Pertemuan Dendam

Pertemuan Dendam

 

PERTEMUAN DENDAM

Pulau Danauwan, 2018

Itty menemukanku saat mengeduk pasir untuk menyaring air laut agar tawar dan bisa diminum.
Sebuah cara kuna yang membuatku langsung tahu bahwa ia bukan perempuan sembarangan, seperti juga ketika matanya yang membola dan berkerlip senang ketika melihatku. Perempuan itu tahu, aku istimewa.

"Apakah ada peradaban manusia di sini?" gumamnya sambil mengelusku penuh perhatian.

Aku terpesona pada caranya memandangku penuh ketertarikan, juga pada separuh bibir bawah yang tanpa sadar ia gigit saat kerut bingung muncul di keningnya yang tinggi dan indah.
Kebiasaan yang sama persis dengan Maharati.

"Ada. Pulau ini adalah saksi sejak puluhan abad silam sebuah kerajaan besar pernah berjaya," jawabku penuh semangat. 

Ah, betapa aku ingin menceritakan sejarah yang telah lama terkubur dan mati. Sayang sekali bahasa kami berbeda. 

"Aku akan mencari tahu asal-usulmu. Aku yakin ada kisah besar di tempat ini," katanya penuh gairah ketika memasukkan aku dalam saku bajunya. Degup jantungnya selayak kendang tarian mistis yang membuatku ingin menggeliat dalam gerak ritmis yang lama kurindukan.

Maharati, kaukah itu yang telah hadir kembali dalam tubuh Itty?

********

Pulau Danauwan, abad 14 M

"Minum dulu, Kakah¹"

Maharati mengangkat kepala kakeknya, berusaha meminumkan ramuan yang diberi Rumbun Djata, balian yang ikut dalam rombongan kecil jukung-jukung pelarian mereka.

Usak Jawa, penyerangan dadakan Empu Djatmika dari Majapahit membuat dinasti Nan Serunai yang telah berdiri puluhan abad runtuh. Terberai dalam kelompok-kelompok pelarian kecil bagi yang selamat dan tak jadi tawanan. Maharati ada di salah satu rombongan itu. Ayahnya, panglima perang Arai tewas dalam pertempuran. Ibunya entah di mana. Mereka terpisah saat berusaha menyelamatkan diri. 

Ia menemukan tubuh kakeknya yang terluka parah di antara mayat bergelimpangan di hutan, bersusah payah menyeretnya ke tepi sungai dan memasukkannya ke jukung lalu dengan sekuat tenaga mengayuh dayung menjauh. Meninggalkan tanah kelahiran yang telah berkobar jadi api di belakangnya.

"Bagaimana kakekmu, Rati?"

Maharati mendongak. Matanya sekelam malam saat memandang Ampong Hanyi.

"Buruk. Rumbun Djata akan mengadakan tandik balian² malam ini."

Ampong Hanyi menjatuhkan pantat di tanah berpasir di sebelah Maharati. Ragu-ragu dielusnya kepala gadis itu.

"Jangan takut. Kami semua akan menjagamu. Aku terutama."

"Aku bisa menjaga diriku, Hanyi. Apa kau lupa aku ini putri panglima?" wajah Maharati sekeras besi ketika berkata-kata, " aku sudah siap bila kakah pun meninggal. Yang kupikirkan adalah bagaimana aku bisa membalas dendam pada keparat yang sudah meruntuhkan kerajaan kita."

Ampong Hanyi terdiam. Ia tahu tak ada gunanya mendebat bila tunangannya itu sedang marah. Diraihnya tangan gadis itu, menyematkan sebuah benda dalam genggamannya.

"Aku ingin memberimu sekeranjang nilam, ratusan iwek³ dan sebuah balai besar untuk hadiah pernikahan. Tapi yang tersisa hanya ini. Simpanlah."

Maharati memandang benda di telapak tangannya dengan heran.

"Apa ini?"

"Namanya peniti perak. Ada satu hal belum kuceritakan, aku punya garis keturunan Jawa dalam darahku, Rati. Itak⁴ buyutku adalah orang Majapahit. Ia dihadiahkan pada kakahku saat diundang mengobati putera raja di sana.
Benda itu salah satu perhiasan baju dari tempat asalnya."

"Apa? Ada darah musuh dalam dirimu? Hanyi, jauh-jauh kau dari aku!"

"Rati!" 

