Budak
Kisah ini terinspirasi dari sebuah mimpi.

Kami sibuk bekerja di perkebunan kapas, dibawah terik matahari yang sangat menyengat.
Keringat membasahi bajuku yang coklat, Kulit hitamku mengkilat dibalut keringat.
Aku lapar, tapi jam makan siang sudah lewat.
Dan makan malam masih lama.
Sayup sayup kudengar teriakan Obediah temanku.
Sudah berjam-jam dia dicambuk.
Sudah sering kami menyaksikan teman kami dicambuk. Sejak kecil aku sudah tahu apa yang akan terjadi bila kami tidak mematuhi para mandor dan tuan kami. Seharusnya kami sudah terbiasa. Tapi setiap kali selalu membuat darahku mendidih.
Apalagi Obediah adalah teman karibku sejak kecil.
“Sambu! Jangan lelet!, jangan melamun!, mau dicambuk kamu?” teriak John mandorku memperingati.
Sebetulnya John agak mendingan dibanding mandor mandor lain. Tidak langsung main cambuk, tapi dia selalu memperingati kami.
Aku mulai mempercepat gerakanku, aku cukup tahu diri.
Tak lama kemudian beberapa mandor menggiring Obediah dan mengantung tubuhnya ke atas pohon. Tubuhnya penuh luka bekas cambukan. Obediah mengerang.
Seorang mandor menyiramkan air garam ke tubuh Obediah. Obediah menjerit kesakitan.
“Minum, tolong ambilkan minum!” pinta Obediah.
Aku ingin membantunya, kuambil botol minumku.
Toby kakakku mencengkeram bahuku,“Jangan tolol, kamu mau ikut dicambuk?”
“Tahan dirimu Sambu!” kata Toby.
Aku terpaksa meneruskan bekerja, berusaha tidak mendengar teriakan dan erangan Obediah.
Tak lama kemudian kudengar tangis istri dan anak Obediah.
Aku tahu Obediah sudah menghembuskan napas terakhirnya.
Kuusap airmataku.
“Cepat!, jangan lelet!, jangan lemah Sambu, harus jadi laki laki tangguh!” teriak John, mandorku.
Sepertinya John agak mengerti sedikit kesedihanku.
Aku mempercepat lagi kerjaku.
Aku sangat lapar saat makan malam. Tapi selera makanku hilang memikirkan Obediah.
“Aku membawa dua apple pie buatanku!” kata Mary, kakak iparku.
“Ayo cobain Sambu!” kata Mary.
“Nggak, makasih, aku nggak selera makan.” jawabku.
“Udah biar aku aja yang makan jatah dia!’ kata Toby.
“Terima kasih sayang” kata Toby sambil mengecup Mary istrinya.
Keponakanku yang masih bayi menangis.
Mary segera menggendongnya.
Bayi itu berkulit putih. Semua orang tahu bahwa bayi itu bukan anak Toby.
Hanya Toby yang tidak sadar atau pura pura tidak tahu.
Toby terlalu sayang pada Mary dan cenderung memanjakannya.
Padahal buat budak seperti kami, bukan pada tempatnya untuk memanjakan istri.
Semua orang curiga bahwa bayi mereka adalah anak hasil hubungan gelap Mary dengan Tuan muda William. William adalah putra dari Tuan besar Henry, pemilik perkebunan ini.
“Bayiku berkulit putih karena keturunan aku yang berkulit terang!” kata Mary pada semua orang. Berusaha menjelaskan kulit putih bayinya.
Sebenarnya kulit Mary tidak putih. Tapi coklat muda. Lebih terang dari kami yang hitam pekat.
Semua orang tahu bahwa Mary adalah anak haram. Ibunya dulu diperkosa oleh Tuan Thomas, pemilik perkebunan di sebelah perkebunan Tuan Henry.
