Elegi Pandemi

Elegi Pandemi

"Maaf ya Mas. Terima kasih sekali bantuannya selama ini. Kita banyak tertolong. Tapi saya sudah tidak bisa memperpanjang lagi. Anggarannya sudah tidak ada. Pekerjaan yang lainnya butuh tenaga dokter. Harus saya alihkan." Misa berkata dengan muka penuh penyesalan. Ia menyodorkan amplop untuk pekerjaan beberapa minggu menyusun sosialisasi mengenai pandemi.

"Tidak masalah, Mas. Bisa membantu banyak orang supaya mengerti tentang pandemi sejauh ini sudah banyak amalnya kok."

Aku melangkahkan kaki perlahan ke pintu keluar. Trotoar di depan gedung Kementerian Kesehatan itu semakin lengang. Hanya ada dua sepeda penjual kopi dan makanan ringan. Kuambil bakwan dan air minum botolan dari keranjangnya dan bertanya bagaimana dagangan hari ini dari Ihsan yang menjadi langgananku sehari-hari.

“Yah, apa yang mau dijual hari gini. Cuma ada tukang ojek, Bang. Itu juga mereka lebih banyak nongkrong, terus tidur di emperan.”

Aku melihat ke seberang jalan. Trotoar penuh dengan tubuh-tubuh lemas tanpa harapan, sesekali mengecek layar handphonenya, berharap ada pesanan makanan atau mengantar barang. Aku menyetop taksi yang sedang berjalan pelan dan memintanya mengantarku pulang.

“Bapak penumpang pertama saya hari ini,” katanya kecut sambil membelah sepinya jalanan di tengah semburat jingga matahari tenggelam. Kulihat nama di dashboard mobil, tertulis nama Faisal.

“Sudah sore begini Pak Faisal baru dapat satu penumpang?”

“Iya, kalau tidak ada lagi dalam dua jam ke depan, saya pulang saja. Daripada malah tekor untuk beli bensin,” jawabnya.

Kulihat ke arah argo. Sampai di kosan nanti pun paling hanya mendapat Rp 36 ribu. Untuk membeli makanan seharian untuk keluarga pun tak akan cukup. Syukurlah perusahaan memberikan keringanan selama masa pandemi ini jika tidak mencapai target.

Sesampai di depan kosan, kusodorkan dua lembar lima puluh ribuan berwarna biru. Ia awalnya menolak.

“Tidak apa-apa, anggap saja rezeki Bapak hari ini. Doakan saja pintu rezeki saya juga terbuka untuk besok,” jawabku sambil tersenyum dan menutup pintu. Senyum Pak Faisal mengembang, ia mengucapkan terima kasih. Uang itu tak akan cukup banyak untuknya untuk bertahan hingga akhir bulan, juga bukan jumlah yang sedikit untukku untuk makan sehari-hari.

Selesai mandi, pandanganku menerawang ke luar, menyaksikan orang-orang tiduran dengan baju lusuh di jalanan. Bukan lagi untuk meminta-minta. Tapi memang mereka tidak punya lagi rumah untuk sekedar bernaung. Hilangnya pekerjaan membuat mereka terusir dan harus menerima keadaan tidur beratapkan langit, berkipas angin dari pembuangan knalpot.

Tapi hidup harus terus berjalan, di tengah bekapan masker yang semakin membuat pengap.

 

*Cerita ini bisa dibaca di ebook #CoffeeDepresso: The Stories. Silakan download di http://bit.ly/depressostories

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.