Gelembung Sabun

Bermain dengan sabun

Gelembung Sabun
Image by Alexa from Pixabay
 

Di tempat-tempat yang banyak anak-anak, selalu kulihat banyak juga orang berjualan. Baik itu di luar sekolahan, ataupun di area pusat permainan anak-anak. Mata dagangannya apalagi kalau bukan beragam hal yang diminati anak-anak. Dari makanan sampai mainan.

Bentuk-bentuk mainannya pun beragam. Dan, kerap kulihat di antaranya pasti ada yang berjualan permainan balon sabun atau gelembung sabun, dalam bentuk cairan. Berwarna-warni menarik hati. Anak-anak yang berminat membeli, bisa memilih warna yang sesuai dengan kesukaannya. Meski setelah ditiup nanti warnanya akan sama saja.
 
Cairan-cairan air sabun itu di jual dalam botol beragam ukuran. Alat peniup-nya pun beragam macamnya. Berbagai bentuk dan ukurannya. Ada yang sangat besar sampai sebesar piring, ada yang berbentuk sedotan, tapi ada juga yang mengambil bentuk pistol-pistolan. Ya, seperti pistol air. Baik itu benda-benda bikinan pabrik, maupun bikinan tangan atau rumahan.

Botol-botol wadah sabunnya kadang kulihat merupakan bekas wadah minuman, yang menurutku tergolong sebagai bentuk daur ulang sederhana. Namun, tak jarang kulihat yang dipakai adalah botol-botol plastik baru. Dulu, masa foto masih dicetak dari film negatif, ada ekses canister atau tabung film pada jejaknya. Canister itu lalu dipulung, dan dipakai-ulangkan menjadi wadah air sabun yang dijual sebagai mainan anak-anak.

Permainan gelembung sabun memang bukan barang baru. Aku pun mengalaminya waktu kecil, sekian dekade lalu. Bagi kami anak-anak masa baheula, tentang permainan ini yang paling sulit adalah menciptakan atau membuat air sabunnya. Kami harus rajin menyerut sabun mandi bantangan atau sabun cuci batangan—yang masa dulu itu kebanyakan ada gambar timbul dua tangan bersalaman, sehingga disebut sebagai sabun cap tangan. Sebagai alat penyerutnya adalah pisau dapur.
 
Masa itu, menyerut sabun batangan merupakan satu-satunya cara. Sebab, jangankan sabun cair berbagai bentuk dan fungsi, seperti yang sekarang mudah diperoleh di rumah tangga manapun. Deterjen bubuk atau sabun colek pun belum ada. Memakai sampo? Wah, ibu di rumah bisa ngamuk!
 
Serutan sabun itu lalu kami campur dengan air. Kemudian, dengan sabar kami harus mengaduk-aduknya, sampai serutan melarut ke dalam air. Kalau air-nya kebanyakan, cairan sabun bisa menjadi terlalu encer sehingga gelembung tak bisa terbentuk saat ditiup. Maka, serutan sabun harus ditambahkan lagi. Begitu terus sampai akhirnya gelembung bisa terbentuk saat ditiup.

Sebagai peniupnya, kalau beruntung kami bisa pakai sedotan. Kalau tidak, maka pilihan terbaik adalah tangkai daun pepaya. Pohonnya selalu ada, di hampir semua halaman rumah atau tanah kosong yang dulu masih banyak. Pahit rasa di mulut akibat kena getahnya, itu sudah pasti. Tapi, hati akan menjadi sangat senang berbungkah melihat balon-balon sabun menderas keluar, dari ujung lubang tangkai daun pepaya.

Mainnya semakin seru kalau ramai-ramai, seperti yang kami, anak-anak satu komplek, lakukan pada suatu hari tertentu dulu itu. Waktu itu, sore-sore sehabis mandi, kami kumpul di rumah sebelah rumahku. Karena sudah mandi, permainan yang kami lakukan harus yang bersih-bersih saja, dan tidak akan menyebabkan kami berkeringat banyak. Bermain sabun tampaknya cocok untuk syarat itu.
 
Ayah teman di rumah itu membantu kami dalam memproduksi air sabun yang bagus kualitasnya. Beliau yang menyerutkan sabun dengan pisau yang sangat tajam, yang kami para anak-anak tak boleh memakainya—dikhawatirkan akan terluka. Lalu, beliau juga yang memotongkan tangkai-tangkai pepaya sebagai peniup. Senang sekali!

Dapat diduga, dengan riang gembira kami bermain. Meniup dengan semangat, berusaha sebisanya menciptakan gelembung terbanyak atau terbesar. Tawa bahagia kami membahana di halaman rumah tetangga sebelah itu.