Dulu ibu Mary bekerja di perkebunan Tuan Thomas. Tapi setelah ibunya hamil, dia dijual ke Tuan Henry. Tidak ada pernikahan campuran, semua orang yang berkulit coklat muda adalah hasil perkosaan. Atau minimal hasil hubungan gelap budak dan tuannya.
Tapi mereka yang berkulit coklat muda biasanya sombong, karena mereka menganggap dirinya setengah kulit putih. Walaupun anak haram.
Mary juga tergabung dalam perkumpulan Paperback. Yaitu perkumpulan yang anggotanya harus berkulit lebih terang dari kantong kertas coklat. Alias anak anak blasteran.
Dulu Mary sebetulnya berharap bisa menikah dengan Tuan muda William.
Walaupun hal itu mustahil terjadi.
Semua orang tahu bahwa Tuan William selalu mengunjungi Mary setiap malam. Namun Tuan Henry menjodohkan William dengan Alice, gadis kulit putih, anak temannya.
Setelah Tuan William menikah, dia masih sering mengunjungi Mary diam diam.
Istrinya yang murka ingin menjual Mary. Tapi William melarangnya. Akhirnya Alice cuma bisa menikahkan Mary dengan Toby. Toby sangat bahagia saat itu karena diam diam Toby jatuh cinta pada Mary sejak lama. Walaupun Toby tahu bahwa Tuan William selalu mengunjungi Mary.
Aku tahu Tuan William masih mengunjungi Mary sampai sekarang. Tapi tidak sesering dulu.
Biasanya tuan William menyuruh Toby untuk pergi keluar kota untuk membeli sesuatu. Saat Toby pergi beberapa hari keluar kota, selalu dimanfaatkan tuan William untuk mengunjungi Mary.
Alice mungkin juga curiga, tapi tidak bisa berbuat apa apa. Selain judes pada Mary yang bekerja di dapur.
Dengan perlindungan Tuan William, sifat Mary menjadi sombong dan manja.
Dia berani melakukan hal hal terlarang. Seperti sering membawa pulang makanan dari rumah tuan kami. Toby senang karena sering mendapat cemilan enak. Tapi aku khawatir suatu saat aku dan Toby harus menanggung akibat perbuatan Mary.
Pernah Alice memarahi Mary yang ketahuan ingin membawa kue pulang. Tapi Tuan William membela Mary. Sehingga Nyonya Alice tidak dapat berbuat apa apa.
Selesai makan malam, Kakakku Toby sudah terlelap.
Mary menghampiriku.
“Sambu, aku mau minta tolong!” katanya.
“Aku memesan sebuah gaun cantik seperti yang dimiliki Nyonya Alice. Tolong kamu ambil gaun itu di luar kota. Ini alamatnya.” katanya sambil menyodorkan sebuah kertas.
“Kamu sudah gila, kamu budak mau pakai gaun seperti nyonya?, Dari mana kamu punya uang untuk beli gaun mahal?” kataku.
“Stt, jangan keras keras, aku nggak mau Toby tahu. Itu hadiah dari tuan William, dia yang beli. Tapi tuan William nggak bisa mengambilnya sendiri. Takut pemilik toko curiga dan lapor pada istrinya.” kata Mary.
“Mau kau pakai kemana gaun seperti itu?” tanyaku.
“Ke acara pernikahan kakakku Isabella di gereja.” kata Mary.
Isabella adalah anak dari Tuan Thomas dari istri resminya.
Walaupun mereka tidak pernah mengakui Mary, tapi Mary selalu bangga menjadi bagian dari keluarga mereka. Sedikit halu begitu.
“Apa nanti kamu nggak menimbulkan masalah pakai gaun mahal begitu?, Mana boleh budak pake gaun seperti itu?” tanyaku.
“Ah kamu tidak usah memikirkan hal itu, itu urusanku. Urusanmu hanya membantuku mengambilnya!” kata Mary.
