Gelembung Sabun
Bermain dengan sabun

Di tempat-tempat yang banyak anak-anak, selalu kulihat banyak juga orang berjualan. Baik itu di luar sekolahan, ataupun di area pusat permainan anak-anak. Mata dagangannya apalagi kalau bukan beragam hal yang diminati anak-anak. Dari makanan sampai mainan.
Bentuk-bentuk mainannya pun beragam. Dan, kerap kulihat di antaranya pasti ada yang berjualan permainan balon sabun atau gelembung sabun, dalam bentuk cairan. Berwarna-warni menarik hati. Anak-anak yang berminat membeli, bisa memilih warna yang sesuai dengan kesukaannya. Meski setelah ditiup nanti warnanya akan sama saja.
Botol-botol wadah sabunnya kadang kulihat merupakan bekas wadah minuman, yang menurutku tergolong sebagai bentuk daur ulang sederhana. Namun, tak jarang kulihat yang dipakai adalah botol-botol plastik baru. Dulu, masa foto masih dicetak dari film negatif, ada ekses canister atau tabung film pada jejaknya. Canister itu lalu dipulung, dan dipakai-ulangkan menjadi wadah air sabun yang dijual sebagai mainan anak-anak.
Permainan gelembung sabun memang bukan barang baru. Aku pun mengalaminya waktu kecil, sekian dekade lalu. Bagi kami anak-anak masa baheula, tentang permainan ini yang paling sulit adalah menciptakan atau membuat air sabunnya. Kami harus rajin menyerut sabun mandi bantangan atau sabun cuci batangan—yang masa dulu itu kebanyakan ada gambar timbul dua tangan bersalaman, sehingga disebut sebagai sabun cap tangan. Sebagai alat penyerutnya adalah pisau dapur.
Sebagai peniupnya, kalau beruntung kami bisa pakai sedotan. Kalau tidak, maka pilihan terbaik adalah tangkai daun pepaya. Pohonnya selalu ada, di hampir semua halaman rumah atau tanah kosong yang dulu masih banyak. Pahit rasa di mulut akibat kena getahnya, itu sudah pasti. Tapi, hati akan menjadi sangat senang berbungkah melihat balon-balon sabun menderas keluar, dari ujung lubang tangkai daun pepaya.
Mainnya semakin seru kalau ramai-ramai, seperti yang kami, anak-anak satu komplek, lakukan pada suatu hari tertentu dulu itu. Waktu itu, sore-sore sehabis mandi, kami kumpul di rumah sebelah rumahku. Karena sudah mandi, permainan yang kami lakukan harus yang bersih-bersih saja, dan tidak akan menyebabkan kami berkeringat banyak. Bermain sabun tampaknya cocok untuk syarat itu.
Dapat diduga, dengan riang gembira kami bermain. Meniup dengan semangat, berusaha sebisanya menciptakan gelembung terbanyak atau terbesar. Tawa bahagia kami membahana di halaman rumah tetangga sebelah itu.
"Lagi ngpapain," tiba-tiba terdengar suara anak kecil perempuan yang bertanya penasaran.
Kami menengok ke arah datangnya suara. Sosok mungil sepupuku yang tinggal di kompleks yang sama, kulihat masuk ke halaman rumah. Bajunya putih berlengan tali. Ia terlihat bersih sehabis mandi.
"Main balon sabun," jawab salah satu dari kami.
"Mau ikutan?" tanya anak yang punya rumah
"Mau!" seru sepupuku dengan semangat. "Gimana mainnya?"
"Gini," salah satu dari kami mengajarinya. "Masukan tangkai pepaya ke air sabun. Sedot sedikit supaya air sabun masuk ke ujung tangkai, lalu cepat-cepat angkat tangkainya, dan tiup seperti ini," katanya sambil memperagakan caranya.
"Gampang ya," kata sepupu mungil-ku bersemangat.
"Coba sendri deh," salah satu anak yang lebih tua memberi semangat.
"Hati-hati ya, tangkainya pahit rasanya," si senior tadi mengingatkan. “Menyedotnya jangan terlalu kuat seperti kalau sedang menyedot limun, nanti malah masuk ke mulut”.
"Huaaaaaa!!!" tiba-tiba ia menjerit sambil menangis.
Walaaaaah, rupanya ia menyedot dengan terlalu semangat. Sampai-sampai, cairan sabun masuk ke mulutnya dan bahkan tertelan. Mengakibatkan ia tersedak karena kaget.
Aku meringis melihatnya, membayangkan betapa tak nyamannya rasa getir air sabun yang menyentuh dari lidah sampai ke kerongkongan. Tangkai pepaya itu saat di mulut saja sudah pahit sekali rasanya. Apalagi air sabunnya!
"Ada apa?!" tiba-tiba si ayah yang punya rumah keluar dan bertanya panik.
"Dia menyedot air sabun sampai terminum," jelas anak yang punya rumah.
"Aduh!!! Bagaimana bisa? Sudah!!! Sudah!!! Berhenti main air sabunnya!" si ayah menjadi marah.
Beliau menggamit sepupuku yang tengah menangis, dan membawanya ke dalam rumah untuk dibersihkan.
"Kamu kumpulkan semua mangkok dan tangkai-tangkai pepayanya. Buang air sabun dan juga tangkai-tangkai itu," perintah beliau pada anaknya, yang dengan enggan tapi patuh melakukan perintah ayahnya.
"Sudah sore juga, ayo semua pulang saja!" sambung beliau.
Kami semua terdiam. Kesal!!! Sedang seru-serunya main, mendadak harus berhenti begini. Padahal, kami tak nakal. Salah sendiri si sepupuku itu, yang menyedot air sabun sampai tertelan. Itu kan bukan akibat dari kenakalan kami! Kenapa juga kami yang dimarahi? Dan, dihukum dengan harus berhenti bersenang-senang. Diusir pula, disuruh pulang!
Kesal!
Kami lalu bubar, sambil berusaha mencari permainan lain yang bisa dimainkan tanpa kotor-kotoran. Namanya anak-anak, kami dengan segera menemukan permainan pengganti. Mungkin kalah seru dengan permainan gelembung sabun, tapi setidaknya bisa sedikit menghibur hati. Sambil mengisi waktu sebelum orang tua memanggil kami untuk pulang ke rumah.
Tapi, tetap saja: kesal banget!!! Sampai sekarang pun aku masih kesal bila mengingatnya. =^.^=
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.