Ayahku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama perempuan, yang kedua laki-laki. Dua-duanya menikah dengan dokter. Sedangkan Ayah menikah dengan… Ibuku.
Untuk tak membingungkan, aku akan menyebut Ayahku diringi nama panggilannya. Ayah Ot. Karena, suami dari kakak perempuan Ayah Ot itu kami panggil Ayah juga. Tepatnya, Ayah Dang; yang kalau dalam bahasa Jawa jadinya Pak De.
Pada tahun terjadinya cerita ini, 1982, kakak perempuan Ayah yang kami panggil Ibu Dang, sudah lama meninggal. Ayah Dang saat itu juga sudah sangat uzur dan sakit-sakitan. Beliau dulunya adalah dokter ahli paru-paru, dan profesor di FK UGM. Tapi, entah kenapa saya tak ingat lagi, Ayah Dang kemudian berada dan dirawat di Semarang. Meski rumah di kompleks Bulaksumur, Yogyakarta, saat itu masih ada.
Pada suatu hari, Ayah Ot dan saya berangkat dengan travel ke Semarang untuk menengok Ayah Dang. Saya juga sudah tak ingat lagi sebab mengapa saya yang diajak. Mengapa Ayah Ot tak pergi dengan Ibuku. Apakah karena Ibu, yang adalah dosen dan penerjemah, sedang ada deadline? Barangkali itu sebabnya.
Juga, mengapa Ayah Ot tak berangkat sendirian saja? Karena, kalau sekedar menemani, tak ada perlunya saya ikut. Apapun, saya sangat senang bisa ikut ke Semarang. Meski bepergian dengan travel selalu bukan hal yang menyenangkan buat saya, perjalanan ini adalah perjalanan yang menginggalkan kesan yang mendalam pada diri saya. Yang takkan saya lupakan sepanjang umur. Karena, merupakan kesempatan terakhir saya untuk bertemu dengan Ayah Dang tercinta.
Setibanya kami di Semarang, kami langsung bertemu dengan Ayah Dang. Beliau yang duduk di kursi roda dan sudah sulit berkomunikasi, menangis bahagia saat melihat kami. Mungkin, itu sebabnya kenapa Ayah Ot membawa saya. Supaya Ayah Dang bisa bertemu dengan sebagian dari keluarga kami. Tidak hanya dengan Ayah Ot sendiri.
Ayah Ot dan aku turut meneteskan air mata. Kupeluk dan kucium pipi Ayah Dang yang dari kecil selalu kuanggap sebagai ayahku sendiri juga. Sang Ayah yang berada di Yogyakarta, demikian aku selalu berpikir tentang Ayah Dang. Liburan ke Yogyakarta dulu selalu menyenangkan dan menjadi kesempatan yang kutunggu-tunggu.
Kami tak lama berada di Semarang, hanya dua malam. Berhubung Ayah Ot tak bisa terlalu lama meninggalkan pekerjaannya. Seperti ketika kami datang, kami pulang juga diantar oleh tangisan Ayah Dang. Ayahku yang satu itu sepertinya memang sudah merindu dan menunggu perjumpaan dengan adik ipar bungsunya. Perpisahan ini menjadikannya sedih kembali. Beliau meninggal tak lama setelah kunjungan kami. Sedih, tapi saya merasa ada kebahagiaan karena sudah sempat berpamitan.
Sambil menggerutu dalam hati sebab sudah harus pulang kembali ke Jakarta, kulakoni perjalanan dengan travel yang tak nyaman itu. Seperti berangkatnya, perjalanan berlangsung malam hari. Perjalanan pulang ternyata lebih parah, karena mengalami macet yang lama setelah melewati perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Waktu itu belum ada jalan tol, sehingga jauh lebih setengah mati rasanya. Aku sulit untuk tidur. Kurasa Ayah Ot mengalami situasi yang sama, dan tampak memaksakan diri untuk tidur. Beliau perlu istirahat itu, sebab harus langsung berangkat kerja sesampainya di Jakarta nanti.
