Rindu Mbak Tin
Aku Gak Mudik

“Cari apa Uwak maghrib – maghrib?” suara mbak Tin yang ramah penuh tawaran pertolongan pada Uwak Takun tetangga sebelah kami yang membungkuk – bungkuk dekat pohon cengkeh di halaman samping rumah. Kami berdua berdiri di samping lubang jendela kamarku, kepalaku hanya muncul sedikit saja walau sudah berjinjit.
“Ayam Uwak Tin, sering banget gak pulang kalau maghrib, laju ngilang bae dio.. Sudah berapa ekorlah dalam bulan ini” Jawab perempuan agak renta yang selalu berdaster batik lengan pendek, tangannya yang kurus kecil sesekali melipat bagian bawah dasternya ke depan ke arah perut.
Aku menggigit pelan bibir bagian bawahku sambil mendongak memandang bingung pada mbak Tin yang lalu dengan luwesnya berkata ,” Nanti lah Wak, kalau Tinah lihat ayamnya, Tinah tangkap dan antar ke kandang rumah Uwak”. Selesai berkata itu, dengan melotot setengah berbisik dia padaku, “ Dieeem…! Ayo masuk ngapain anak kecil kok bediri di pinggiran jendela maghrib – maghrib. Pamali!”
Uwak Takun berlalu, aku menyingkir dari bibir jendela kayu bergaris – garis itu, lalu melongok ke kolong ranjang besi kami. Masih sedikit bergerak – gerak ayam yang baru saja disembelih mbak Tin 10 menit lalu itu. Sambil duduk ndeprok di lantai semen dingin, berpindah – pindah pandanganku antara Jendela kayu, ayam lemas dan mbak Tin pengasuhku yang berbadan subur. Tampak lehernya masih menjulur panjang memastikan Uwak Takun sudah berjalan pelan menuju rumahnya.
Sudah ayam kedua dalam bulan ini yang tak bisa pulang karena rabun saat sore , lalu akhirnya bertengger di dahan pohon cengkeh kami. Dua kali juga dalam bulan ini terhidang ayam goreng di meja makan kami. Biasanya papaku lalu bertanya,” Wah masih banyak persediaan duit belanjamu rupanya ya Tin? Cukup untuk beli ayam”. Pasti aku melotot tegang menunggu apa jawaban mbak Tin ku. Kadang dia menjawab dengan senyum – senyum mesem, atau bisa juga seceplosnya , “Makan ajalah paa, jangan banyak pertanyaan”. Alis papaku terangkat, ujung bibirnya turun membuat lengkungan. Mbak Tin memang sudah dianggap anak oleh mama papa ku, sehingga dia bebas memanggil mereka dengan sebutan mama papa.
“Ayo jangan bengong, kita masak air dan bantu cabutin bulu ayam yaa, kamu hobi khan ngebersihin ayam” aku pun melompat semangat bergegas ke dapur mengikuti dari belakang lambaian rok mbak Tin yang kadang baunya asem itu
*
Itulah salah satu pelajaran yang diberikan pengasuh sekaligus asisten di rumah kami, saat aku masih kecil. Sejak berusia SD mbak Tin sudah ikut kami, disekolahkan oleh orang tuaku sampai lulus SMA seperti dua orang kakaknya yang sekarang sudah lulus SMA lalu bekerja. Mamaku juga yang urus sampai mereka bisa kerja, yang satu di kantor lurah yang satu lagi di perkebunan.
Tugasnya mbak Tin memasak dan membersihkan rumah sekaligus menemani aku di rumah. Mamaku sering sekali ke Bandung berminggu - minggu menengok kakak – kakakku yang sekolah dan berkuliah disana. Jadi aku sangat hafal aroma tubuh mbak Tin yang berupa campuran antara keringat, deodorant murahan dan amisnya dapur. Aku tak kebertan sama sekali, bahkan sedih saat mendengar papaku berkata bahwa sebentar lagi dia lulus SMA, maka adiknya sudah disiapkan untuk menggantikan posisinya.
Kalau mamaku sedang keluar kota, mbak Tin berubah menjadi lebih galak dan agak bossy. Dia menyuapiku dengan lebih terburu – buru, dengan suapan yang besar – besar pula. “Jadi anak perempuan gak boleh menye – menye begitu kalo makan. Biar cekatan nanti dapet suami Jendral ABRI” begitu alasannya sambil menutup suapan terakhir dengan sendok yang ditunggingkan sangat curam di mulutku yang kecil. Sampai mendongak wajahku. Setelah beres menyuapi aku, dia biasanya bergegas ke pagar tembok kiri rumahku yang berbatasan dengan kontrakan, disitu banyak mahasiswa laki – laki. Sering kupergoki dia ngobrol tertawa – tawa atau nyanyi – nyanyi diiringi gitar oleh salah satu dari mahasiswa. Agak bosan aku mendengar lagu Bukit Berbunga dinyanyikan mbak Tin dengan fals hampir setiap hari.
Tapi mbak Tin itu cewek sakti dan pemberani menurutku. Berkali – kali kampung kami geger dibuatnya, salah satunya saat uangnya dicuri oleh copet ganteng di warung besar dekat rumah kami. Aku yang sedang main adu biji asem di teras rumah kaget melihat mbak Tin marah mencak – mencak di halaman. Di hadapannya duduk si oknum copet yang tertunduk tak berbaju hanya memakai celana panjang saja. Ada lima sampai enam orang anak lelaki yang sudah besar tetangga kami yang mengawal mengelilingi sang copet, layaknya algojo. Aku tak berani mendekat, cukup memperhatikan dari jauh saja.
