Petasan Cabe Rawit

Petasan Cabe Rawit

Petasan Cabe Rawit

Oleh: Melati ER

 

Der … der … der …. “Horeee!” teriak Dudu, sambil membuka kedua telinga yang semula ditutup dengan tangannya. Tak lama kemudian, Aceng, teman bermain Dudu mengambil serenteng petasan kurus dan pendek yang terikat satu sama lainnya. Setelah mengambil tiga pasang dari rentengan tersebut, lalu diletakkannya ke sebuah kaleng bekas susu indomilk yang sebelumnya sudah diberi sumbu panjang. Dia pun menyalakan apinya dan menangkupkan kaleng susu itu di atas tanah. Kedua anak seumuran enam tahun itu terlihat senang.

Kemudian Aceng berlari ke balik pohon mangga, sementara api sumbu menyala. Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara ledakan dalam kaleng … der … der … der. Kembali keduanya tertawa senang menyaksikan petasan cabe rawitnya meledak di dalam kaleng dengan suara nyaring.

Tiba-tiba tawanya terhenti bersamaan, mereka mendengar suara yang lebih ramai tidak jauh dari mereka berada. Kedua bola mata mereka menyelidik, telinganya dimajukan seolah berusaha mendeteksi kehadiran suara lain yang lebih heboh.

“Du, suara apa itu, seperti hujan letusan?” tanya Aceng dengan wajah serius.

Tanpa dikomando, Aceng melesat ke arah sumber suara, Dudu mengikutinya di belakang. Mereka pun tiba, ternyata sedang ada kendurian. Ada dua renteng panjang petasan dan agak sedikit besar ukurannya dari yang mereka punya. Sehingga ledakannya seolah tidak henti-henti.

“Ceng, kalau kita punya petasan agak gede dari petasan cabe rawit kita, pasti suara ledakan di kaleng lebih bagus, dan bukan nyaring seperti timpukan kerikil,”  ujarnya, sambil mata Dudu memandang lurus kearah petasan yang tergantung di depan rumah yang hajatan.

“Iya, sih! Tapi harganya juga mahal. Mending pake petasan cabe rawit aja, lucu. Suaranya juga nyaring,” ujar Aceng sambil mengusap matanya yang kelilipan debu.

Akan tetapi Dudu tidak menghiraukan ucapan Aceng, bahkan anak itu langsung berlari menuju tempat petasan yang sedang berbunyi ramai. Dia mengamati rentengan petasan yang belum terbakar karena menunggu giliran.

“Hmm, ternyata belum semuanya terbakar!” pekik Dudu dalam hati dengan suatu niat yang membawanya untuk berjalan semakin mendekat. Sementara orang-orang takut mendekat karena petasan itu sedang terbakar menimbulkan bunyi ledakan yang bersahutan. Dudu justru menyengaja mendekati tanpa rasa takut.

“Dudu! Kamu ngapain!” teriak Aceng.

Akan tetapi, Dudu tidak mendengar, masih asik memperhatikan pendar api yang meletup dari setiap petasan yang terbakar. Aceng yang ditinggal Dudu, akhirnya pulang ke rumah.

“Dari mana aja kamu!” tegur ibunya, “lihat itu tanganmu kotor, mandi sana terus makan!” serunya.

Aceng pun diam dan mengikuti apa yang diperintah ibunya. Setelah mandi dan berganti baju, anak itu duduk di meja makan bersama sang ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk Nana, adiknya Aceng.

“Bu, tadi aku sama Dudu main petasan cabe rawit pake kaleng, lucu suaranya.”

“Loh, itu kan bahaya kalau kena tangan bisa luka!” sahut ibunya.

“Engga bahaya, kok! Tuh tanganku gapapa,” ujar Aceng sambil memperlihatkan kedua tangannya.

“Syukurlah, tapi jangan pernah kamu pegang di saat sumbunya menyala, nanti meledak di tanganmu, tahu kamu?”

“Iya, engga,” jawab Aceng sambil menyendokan nasi ke mulut mungilnya.

“Tapi Bu, Dudu tadi tidak mau pulang, dia pengen punya petasan cabe rawit yang panjang dan agak besar,” lanjutnya.

“Mana ada, namanya petasan cabe rawit itu yang sebesar kelingking orang dewasa, kalau besar, namanya petasan biasa.”

“Oh, apakah itu berbahaya?”

“Sesuatu yang dibakar pastinya berbahaya. Bakar kertas, terus kamu pegangi kertasnya, panas, kan? Kalau tidak dilepas, bisa-bisa tanganmu kena luka bakar,” jelas Ibu, “apalagi kalau petasan, kan ada bubuk peledaknya. Makin berbahaya. Tidak hanya kena tangan panas, tetapi bisa melukai tangan, muka, jemari, dan lain sebagainya.”

