Puzzle Hatiku

Love is a game

Puzzle Hatiku

Puzzle Hati

 

“Teh, kali ini mah beneran. Duh aku  sudah gak sabar pingin cerita. Kapan atuh ada waktu kita ketemuan?” Suara ceriwis di ujung telepon seberang sana selalu bisa membuat aku tersenyum di antara kesibukanku yang seolah tak ada habisnya.

Dan sore itu pada hari yang sama kami sudah duduk berhadapan di sebuah kedai kopi langganan yang letaknya tak jauh dari kantor sahabatku itu.

“Gimana, wajah aku berseri-seri khan Teh? Aura aku keluar sampe awur-awuran yaa? Tadi aku ngaca di toilet kantor sebelum kesini , waaaah asa mencraaaang buricak burinong gitu looh!” kalimat tanya berbau narsisme itu berhamburan seperti tanpa mengharapkan jawaban,  alih-alih kesal aku malah mencubit sayang pipi Dinar, sahabat yang adik kelasku di SMA ini.  

“Jadi bagaimana ceritanya?” seteguk kopi susu dingin bergula aren menyejukan tenggorokanku

“Di kereta api tadi subuh Teh, seperti biasa aku tuh request duduk dekat jendela. Naaah bapak yang duduk di sebelahku tuh ngeliatin aku terus dari ujung ke ujung dengan penuh selera. Samaruknya aku tuh bala-bala haneut gitu!”, Dinar membuka ceritanya dengan bersungut-sungut  kocak

Bahasa Sunda gaul yang terselip di antara setiap kalimatnya bercampur istilah bahasa Inggris  terdengar segar di telingaku, yang sudah tinggal di Jakarta selama tiga puluh tahun meninggalkan kota Bandung.

Baru lima  bulan ini Dinar pindah tempat bekerja ke Jakarta, dalam rangka mencari karier yang lebih baik dan membuka peluang jodoh yang lebih luas, melebarkan sayap istilah yang dipakainya. Bukan sedikit pengorbanannya untuk ini, setiap Senin subuh dia harus naik kereta ke Jakarta dan kembali ke Bandung pada hari Jumat sore untuk berkumpul dengan tiga anaknya yang sudah beranjak remaja. Saat ini Dinar berkerja menjadi  tenaga pemasaran  di sebuah perusahaan farmasi  besar di pusat kota Jakarta. Sebagai sesama single parent aku bisa membayangkan betapa sibuknya sahabatku ini membagi waktu dan perhatiannya.

“Sebel banget aku Teeeh  sama si bapak nepsongan itu, please deh

“ Permisi Aa, saya mau ke toilet”, Dinar membungkukan tubuh semampainya mereka ulang  kejadian yang dialaminya tadi pagi tanpa canggung di kedai kopi yang tak terlalu luas ini, pandangan dari tamu lain di sekitar kami tidak membuatnya jengah.

“Lah tumben kok  kamu panggil orang itu Aa siiih? Akang atau Bapak lah mestinya.  Ada-ada aja bikin orang GR” , akupun protes

Setahuku Aa adalah panggilan sopan yang berkesan terlalu akra, apalagi  untuk orang yang tidak kita kenal. Panggilan ini lebih sering digunakan untuk pasangan atau kakak laki-laki kita.

“Naaah kena juga nih si teteh, ha ha ha..”

“Dia juga langsung nanya gitu ke aku Teh, just after aku balik ke bangkuku”

“Neng,saya meuni bahagia dipanggil Aa sama neng yang cantik kayak gini. Nanti turun dimana? Mungkin kita bisa bareng naik Gocarnya kalau ke searah ke Sudirman”, mimik wajah Dinar sulit kugambarkan saat menirukan suara dan gaya Bapak nepsongan itu, tapi senyuman usilnya  sudah memberiku gambaran apa dialog selanjutnya yang terjadi

“Jangan GR dulu Aa, tau gak itu tuh singkatan  dari kata Aki-aki?”

Pfffffhhh….! Ah hampir keluar kopi susu yang sedang ada di dalam mulutku.

