Sekolah Tanpa Makna

Beberapa teman saya memutuskan unschooling untuk anak-anaknya, dan memilih mendidik sendiri anak-anaknya sendiri (homeschooling). Ketika saya tanya apa alasannya, rata-rata karena merasa tidak puas dengan model pendidikan di sekolah

Sekolah Tanpa Makna

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Beberapa teman saya memutuskan unschooling untuk anak-anaknya, dan memilih mendidik sendiri anak-anaknya sendiri (homeschooling). Ketika saya tanya apa alasannya, rata-rata karena merasa tidak puas dengan model pendidikan di sekolah, ditambah lagi ketidaksesuaian visi misi sehingga memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya.

Ada juga yang punya alasan karena anaknya berkemampuan khusus, sehingga perlu mendapat stimulus dan pendampingan ekstra, ada kekhawatiran jika tetap dibiarkan belajar di sekolah menjadi sasaran bullying anak-anak yang belum terbangun konsep dirinya dengan baik, jadi ia merasa sekolah bukanlah tempat yang cocok bagi tumbuh kembangnya.

Selama masih punya alasan yang dikemukakan, saya kira sah-sah saja. Hanya saja yang jadi pertanyaan saya adalah kenapa sekolah yang mestinya menjadi tempat yang menumbuhkan tidak mendapatkan trust atau kepercayaan, sehingga memilih unschooling?

Meski unschooling baru dilakukan sebagian kecil saja dalam masyarakat kita, saya kira ini adalah sebuah langkah berani, sebuah terobosan orangtuanya dengan memilih metode yang tepat untuk pendidikan anaknya. Karena banyak juga yang sebenarnya mengalami keresahan yang sama tetapi tidak bisa menentukan sikap untuk memilih model pendidikan yang tepat untuk anaknya.

Saya pernah mengadakan sebuah survey sederhana. Satu pertanyaan kunci yang saya sampaikan kepada 130 responden adalah, “Apa tantangan terbesar yang dihadapi orangtua dan guru saat mendidik anak?” Jawabannya tidak mengejutkan, bahkan semakin menguatkan. Akhlak menjadi tantangan terbesar dalam mendidik anak zaman sekarang. Ia menempati 54%. Kemudian disusul dengan masalah komunikasi sebanyak 25 %, pola asuh keluarga sebanyak 13% dan yang terakhir pengendalian diri sebanyak 8%. Persoalan akhlak, komunikasi, parenting, dan pengendalian diri para guru dan orangtua inilah yang mestinya menjadi perhatian penting bagi sekolah.

Saya percaya, semua sekolah atau lembaga pendidikan pasti memiliki tujuan mulia. Hanya saja tidak semua mampu merealisasikan semua tujuan mulia itu dengan baik. Maka solusinya adalah mengembalikan kepada tujuan mendidik itu untuk apa? Membangun karakter itu pastinya menjadi tujuan semua lembaga pendidikan. Tanpa harus ada embel-embel pendidikan karakter, sekolah mestinya memahami bahwa didirikannya sekolah tujuan utamanya adalah ini.

Belajar dengan makna, bisa menjadi ikhtiar untuk kembali menemukan esensi tujuan pendidikan. Kita harus paham benar apa sebenarnya yang dibangun pada diri seorang guru ataupun orangtua, dan anak-anak. Tidak cukup hanya tahu apa saja yang dibangun, tetapi juga tahu bagaimana caranya membangunnya.

Prinsip mendidik (belajar) dengan makna adalah sekolah punya tujuan apa yang dibangun pada anak-anak.

Di sekolah yang saya kelola misalnya, kami punya tujuan membangun 18 sikap, 7 kecerdasan, dan 7 essential life skills. Dalam membangun tujuan itu, tools yang kita gunakan yakni menggunakan curricular domain yang meliputi perkembangan afeksi, kognisi, bahasa, sosial, psikomotor, dan estetik. Keenam domain ini semuanya harus dibangun secara bersamaan.  Setiap domain memiliki tujuan-tujuannya yang berbeda tapi saling terkait satu sama lain.

Selama ini banyak pendidikan yang konsentrasinya hanya pada satu domain kognisi, jadi lebih bangga jika sekolah mendapatkan koleksi banyak piala yang dapat menjadi pemanis etalase di depan sekolah. Padahal kita tahu yang berkesempatan untuk mengoleksi piala hanya sebagian kecil saja, sementara masih banyak anak-anak lain yang sebenarnya butuh juga untuk digali potensinya. Sementara masih banyak karakter yang belum tergali dan terprogram dengan baik. Mulai dari kesulitan memaknai karakter itu sendiri, bagaimana membangunnya, dan bagaimana menginternalisasikannya dalam kehidupan.

Jika makna sudah terbangun pada diri anak, dia memahami tujuan sekolah itu untuk apa, yang mesti ia lakukan adalah mengajaknya berteman, peduli, sayang teman, empati, dan mensupport untuk saling tumbuh bersama. Jika makna sudah terbangun dia pasti akan berpikir dampak apa yang terjadi jika saya melakukan hal itu?

Inilah sekilas persoalan yang terjadi di dunia persekolahan kita. Saya kira masih banyak persoalan lain yang perlu mendapat prioritas. Kembalilah pada tujuan, belajar dengan makna. Jika tetap bertahan pada sekolah tanpa makna, maka siap-siap saja sekolah hanya akan tinggal nama.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.