“Itu jalur berbahaya, jalur terlarang. Banyak Klu Klux Klan di situ!” kataku.
“Aku yakin kamu pintar untuk menghindari mereka!” kata Mary sambil tersenyum manis.
Mungkin dia mengira kecantikannya bisa meluluhkan aku. Tapi aku bukan Toby atau Tuan William.
“Nggak, aku nggak mau!” kataku.
“Ayolah Sambu, tolong bantu aku. Aku sudah bermimpi ingin memakai gaun indah seperti itu sejak aku kecil. Tolong wujudkan impianku.” pintanya.
“Aku nggak mau, aku nggak mau mempertaruhkan nyawaku untuk gaun konyol itu!” kataku.
Mary cemberut.
“Kalau kamu tidak mau, aku akan bilang ke Toby dan Tuan William, kalau kamu berusaha memperkosa aku!” ancam Mary.
Aku terperanjat. Mary berani mengancam ingin memfitnah aku.
Toby mungkin tidak akan melukai aku walaupun dia cemburu.
Tapi Tuan William akan sangat marah. Aku tidak mau dicambuk.
Akhirnya terpaksa aku menuruti keinginan kakak iparku Mary yang manja itu.
Aku mengendarai kereta kuda ke luar kota, mendatangi toko baju itu.
Kereta kuda ini juga hasil pinjaman dari kusir yang disogok Mary.
Kalau ketahuan bisa bahaya. Tapi bila Master William tahu mungkin dia akan melindungi Mary.
Lain halnya bisa istrinya Alice yang tahu.
Susah payah aku mencari rute yang aman agar aku tidak ditangkap KKK.
Akhirnya aku tiba di toko itu dan berhasil mengambil bingkisan baju Mary.
Di perjalanan pulang aku tidak seberuntung sebelumnya.
Segerombol pria berkulit putih menghadangku.
Aku terpaksa turun.
“Mau ngapain kamu lewat sini? Apa kamu tidak tahu kalian dilarang lewat sini?, Cuma kulit putih yang boleh lewat sini!” kata seorang pria.
“Maaf” kataku.
Mereka mengeledah kereta kudaku.
Mereka segera menemukan kotak berisi gaun mahal itu.
“Siapa tuanmu?”
“Tuan Henry Duncan !” kataku.
“Gaun untuk siapa ini?, Untuk istri tuan Henry atau untuk menantunya Alice?” tanya salah seorang pria yang rupanya mengenal tuanku.
Aku berpikir sejenak. Aku harus bilang apa?
Bila kusebut Alice, Alice lebih galak dari istri tuan Henry. Kalau Alice tahu aku berbohong, aku bisa dicambuk.
Tapi bila kusebut istri tuan Henry, dia terlalu tua dan gemuk untuk memakai gaun seukuran itu.
Nanti ketahuan bohongnya.
“Buat Mary!” Seorang pria itu membaca nama yang tertulis di box itu.
“Mary? siapa Mary, mereka kan tidak punya anak perempuan?” tanya seorang pria.
“Mary, budak berkulit terang, anak haram Thomas, tetangga mereka!” kata pria lain.
“Wah hebat budak bisa beli baju mahal, kalian nyolong uang tuanmu ya?”
“Kamu kira budak diperbolehkan memakai gaun seperti ini?, Mau ngimpi jadi nyonya?”
“Kamu bersekongkol dengan Mary melanggar hukum ya!” teriak seorang pria.
Aku tidak tahu harus berkata apa.
Aku tidak mau melanggar hukum, tapi aku juga diancam kakak iparku kalau tidak membantunya. Serba salah.
“Kamu sudah melanggar banyak peraturan. Sudah mencuri!, Berani memakai gaun terlarang!, Dan Kereta kamu masuk jalur terlarang!”
“Saya tidak mencuri, sumpah demi Tuhan!” kataku.
“Diam kamu!”
Mereka menyeret aku ke semak semak. Aku diikat ke pohon besar.