            “Bahaya dong,” ujar Aceng sambil mengerutkan dahinya.

            “Tidak ada yang aman bermain dengan api itu, selain merugikan diri sendiri bisa juga merugikan orang yang ada di sekelilingnya.”

            Aceng terlihat memahami apa yang dikatakan ibunya barusan, dia ingat saat api dari petasan di kendurian meletup-letup dan semua orang menjauh, kecuali Dudu. Mungkin Dudu tidak tahu bila api itu berbahaya.

            Setelah makan, Aceng dilarang ibunya keluar rumah karena harus mengaji dengan Ustad Hasan.

            “Bu, Ustad Hasan sudah tiba!” teriak Aceng kepada ibunya yang masih sibuk dengan Nana, sang adik.  Setelah itu, Ibu menyiapkan buku mengaji putranya dan mempersilakan mereka memulai pelajarannya.

            Ibu pun berlalu meninggalkan keduanya.

            Sementara itu, Dudu masih di tempat acara kenduri ala Betawi. Dia masih penasaran dan ingin memiliki petasan tersebut. Ketika dia semakin mendekat.

            “Dek, jangan dekat-dekat, sini!” seru Ilham salah seorang anggota keluarga yang sedang hajatan. Namun, mata dan telinga Dudu hanya terfokus ke arah petasan, hingga tidak mendengar.

            Di saat yang bersamaan, tangan Dudu sudah nyaris meraih ujung petasan yang tergantung. Tiba-tiba dia mengadu dengan keras dan jatuh terduduk. Ilham yang melihat kejadian itu segera berlari untuk menolong Dudu yang kesakitan dan meraih tubuh kerempengnya, lalu digendong ke dalam rumah.

            “Ibu … hu hu hu.” Dudu menangis menahan sakit.

            Orang-orang yang melihat saat Dudu digendong, segera berlarian ingin tahu apa yang terjadi. Sementara Dudu menangis, Ilham dengan cekatan mengambil beberapa es batu dari kulkas untuk mengompres lukanya.

            Berita kecelakaan Dudu pun terdengar hingga ke rumahnya. Bu Lastri, sang ibu tergopoh-gopoh mencari obat untuk luka anaknya.

            “Ibunya Aceng, punya obat luka bakar, tidak?” tanyanya dari pintu belakang, yang kebetulan tetangganya itu sedang menjemur pakaian.

            “Wah, siapa sakit? Kebetulan tidak punya. Kompres dulu dengan es batu atau rendam di air dingin lukanya!” serunya sebagai pertolongan pertama.

            Bu Lastri yang mendengar itu, langsung berlari ke rumah yang sedang hajatan, “Terimakasih, Bu!” jawabnya sambil tergesa-gesa.

            Sesampainya di rumah yang sedang ramai itu, Bu Lastri langsung mencari anaknya. Ilham yang sedang mengobati luka Dudu segera menemui ibunya. Dia pun menjelaskan hingga tangan Dudu terluka bakar.

            Bu Lastri yang merasa terbantu oleh lelaki muda itu pun segera meminta maaf atas kenakalan Dudu dan berterimakasih sudah menolong. Setelah itu, membawa putranya ke klinik terdekat untuk memeriksakan luka bakar di tangannya.

            “Untunglah segera tertolong,” ujar dokter Lita.

            “Nah, Ibu kan sudah bilang jangan suka bermain petasan, bahaya!” kata ibunya Dudu serius. Dudu tertunduk sedih sambil menahan sakit. Setelah mendapat salep dan obat pereda rasa sakit. Keduanya pun pulang.

            Aceng segera ke rumah Dudu setelah mengaji, dia ingin melihat keadaan teman bermainnya.

            “Ceng, jangan main petasan. Ini akibat aku ceroboh,” ujarnya sambil memperlihatkan luka di tangannya.

            “Iya, tadi ibuku juga sudah melarang,” jawab Aceng sambil membawakan es mambo untuk sahabatnya. Dudu yang semula sedih, dia pun tersenyum menerimanya.

Sejak itu kedua anak itu tidak lagi bermain petasan.

 

---oo0oo---

 

Bionarasi:

Melati ER, penulis kelahiran Surabaya dan suka traveling serta menulis cerita anak ini, senang berbagi pengalaman masa kecil yang dituangkan ke dalam cerita sebagai tambahan pengetahuan bagi anak-anak maupun para bunda dan pengasuh anak. Bisa ditemui di IG@melati fortune atau FB@melatifortune.    

           

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.