Cucu Oma dan Opa-ku (nenek dan kakek dari pihak Ibu) jumlahnya 27 orang. Untuk 'kelas bawah', maksudnya yang umurnya kecilan, ada sekitar 13 orang—kalau aku tak salah hitung. Dengan range usia sekitar 10 tahun. Yang sering berkumpul bersama di rumah Oma-Opa ada sekitar 8 orang—sekali lagi, kalau aku tak salah hitung. Perempuan dan laki-laki, yang kebetulan tinggal di kota yang sama, yaitu Jakarta.
Kalau sudah berkumpul, yang seringkali artinya menginap juga, pasti kami akan bermain bersama dengan seru. Baik itu pada jam main, atau di saat harusnya kami tidur baik siang ataupun malam—diam-diam tentunya, jangan sampai ketahuan Oma dan Opa bahwa kami bermain di jam yang seharusnya kami tidur.
Permainan yang kami lakukan biasanya lebih ke imajinasi sifatnya. Tanpa alat bantu, memakai apa saja yang bisa diraih di rumah Oma-Opa. Hampir tak pernah kami membawa mainan kami dari rumah ke sana. Tak pernah merasa perlu. Imajiner saja sudah cukup.
Pada satu kesempatan, sore atau siang menjelang sore hari (aku lupa tepatnya), ramai-ramai kami bermain di bagian samping rumah Oma-Opa. Tempat itu adalah tempat terbuka, di mana biasanya cucian dijemur pada seutas gantungan yang terbuat dari kawat tebal, yang menjalur dari belakang ke arah depan.
Di situ juga ada barang-barang bermacam-macam entah apa saja. Dan, sebuah bale kayu tua yang warnanya sudah tak jelas karena dimakan cuaca. Biasanya, barang-barang itu yang menjadi alat permainan kami.
Waktu itu, kami asik saja mengobrol, saling menceritakan pengalaman-pengalaman lucu kami masing-masing. Dari hanya ngobrol cerita-cerita ngalor-ngidul, akhirnya timbul ide untuk menyambil dengan bermain 'Tidur Seratus Tahun'. Idenya datang setelah kami membahas cerita-cerita dongeng, terutama cerita Sleeping Beauty, tentang Princess Aurora yang kena kutukan seorang penyihir sampai harus tidur selama seratus tahun.
Ngobrol seru kami tetap berlangsung. Permainannya adalah, kalau ada yang tiba-tiba meneriakan aba-aba tertentu, kami harus diam seribu bahasa, tak boleh lagi berbicara. Dan, harus menghentikan apapun yang sedang kami lakukan. Mematung saja dalam posisi apapun posisi terakhir kami. Bayangkan, kalau tadinya setengah berjongkok pun, posisi mematung harus demikian pula. Sampai ada teriakan yang ‘membangunkan’ tidur seratus tahun kami, baru kami boleh bergerak lagi.
Ditentukan, siapa saja boleh meneriakkan aba-aba, dan kapan saja. Jadi, akan ada unsur kejutan supaya semakin seru. Hanya anak yang sama yang kemudian boleh meneriakkan aba-aba ‘membangunkan’.
Segala gaya sudah dilakukan. Sampai kemudian semua dari kami secara satu per satu naik ke atas bale. Sekali lagi, berbagai gaya dan posisi juga kami lakukan di bale. Ada yang duduk, ada yang berdiri, ada yang jongkok. Satu orang mulai berdiri di pinggiran bale, sambil berpegangan pada kawat gantungan cucian. Yang lain satu per satu menyusul, sampai kami semua berdiri dan berpegangan pada kawat itu. Menjadi seru, karena kami kemudian berayun-ayun bersama-sama dan seirama. Kuat juga kawat tersebut ya ternyata! Demikian pikirku.
"Tidur seratus tahun!!" tiba-tiba terdengar teriakan.
Kami semua berhenti bergerak dan berbicara, sebab itu adalah kata-kata kunci alias aba-aba untuk ‘tidur’. Dalam diam, semua menjadi bergantungan pada kawat. Dengan kaki yang tetap berdiri di pinggiran bale. Badan doyong ke depan. Kebetulan, kami semua menghadap ke arah yang sama dan sejajar.
"Bangun 100 tahun!" aba-aba ‘membangunkan’ terdengar, yang disusul dengan suara, “Bruuuk!!!” yang mengejutkan.
Secara serempak, tepat setelah aba-aba terdengar, kami semua terjatuh ke arah depan. Ke bawah dari bale. Untungnya, kami semua sigap sehingga semua berhasil menjaga jatuh, dengan mendarat pada kaki kami.
Bagaimana bisa kejadian jatuh begitu!? Ah, rupanya bersamaan dengan saat kami 'bangun dari tidur seratus tahun', si kawat jemuran putus. Ya bagaimana tidak, digantungi oleh sekitar delapan orang anak sih!
Awalnya, semua bengong dan saling memandang dengan tak percaya. Terkejut selesai, kami kemudian tertawa terbahak-bahak atas kebetulan yang seru itu. Selanjutnya, bermain menjadi lebih meriah lagi karena suasana hati yang semakin gembira. Sampai Oma memanggil karena sudah waktunya buat kami untuk melakukan hal lain. Entah tidur siang/sore, atau mandi sore.
Aku menghela nafas. Sebab, ini juga berarti telah tiba waktunya bagiku untuk menerima nasehat dan omelan Oma, yang pasti bakal terjadi setelah kami melapor bahwa telah terjadi kejadian putusnya kawat jemuran. Tentang siapa pelakunya, Oma tak perlu bertanya. Siapa yang harus bertanggung jawab? Aku!!!
Sebab, dari geng anak kecil itu, aku yang paling tua umurnya. Sebagai yang tertua, aku yang akan dianggap bertanggung jawab atas kenakalan gerombolan si kecil ini. Maka, aku juga yang akan menerima sedikit nasehat. Selalu begitu…
Huh, apes! Kena lagi deh...
Ehm, tapi, tidak, Oma kami tak jahat. Omelan yang aku terima bukan omelan panjang lebar tak berujung. Paling-paling kepadaku Oma hanya akan berkata, “Tuh kan, selalu deh ada kejadian!” =^.^=