiba-tiba kita disergap?" Fulan mewujudkan kekhawatirannya.
 
Masih segar dalam ingatan kami kejadian beberapa bulan lalu, ketika seorang jurnalis Belanda terbunuh dalam sebuah sergapan di Dili.
 
Untung, kecemasan kami tak terwujud. Setelah berkendara selama sekitar tiga jam, kami tiba di Dili dengan selamat dan sebelum malam datang.   =^.^=
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.