"Lagi ngpapain," tiba-tiba terdengar suara anak kecil perempuan yang bertanya penasaran.

Kami menengok ke arah datangnya suara. Sosok mungil sepupuku yang tinggal di kompleks yang sama, kulihat masuk ke halaman rumah. Bajunya putih berlengan tali. Ia terlihat bersih sehabis mandi.

"Main balon sabun," jawab salah satu dari kami.

"Mau ikutan?" tanya anak yang punya rumah

"Mau!" seru sepupuku dengan semangat. "Gimana mainnya?"

"Gini," salah satu dari kami mengajarinya. "Masukan tangkai pepaya ke air sabun. Sedot sedikit supaya air sabun masuk ke ujung tangkai, lalu cepat-cepat angkat tangkainya, dan tiup seperti ini," katanya sambil memperagakan caranya.
 
Serentetan balon atau gelembung sabun keluar dari ujung pipa tangkai pepaya miliknya. Pemandangan yang asik! Kami bersorak melihatnya.

"Gampang ya," kata sepupu mungil-ku bersemangat.
 
“Iya koq, gampang!” beberapa dari kami berseru riang.

"Coba sendri deh," salah satu anak yang lebih tua memberi semangat.
 
Anak yang satu itu memang selalu bersikap mengemong kami, para yuniornya. Ia menyodorkan mangkok air sabun dan tangkai pepaya miliknya ke sepupuku, yang dengan semangat menerimanya. Dan, dengan lebih semangat lagi sepupuku mempraktekan ajaran yang tadi sudah dipaparkan kepadanya.

"Hati-hati ya, tangkainya pahit rasanya," si senior tadi mengingatkan. “Menyedotnya jangan terlalu kuat seperti kalau sedang menyedot limun, nanti malah masuk ke mulut”.

 
Sepupuku mengangguk dengan tangkai pepaya yang sudah menempel di mulutnya. Ujung tangkai satunya dimasukkan ke mangkok air sabun. Terlihat mulutnya melakukan aksinya.

"Huaaaaaa!!!" tiba-tiba ia menjerit sambil menangis.
 
Dilemparnya mangkok air sabun dan tangkai pepaya sekaligus. Air matanya segera deras berlinang. Dari hidung dan mulutnya keluar cairan sabun yang berbusa.

Walaaaaah, rupanya ia menyedot dengan terlalu semangat. Sampai-sampai, cairan sabun masuk ke mulutnya dan bahkan tertelan. Mengakibatkan ia tersedak karena kaget.

Aku meringis melihatnya, membayangkan betapa tak nyamannya rasa getir air sabun yang menyentuh dari lidah sampai ke kerongkongan. Tangkai pepaya itu saat di mulut saja sudah pahit sekali rasanya. Apalagi air sabunnya!

"Ada apa?!" tiba-tiba si ayah yang punya rumah keluar dan bertanya panik.

"Dia menyedot air sabun sampai terminum," jelas anak yang punya rumah.

"Aduh!!! Bagaimana bisa? Sudah!!! Sudah!!! Berhenti main air sabunnya!" si ayah menjadi marah.

Beliau menggamit sepupuku yang tengah menangis, dan membawanya ke dalam rumah untuk dibersihkan.

"Kamu kumpulkan semua mangkok dan tangkai-tangkai pepayanya. Buang air sabun dan juga tangkai-tangkai itu," perintah beliau pada anaknya, yang dengan enggan tapi patuh melakukan perintah ayahnya.

"Sudah sore juga, ayo semua pulang saja!" sambung beliau.

Kami semua terdiam. Kesal!!! Sedang seru-serunya main, mendadak harus berhenti begini. Padahal, kami tak nakal. Salah sendiri si sepupuku itu, yang menyedot air sabun sampai tertelan. Itu kan bukan akibat dari kenakalan kami! Kenapa juga kami yang dimarahi? Dan, dihukum dengan harus berhenti bersenang-senang. Diusir pula, disuruh pulang!

Kesal!

Kami lalu bubar, sambil berusaha mencari permainan lain yang bisa dimainkan tanpa kotor-kotoran. Namanya anak-anak, kami dengan segera menemukan permainan pengganti. Mungkin kalah seru dengan permainan gelembung sabun, tapi setidaknya bisa sedikit menghibur hati. Sambil mengisi waktu sebelum orang tua memanggil kami untuk pulang ke rumah.

Tapi, tetap saja: kesal banget!!! Sampai sekarang pun aku masih kesal bila mengingatnya.   =^.^=
 
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.