Tiba di rumah, sekitar hampir pukul tujuh pagi, tak terlihat siapapun. Rumah kosong dan sepi. Abangku sepertinya sudah berangkat ke kampus, mungkin dia ada kuliah pagi. Adik bungsu yang masih kelas 2 SMA, pasti sudah berangkat sekolah. Adikku yang satu lagi kuliah di Bandung, jadi tak diharapkan ada di rumah kami.
Ibu tak terlihat di tempat biasanya beliau berada, di sudut kerjanya. Mungkin sedang baca buku di kamar.
Tapi, rasa sunyi di rumah yang sepi ini, terasa begitu mencekam. Aku, dan mungkin juga dirasakan oleh Ayah Ot, bagai masuk ke dalam ruang hampa yang menekan dada. Sesak. Bagai ada satu kengerian yang siap menerkam kapan saja. Perasaan seperti ini penah saya alami lagi beberapa tahun kemudian. Ketika membaca buku Pet Sematary karangan Stephen King yang menegangkan itu.
Tiba-tiba, pintu kamar tidur ayah dan ibu terbuka. Ibu keluar. Wajahnya tampak lelah, tapi menjadi lega ketika melihat kami. Ibu duduk dengan cara seperti menjatuhkan tubuhnya di kursi pada meja makan kami yang bulat dan besar itu. Berbicara kepada Ayah Ot dalam bahasa Belanda, yang tentu saja tak kumengerti, dan lalu Ibu mendadak menangis tersedu-sedu. Masih sambil berbicara dalam bahasa Belanda dengan terbata-bata.
Ayah mendekati dan memeluk Ibu.
"Ada apa!?" tanyaku panik.
"Taufik kecelakaan," kata Ibu masih tersedu-sedu.
Taufik itu adik bungsu saya.
Rasanya bagai disambar petir, kedua kuping saya terasa pengang. Jadi, ini makna dari kengerian yang tadi kurasakan. Aku tak tahu harus berkata apa. Hanya mampu terduduk kaku, mendengarkan Ibu yang bercerita dalam dua bahasa. Indonesia dan Belanda. Kujadi tahu, bahwa abang tak di rumah karena semalam menunggui Taufik di rumah sakit. Sepertinya dia akan langsung ke kampus dari situ.
Kecelakaan itu terjadi sehari sesudah Ayah Ot dan saya berangkat ke Semarang. Pulang sekolah, Taufik ada keperluan dengan temannya yang tinggal di Rawamangun. Ia pergi mengendarai motor bebek. Masih pakai seragam sekolahnya, tanpa helm karena memang belum ada aturan ber-helm, dan memakai sandal jepit.
Dalam perjalanan pulang, di depan akses masuk ke lapangan golf Rawamangun, terjadi sedikit kemacetan. Taufik yang tak sabaran, mengambil jalan di sebelah kiri antrian mobil. Tak sadar bahwa ada mobil yang akan belok ke kiri, untuk masuk ke area lapangan golf. Ia pun terhantam.
Jiwanya tak terancam. Hanya luka-luka. Telapak kaki kanannya yang paling berantakan. Sampai harus direkonstruksi yang diperkuat dengan kawat besi yang tak kecil. Ujung besi itu sampai mencuat keluar di antara jari-jari kakinya.
Ibu memutuskan untuk tak mengabarkan kecelakaan itu ke kami di Semarang. Karena, Ibu tak mau mengganggu pertemuan penting antara Ayah Dang dan Ayah Ot. Ibu tahu betul, apabila kabar itu sampai di telinga Ayah Ot, pasti kami akan bergegas kembali ke Jakarta.
Ibu memilih untuk menanggung beban itu sendirian, sambil menunggu kami pulang. Memang ada abang saya yang sangat membantu, dan dengan baik menopang emosi Ibu. Tapi, yang merupakan belahan jiwa Ibu itu kan Ayah Ot.
Duka tak terucapkan Ibu itulah yang rupanya tadi menyambut kami pulang. Enerji yang dahsyat sekali! =^.^=