Dinar tertawa sangat geli sambil melanjutkan  ceritanya tentang Bapak itu,  akupun ikut terbahak kadang tanpa mengerti apa yang diucapkannya, karena tak penting lagi. Aku yakin inti cerita sore ini bukanlah itu. Aku menunggu…

“Cowok yang duduk di seberang aku teeeh, yang aku perhatiin dari tadi, si  kasep super cute super cool  dengan laptop yang terbuka terus dari awal ikut ketawa ngakak juga mendengar jawabanku ke bapak itu” , Dinar berbinar-binar

“Akhirnya pas si Bapak nepsongan itu pindah duduk di stasiun Jatinegara, dan aku malah asik ngobrol sama si Aa asli itu. Ternyata dia satu building sama aku Teh, kantornya hanya beda lantai. Makan siang tadi kami bareng-bareng lho. Makan dengan tahu goreng serasa berlauk wagyu kalau sambil mandangin wajah kasep si Aa”

“Wah pantas saja kamu sejak tadi bolak-balik melirik hape, karena sedang asik chatt yaa dengan new comer

“ Ha ha ha… doain aja Teh kali ini memang jodohku”

Bukan kali ini saja Dinar menceritakan perkenalannya dengan para cinta Senin subuhnya di kereta api Parahiangan, tapi semua cerita berlalu bagai angin dalam hitungan  beberapa hari atau minggu. Paling tidak ada tiga orang yang kuingat, dan semuanya berakhir dengan suara lemasnya di ujung telepon.

Ada si abang orang Sumatera yang sangat boros dan mengumbar janji manisnya, ternyata berbeda keyakinan. Ada juga mas-mas yang rajin mendatangi kost nya, ternyata hanya ingin merekrut Dinar menjadi downline nya di bisnis  MLM. Yang paling terakhir sebelum ini adalah seorang pegawai  BUMN yang mundur teratur balik kanan  setelah tahu buntut Dinar banyak, tiga orang.

Yang unik adalah Dinar selalu memanggil mereka dengan siklus yang selalu sama: Akang saat pertama kali dia menceritakan perkenalannya kepadaku, menjadi Aa ketika mereka sudah lebih dekat dan mungkin resmi berpacaran, lalu kembali menjadi Akang saat mereka tidak jalan bersama lagi. Tak ada abang, mas, ataupun panggilan lain yang digunakannya. Kadang aku canggung mendengar kata Aa disandingkan dengan nama yang sangat Sumatera atau sangat Jawa, tapi biarlah Dinar bebas berekspresi apa saja semaunya.  

Aku melihat konsentrasi  kerja Dinar sangat terganggu dengan  usaha tak kenal lelahnya dalam mencari jodoh di Jakarta.  Seruduk sana seruduk sini, bagaikan banteng yag sedang mengamuk. Dinar yang aku kenal sebagai pekerja keras yang cerdas dan tangguh, mulai kehabisan energi mengejar cinta.  Sayap yang awalnya dia kepakan lebar-lebar di ibukota ini, mulai melemah. Aku sebagai sahabat pernah mencoba mengingatkannya.

Don’t push your luck dear…” , Kataku mengingatkan

“Ini bukan soal Luck Teeeh, ini bagaimana usaha kita menemukan potongan puzzle dari hati kita yang masih Allah sembunyikan di suatu tempat, anggap saja ini sebuah games yang asik”

Mataku tetap memandang Dinar tapi pikiranku melayang pada sebuah lagu romantis dengan judul Put Your Head on My Shoulder dari Paul Anka

Some people say

Love is a game

A game that You just can’t win

Akankah sahabatku ini memenangkan permainan puzzle hati ini? Energi dan semangat kami bebeda, mungkin karena usiaku yang terpaut lima tahun lebih tua di atas Dinar, dan dua kali pernikahanku berjalan tidak sesuai rencana; aku tak terlalu bersemangat untuk menemukan puzzle hatiku lagi.

Dua minggu kemudian, nama Dinar kembali  berkedip-kedip di layar  hapeku, aku menebak-nebak cerita apa yang kali ini akan dikumandangkannya

“Teh, si Aa kasep belum jodohku. Ternyata dia jauh lebih muda usianya. Si borokokok, dia juga sudah beristri dan beranak dua, parahnya dia ingin jadikan aku yang kedua” , suara itu terdengar sedih.

“Dinar sayang, ini berarti  aku akan masih akan terus mendengar cerita-cerita seru kamu lagi di setiap hari Senin  khan? ”

“Ah teteh, kenapa kamu setega itu sama aku siiih?”