“Lu salah orang woii, kalau nyopet jangan ke orang kayak gua, anjing! Nyesel khan lu sekarang, bangsat! Belagak – lagak ngajak kenalan taunya duit gua lu ambil terus gak ngaku. Ditelanjangin lu sama temen – temen gua anak Gang sini, tau rasa lu monyeet!” sambil bicara begitu, sandal kelomnya berkali – kali nemplok di pipi si copet. Papaku berteriak keras sekali dari teras sambil menutup mataku, menyuruh mereka hentikan interogasi dengan kekerasan yang mengerikan itu. Tapi aku sudah terlanjur melihat semuanya.
Kali lain juga mbak Tin membuat gonjang – ganjing dengan peristiwa Jengkolannya, terlalu banyak dia makan jengkol goreng hari itu. Tangisan dan teriakannya memenuhi cakrawala kampung kami. Ibu – ibu berdatangan membawa macam – macam obat tradisional yang mereka tahu, kebetulan mamaku sedang di Bandung lagi saat itu. “ Tobaaat… tobaaat… gak akan lagi gua makan jengkol. Gua sumpahin seluruh anak cucu gua, tujuh turunan gak bisa makan jengkol. Termasuk orang kampung Kedaton ini semuanya juga jangan sampai ada yang makan jengkol. Awas lu yaaa, gua sumpahin pokoknya!” Menceracau mbak Tin saking sakitnya sambil guling – guling memegangi bagian bawah perutnya. Kudengar bu Tofik berbisik,”Kenapa dia yang rakus, kok jadi kita semua jadi ikut disumpahin yaa?”
Akhirnya setelah tiga jam nangis berteriak tak henti – henti, masalah teratasi dengan selembar genteng yang dibakar hingga panas sekali, lalu diletakkan diantara dua kaki mbak Tin yang berdiri mengangkang tanpa celana….!!!! Seeeeerrr… Seeeeeerrr... air kencing yang dari tadi menjadi masalah akhirnya keluar juga dengan deras. Semua ibu – ibu yang menjadi penonton menarik nafas lega, kakak perempuanku menutup mataku dengan tangannya. Tapi aku sudah terlanjur melihat semuanya.
Konyolnya lagi dia menutup atraksi pertunjukannya dengan kalimat , “Ternyata gini doang obatnya yaaa. Dengan ini, gua cabut kembali semua sumpah jengkol untuk anak cucu dan seluruh warga saya di Kedaton” Jiaaaah macam Ratu Kerajaan Jengkol saja kalimatnya. Para ibu tetangga mengumpat lucu sambil meninggalkan halaman belakang rumah kami.
**
Sudah lama orang tua kami meninggal, mudik lebaran ke Lampung untukku adalah ajang melepas rindu dengan keluarga, dengan sahabat kecil, dan terutama dengan mbak Tin. Masakannya adalah masakan terenak ke dua di dunia setelah mamaku. Tapi sejak mamaku meninggal belasan tahun lalu, mbak Tin lah menempati peringkat pertama. Cumi gendut bertelur dengan tinta hitam kental berlepotan selalu hadir saat pertemuanku dengan mbak Tin. Badannya tak lagi gemuk subur seperti dulu, putra – putrinya sudah hidup sukses dan memberikan dua cucu. Tapi kehebohan dan cara dia bercerita masih sama, masih ceriwis.
Ada saja kisah absurd yang jadi bahan ceritanya, saat kami ramai berkumpul keluarga; dia masih menjadi sumber keceriaan dan tawa kami keluarga besar. Mudik tahun lalu dia memanggilku ke sudut ruangan , “Kamu tahu gak, sekarang mbak Tin ini diangkat jadi intel, intelejen. Jangan macam – macam sama gua ya!” katanya sambil menunjukkan ID Intelejen penuh dengan logo – logo kepolisian dan militer. Tapi saat kuperhatikan ID yang dicetak asal – asalan itu, ternyata dikeluarkan dan ditandatangani hanya oleh LSM setempat. Aku menahan tawa, sifat supel membuat mbak Tin banyak teman dan punya pergaulan yang luas. Kataku “Mbak Tin, kalau jadi intel itu harus rahasia laaah.. jangan dibilang – bilang ke semua orang. Intel Maspion alias EMBER itu mah namanyaa” dia menjambak sayang rambutku.
***
“Lebaran tahun ini aku gak pulang mudik ya mbak Tin, situasi seperti ini gak memungkinkan. Nanti kukirim kue kering dan angpau saja kesana. Sehat selalu.. Jangan kecentilan nenek – nenek banyakin di rumah saja” kataku kemarin saat menelpon.
“ Ya gak apa, mbak Tin mu ini juga sedang sibuk meneliti dari mana asal muasal Virus Covid 19 dan obat apa yang bisa menyembuhkan” jawabnya dengan nada bangga.
“Lho sudah bukan intel lagi tho tahun ini, sepertinya jadi ilmuwan atau peneliti dengan jas putih di laboratorium nih” kataku sambil terbahak
“Kualat kamu…!” terdengar tawa dia yang lebih seru di seberang sana diikuti suara telpon ditutup. Langsung notifikasi di gawaiku berkedip, ada video call dari mbak Tin rupanya. Kemungkinan dia ingin memamerkan ID penelitinya atau mungkin saat ini dia benar – benar sedang di laboratorium. Aaaah.. teknologi sangat bisa jadi penawar rindu.
Kusimpan rinduku pada mbak Tin untuk lain kali, saat tanah dan laut bumi pertiwi kita sudah tersenyum tanpa Covid – 19.
Tangerang Selatan, 8 April 2020 - Social Distancing Week 3
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.