Ampong Hanyi beranjak akan mengejar Maharati ketika Rumbun Djata muncul dari kegelapan. 

"Biarkan gadis itu," bisiknya dengan suara dalam lalu menggamit lengan Ampong Hanyi dan membisikkan sesuatu. Mereka lalu duduk bersisian sementara Rumbun Djata berkata-kata. Ampong Hanyi tercekat. Matanya nanar memandang ke arah Maharati berlari tadi.

Maharati mengawasi api yang bergolak di depannya dengan muka dingin. Sejak kecil ia telah diajarkan untuk menyembunyikan riak emosinya dalam-dalam.
Upacara ijamme, pembakaran tulang belulang untuk mengantar arwah ke surga sedang dilaksanakan. 

Ampong Hanyi yang berjanji membuktikan kesetiaan dan membasuh darah musuh yang mengalir dalam tubuhnya dengan membawakan kepala Empu Djatmika sebagai mas kawinnya untuk Maharati, pulang dalam keadaan tak bernyawa. Beruntung dalam hujan panah dan kejaran pasukan Dipa, kerajaan baru yang didirikan Empu Djatmika, Menteng Nanjan, sahabat yang menyertainya dalam penyerangan mereka berhasil membawa mayatnya meloloskan diri kembali ke pulau.

Bau tulang gosong memenuhi udara ketika Maharati meletakkan peniti peraknya di tumpukan tulang itu. Menungguinya dengan takzim sambil merapal mantra hingga tinggal abu tersisa. Ia memungut peniti yang anehnya justru jadi berkilat itu dari gundukan abu lalu menyematkan ke kain penutup dadanya.

"Kau sudah di sini, Hanyi," bisiknya penuh kasih sembari mengelus peniti itu, "bila pun di kehidupan ini kita tak bisa bersama dan dendam tak bisa terbalas sekarang, aku bersumpah akan mencari cara agar kelak kita bisa bertemu dan membunuh keturunan Empu Djatmika."

********

Jakarta, 2020

Malam itu saat mendengar kakahku, Rumbun Djata, menguraikan ramalannya, hatiku hancur. Balian kehormatan suku kami itu bisa melihat jauh ke depan. Ia sudah tahu bahwa aku akan mati dalam penyerangan ke negara Dipa. Maka kutemui Maharati yang masih marah. Menceritakan isi ramalan itu sekaligus menawarkan rencana agar kami bisa terus bersatu. Ya, kakahku mengajarkan sebuah mantra kekal. Jiwa kami tak akan dibawa enggang ke alam abadi sebelum menyelesaikan misi. Maka di sinilah aku sekarang. Berkurung diri dalam sebuah peniti perak, menempel erat di dada kekasihku, mendengarkan degubnya yang tak berhenti melagukan rindu, menyertainya hingga degub itu terhenti, lalu menunggu. Sampai kelak Maharati yang telah menemukan wadag  baru untuk rohnya kembali menemukanku.

Itty mengecupku penuh rasa sayang.

"Jadi kau adalah kekasihku di kehidupan lalu. Tak sia-sia aku mengumpulkan data kesana kemari dan mendalami ilmu yang sama sekali asing. Baru sekarang kutemukan jawab kenapa jiwaku selalu gelisah. Aku Maharati yang terperangkap dalam tubuh Itty."

Gadis itu mengoles ujung penusukku dengan cairan berbau anyir lalu mencocohkan lembut ke foto dua lelaki yang menempel di meja riasnya.

"Alangkah lucunya sebuah kebetulan. Kuwas dan Baudh yang terdampar bersamaku di pulau tempatku menemukanmu dulu ternyata keturunan Empu Djatmika. Kalau saja aku tahu, sudah kubunuh mereka di sana. Lelaki lemah yang cara mencari air minum pun tak mampu. Tapi tak apa Hanyi, ini justru akan membuat balas dendam kita makin menyenangkan. Aku akan membunuh mereka pelan-pelan, membuat mereka terperangkap dalam permainan yang membingungkan."

Itty meletakkanku di meja rias. Lalu duduk di tepi ranjang. Dari tempat kami masing-masing, bisa kami lihat foto Kuwas dan Baudh mulai menitikkan darah.

Sambi 5 Juni 2020

catatan kaki
1. kakah : kakek
2. tandik balian : upacara pengobatan dengan cara menari
3. iwek : babi ternak
4. itak : nenek

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.