 “Tapi Teh, aku memutuskan menerima tawaran kantor lamaku di Bandung untuk kembali bekerja disana. Ibukota terlalu kejam untukku Teh. Setelah berhitung, sisa gajiku disini setelah dikurangi bayar kost dan biaya hidup tak lagi sepadan dengan pengorbanan yang sudah aku buat. Akhirnya, aku merasa belum berhasil memenangkan games menemukan potongan  puzzle hatiku”

 Aku terkejut sekaligus senang mendengarnya, Dinar memang susah ditebak. Namun terbayang  wajah ceria ketiga anak Dinar yang pasti senang ibunya yang ternyata kalah bermain puzzle hati ini  kembali dekat bersama mereka setiap saat.

***

“Mama sakit tante, gula darahnya sudah  gak bisa terkontrol lagi”, Dini keponakanku yang paling dekat denganku terisak dari Abu Dhabi via telepon.

“Aku belum bisa pulang dalam waktu beberapa bulan ke depan. Aku khawatir tidak ada yang jaga mama, terutama selama mama masih diopname sekarang-sekarang ini”

Kalimat ini menyiratkan harapan Dini agar akulah yang bisa menjaga kakak iparku yang telah menjanda hampir sepuluh tahuni kakak sulungku meninggal mendadak.

Dini anak satu-satunya harus ikut suaminya berpindah-pindah tugas di luar negeri sebagai abdi negara.

Aku menyanggupi harapan keponakanku untuk merawat kakakku dan  menyiapkan diri untuk berangkat ke Bandung dengan kereta api sore itu.

****

Sejak adanya jalan tol yang mempersingkat perjalanan Jakarta – Bandung menjadi dua jam saja, aku tak pernah lagi menggunakan kereta api ke Bandung.

Turun dari taksi online di lobby barat stasiun Gambir, tak ada lagi bapak- bapak jasa angkutan yg sibuk menawarkan jasanya sambil setengah meraih barang yang kubawa seperti dulu. Di jaman serba online ini, mulai pembelian karcis, memilih tempat duduk sampai memesan makanan dengan mudahnya kulakukan secara online.

Selesai  self check in di mesin yang terletak di salah satu sudut  lobby,  aku berjalan dengan langkah sangat perlahan  di stasiun yang nampak jauh lebih bersih dan teratur dibanding dulu. Lapak majalah dan koran sudah  tampil lebih modern menjadi kios rapi yang  menjual banyak  barang lain keperluan perjalanan. Mungkin karena tidak banyak lagi calon penumpang yang berminat membeli bacaan seperti dulu, namun kuambil satu majalah untuk dinikmati selama tiga jam ke depan. Senang hatiku melihat bapak penjaga kios tersenyum sumringah

Waktu keberangkatan masih tiga puluh menit lagi, aku kurang tertarik dengan  resto waralaba yang berderet di sepanjang selasar. Pilihanku jatuh pada sebuah kedai kopi kecil  bergaya rustic seadanya namun terlihat nyaman dan manis. Seperti biasa kopi susu gula aren menemani lamunanku sambil menikmati pemandangan taman kesil berlatar gerbong-gerbong kereta

Tampaknya aku akan sering menempuh perjalanan seperti ini, mungkin setiap akhir minggu untuk menemani kakak iparku yang tinggal sendirian itu. Sama sekali tak keberatan dengan kondisi ini, karena hamper setiap akhir minggu dua anakku biasanya sibuk dengan teman dan kekasihnya. Selain itu, kota Bandung selalu asik untuk dinikmati karena masih sangat banyak teman dan sahabat kecilku disana

Bandung banyak menyimpan cerita masa kecil dan remajaku yang indah.

Kuteguk sisa kopi dalam cangkir cantik ini, sekarang sudah waktunya menuju gerbong, aku tak mau terburu-buru.  Kuaktifkan semua inderaku sejak sampai di stasiun ini, mengaktifkan juga memori saat aku masih harus sering bepergian Jakarta- Bandung karena tuntutan pekerjaanku dulu. Tiba-tiba muncul bayangan Dinar, sahabatku spesialis pemburu jodoh di kereta api, ah apa kabar dia?  Semoga tak ada orang yang melihatku tersenyum-senyum sendiri karena mengingat kocaknya Dinar..

Sejak dulu gerbong yang kupilih selalu yang terdepan, mamaku yang selalu bercanda, “Supaya kita duluan sampai”, begitu katanya. Setelah meletakkan barang bawaan di bagian atas tempat dudukku, kini saatanya menimati majalah yang kubeli tadi.

Punten teh, kamu Pinkan bukan ya?”, sebuah suara bariton menyapa dari tempat duduk dari seberang gang tempat dudukku.

“Eh iya…”

“Jangan melotot  gitu dong teh, masih inget aku gak?”, senyum lebar mengembang di wajah manis khas Sunda dari laki-laki berambut gondrong itu.

