Ibu Dari Tiga Anak
Ibu ini tidak bekerja, sehari-hari hanya mencari makan, mengasuh dan menyusui tiga anaknya yang masih kecil.

Ibu ini tidak bekerja, sehari-hari hanya mencari makan, mengasuh dan menyusui tiga anaknya yang masih kecil. Jangan tanya aku dimana ayahnya, aku tidak tahu, yang pasti ayahnya pergi meninggalkan mereka. Tiga anaknya masih kecil, anak yang pertama agak hitam dan pemalu, yang kedua lebih terang dan pemberani, dan anak yang ketiga lamban geraknya dan mempunyai mata yang agak biru. Ketiganya hidup di tempat yang sangat sempit, bahkan saat tidurpun harus berhimpitan, mungkin agar hangat begitu pikirku. Sesekali kulihat anaknya riang bermain, melompat kesana sini dan menjahili satu dengan lainnya, sungguh manis.
Sesekali kulihat sang ibu mondar mandir, sibuk mencari makan. Usianya mungkin sudah tidak muda lagi, tapi tekadnya untuk mencari makan untuknya dan tiga anaknya tidak bisa diremehkan, ia sangat giat. Pagi, siang, sore dan malam ia sedia berjalan kemanapun insting menuntunnya, barangkali hanya instingnya saja yang diandalkan untuk mendapatkan makanan. Ia tidak pernah mengeluh walaupun seharian berjalan kesana kemari tapi hanya mendapatkan makanan sisa, malah ia akan bersyukur “untung hari ini aku mendapat makanan, maka ini bisa memberiku nutrisi dan bisa menghasilkan susu untuk anak-anakku”, mungkin begitu pikirnya.
Saat-saat sulit juga pernah menimpa sang ibu dan anak-anaknya, memang hidupnya saja sudah sulit, tapi saat-saat yang lebih sulit tidak absen dalam kehidupan mereka. Saat sulit itu adalah saat sang ibu tidak menemukan makanan sedikitpun seharian. Bisa kalian bayangkan sulitnya seorang ibu yang berumur, lelah berjalan jauh kesana kemari, namun tidak sedikitpun makanan ditemukannya, dampaknya tentu anak-anaknya yang masih kecil itu tidak bisa menyusui karena tubuh sang ibu tidak mampu memproduksi susu dalam keadaan perut kosong.
Pernah sewaktu-waktu, karena iba, aku coba memberikan makanan pada mereka, awalnya sang ibu tidak menerimaku dengan baik, ia ingin menyerangku, pikirnya aku akan mencoba menyakiti anak-anaknya. Tentu saja awalnya aku cukup takut, namun lama kelamaan sang ibu memahami maksudku yang hanya ingin membantu. Sesekali saat memiliki makanan yang berlebih, aku mencoba berbagi dengan mereka, saat memberikan makanan pada mereka, sang ibu sering kali menatapku dengan tatapan yang tulus, seakan berbicara dengan tatapannya “terima kasih telah membantu kami”. Hanya tatapan dan gerak tubuh yang dapat ku gunakan untuk berkomunikasi dan aku menikmati komunikasi dalam sunyi ini.
Jangan tanya tentang rasa sakit pada sang ibu, ia sudah mengenalnya dengan baik. Dipukul tongkat, disiram air dan dikejar menggunakan sapu mewarnai hari-harinya, memang beberapa kali dapat dihindari oleh sang ibu, namun di lain kesempatan, ancaman itu mengenai tubuh mungilnya itu. Rasa sakit yang timbul tidak pernah dikeluhkannya, noda darah kering yang ada di pojok bibir kanannya terlihat jelas, seakan mengisahkan sakitnya hari-hari sang ibu saat mencari makan.
Barangkali kebahagiaan sang ibu sudah dipusatkan pada tiga anaknya, saat mereka berkumpul dan mencoba bercengkrama satu sama lain adalah momen paling bahagia dari sang ibu, belum lagi jika sang ibu berhasil membawa makanan yang enak untuk anak-anaknya, dan menyusui anaknya sebelum mereka terlelap dengan berhimpitan di celah sempit tempat mereka tinggal. Kebahagiaan terkadang sesederhana itu bagi induk kucing dan tiga ekor anaknya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.