Mereka melucuti pakaianku dan mulai mencambuki aku.
Aku menjerit-jerit kesakitan.
“Ampun tuan, ampun!” teriakku.
Aku teringat Obediah temanku yang baru saja meninggal beberapa hari yang lalu.
Maafkan aku Obediah, aku tidak bisa membantumu.
Sebentar lagi aku akan menyusulmu Obediah.
Segala perasaan bercampur baur saat itu.
Aku benci Mary yang manja dan memaksaku melanggar hukum.
Aku marah pada mereka yang mencambukku.
Aku marah pada keadaan, aku benci perbudakan.
Aku marah pada diriku sendiri. Sebagai seorang pemuda, aku lemah, tidak berdaya.
Hanya tubuhku yang besar tegap, tapi aku tidak punya harga diri sama sekali.
Tuhan, tolonglah aku. Mengapa nasibku begini!, jeritku dalam hati.
Bila aku terlahir kembali, Aku tidak mau jadi orang Afrika, aku tidak mau jadi laki laki.
Berjam jam tubuhku masih dicambuki.
Hingga akhirnya aku tak kuat lagi. Hingga napasku terhenti.
Suara alarm membangunkan aku.
Kubuka mataku, kumatikan iphone-ku.
Wuih ternyata aku bermimpi.
Aneh amat sih mimpinya. Aku kan wanita Asia, kenapa bisa bermimpi jadi Pria Afrika?
Jadi budak lagi!, Di abad silam pula.
Kenapa bisa begitu?
Padahal aku nggak mikirin hal seperti itu.
Nggak nonton Film atau baca buku, yang mengingatkan aku dengan jaman perbudakan. Darimana asalnya mimpi itu?
Mungkinkah itu past live aku?
Apakah reinkarnasi itu mungkin?
Segera kusingkirkan pikiran itu.
Aku ini Kristen. Tidak boleh percaya reinkarnasi.
Aku bangun mengambil minum didapur.
Kulihat tumpukan piring kotor yang belum kucuci dari kemarin.
Gara gara kecanduan drama Korea, kemarin nonton 10 episode seharian, jadi malas cuci piring.
Kulihat masih jam enam pagi. Masih ada waktu, sebelum kuliah.
Aku memasak sarapan pagi sambil mencuci piring.
Agak tumben sebenarnya. Biasanya aku nggak pernah cuci piring pagi pagi.
Aku baru cuci piring kalau sudah tidak ada piring bersih yang tersisa.
Maklum terbiasa manja, dulu di Indonesia kan ada pembantu.
Apalagi masak. Paling aku makan buah atau roti panggang aja untuk sarapan.
Tumben rajin hari ini.
Mungkin karena cuci piring sekarang terasa ringan, dibandingkan jadi budak di perkebunan kapas.
Sambil mencuci piring, pikiranku kembali terbayang mimpi buruk semalam.
Tapi kalau dipikir, seandainya itu past life aku, ada satu permintaanku yang terkabul.
Aku bukan orang Afrika lagi, Bukan laki laki lagi.
Hus, jangan berpikir reinkarnasi. Dilarang!
Kulahap sarapan sederhanaku, omelette dan kentang goreng. Nikmat sekali.
Jauh lebih nikmat dari makanan budak di perkebunan kapas.
Lalu aku bersiap-siap berangkat kuliah.
Kulihat bayanganku di cermin.
Kaos dan Jeans murahku terlihat bagus, dibandingkan bajuku saat jadi budak. Aku tersenyum.
Aku berjalan melenggang menuju halte bis.
Bis di sini datang setiap 30 menit sekali.
Biasanya aku kesal kalau lama menunggu bis.
Tapi hari ini aku bahagia. Tidak ada KKK yang akan menghadang aku.
Aku bebas pergi ke mana saja.
Ah senang rasanya, aku bukan budak lagi!
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.