Aku memerhatikan si pemilik suara  itu,  beberapa detik sebenarnya  namun terasa sangat lama, seolah waktu membeku. Dan akupun terlempar dalam kilasan banyak peristiwa tiga puluh tahun lalu.

Dia, si kakak kelas yang selalu aku kagumi diam-diam. Banyak sekali penggemarnya, sampai adik-adik kelasnya seperti aku ini tak pernah melewatkan menonton dia saat berlatih basket dan Paskibra, walaupun panas mencorong di pinggir lapangan.

“Lho malah melamun, kuperhatikan sejak dari kedai kopi tadi sampai berjalan menuju Gerbong, Pinkan banyak melamun. Sepertinya melamun yang indah karena sampai senyum-senyum sendiri” aku kembali mendarat di gerbong kereta Parahiangan ini.

 “Eh iya iya, aku ingat dong. Kang Bara khan?”

“Alhamdulillah kamu masih kenal aku” 

Tentu saja aku ingat, bahkan aku masih ingat persis bagaimana bentukmu saat seragam basket itu menempel basah di tubuhmu.

Selepas SMA Kang Bara ini  menjadi salah satu  personel Band yang terkenal dan kebanggan masyarakat Bandung. Sering sekali aku menonton saat Band mereka tampil di beberapa kafe terkenal juga cara-acara musik besar  di Jakarta. Tapi aku adalah sekedar penonton biasa yang tak punya nyali untuk menyapanya

Aku tak habis pikir ternyata kakak kelasku yang anak famous ini ternyata kmasih mengenali bahkan tahu namaku..?

“Tinggal di Jakarta Kang?”, tanyaku setengah gelagapan

“Gak, aku masih di Bandung. Hanya saja selama masa pandemi ini aku gak banyak job untuk show, jadi aku manfaatkan bakat desain grafisku untuk beberapa klien di Jakarta. Hampir setiap Jumat aku ke Bandung dengan kereta. Nah kalau kamu ada perlu apa di Bandung?”

Obrolan kami  sering terpotong oleh penumpang lain yang lalu lalang menaiki gerbong, kepala kami berbarengan bergerak kanan dan kiri, seolah mengimbangi  irama detak jantungku yang berdegup tak karuan

Tiga jam berikutnya, kami lebih sering bertukar pandang dan melempar senyum sambil mengobrol melalui whatsapp, karena jarak tempat duduk kami . Sambil berjalan di stasiun Bandung dia terus bertanya ini dan itu sambil matanya lekat menatapku. Seperti ada yang ingin disampaikannya

Di dalam taxi online menuju rumah  kakakku, notifikasi ponselku berbunyi, segera kubuka aplikasi Whatsapp

Pinkan, maaf tadi aku nyontek namamu dari Luggage Tag yang ada di koper kecilmu. Jujur saja, aku terasa akrab dengan wajahmu, tapi lupa siapa namamu. Sekali lagi maaf sudah lancang menegur dan sok akrab.

Ah, sekarang sudah terjawab pertanyaan yang sedari Stasiun Gambir tadi melingkar-lingkar di otakku

Terima kasih sudah jujur Kang, aku bisa tidur enak karena rasa penasaranku sudah terjawab.

Kamu boleh panggil aku Bara saja, kalau belum mau memanggilku Aa (diakhiri emoticon smiley)

Wajah Dinar terbayang lagi, kali ini lebih jelas.

“Dinar, aku di Bandung, kamu besok ada waktu gak? Aku punya cerita seru, tentang Akang dan Aa di  Kereta Api” teleponku dibalas teriakan kegirangan Dinar di ujung yang lain.

*****

Sore ini kami duduk berdua di warung bajigur langganan kami di jalan Cilaki seputaran Gedung Sate

“Aduh teeh, kenapa wajahnya berseri-seri gitu sih? Auranya keluar banget sampai awur-awuran. Mencraaang. Buricak burinong asli. Teteh lagi jatuh cinta yaaa? Ayo cepetan cerita ah!”, masih selalu ceriwis.

Tape goreng, colenak dan gehu menjadi saksi obrolan panjang lebar kami sore itu, yang kubuka dengan satu kalimat, “Sekarang aku paham mengapa kamu suka sekali naik kereta api setiap ke Jakarta. Sepertinya kemarin sore  aku  sudah menemukan puzzle hatiku”

 

Tangerang Selatan, 29 Februari 2021

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.