Nyamuk Ngopi

Balatentara penghisap darah

Nyamuk Ngopi
Tumpah

Grompyaang ... sudut mataku yang masih dikuasai kantuk ini menyipit melirik gelas kopi yang rebah tersenggol guling empuk yang tengah kupeluk mesra.
Dengan malas kurapikan kembali ke posisi semula. Seingatku masih ada separo gelas tadi sore belum sempat kuminum.
Ah ... kubiarkan saja tumpahan itu, toh bukan lantai keramik.
Kulihat jam di hapeku menunjuk pukul 2 pagi.

"Ah ... sial, kenapa harus jam sekian mataku terjaga, kenapa tidak nanti subuh saja," batinku. 

Bukan tanpa alasan aku mengeluh. Aku berlindung pada kantuk ini dari makhluk-makhluk penghisap darah yang menginvasi di hampir semua sudut kulitku.

Kuangkat pantatku dari peraduan mencari lotian anti nyamuk yang sempat kupakai separo sore tadi, kubalurkan lagi sisanya.
Melanjutkan tidur, rencananya. Namun mata ini tak kunjung terlelap lagi. Hawa dingin kota angin silih berganti menyerang kulitku.

Kuberanjak dari rebahanku melihat kamar tempat anak istriku berbaring, mencoba cari-cari selimut untuk sekedar sebagai tabir pelindung. Namun, tak satupun yang tersisa.
Kondisi yang memaksa hatiku terus meratap kesialanku ini.

Aku biasa tidur di hutan-hutan puncak gunung, namun dengan persiapan sebelumnya. Tidak seperti sekarang. 
Aku terbiasa tidur di bangku ruang tunggu bandara Samsudin Noor lama yang penuh balatentara makhluk penghisap darah hanya untuk menghemat beberapa rupiah agar anakku bisa jajan jelly kesukaannya, namun dengan persiapan sebelumnya. Tidak seperti sekarang.

Semakin parah hatiku meratap semakin gembira setan dalam hati membakar amarah. 
Aku bangkit lagi dari peraduanku, selembar karpet permadani yang dipakai untuk acara lamaran sore tadi. Hanya untuk bakar rokok kretek. Setan ini semakin kuat menyalakan api kemarahanku. 
Marah karena tidak ada informasi sebelumnya kalau aku harus menginap disini. Kota yang dingin penuh bala tentara makhluk penghisap darah dengan mulut seperti bambu runcing arek-arek suroboyo jaman perjuangan dulu.
Marah karena ku tak bawa baju ganti, sikat gigi maupun selimutku sendiri.

Kuambil baju batik dikamar yang kupakai sore tadi untuk sekedar melindungi badanku dari hawa dingin. 
Namun, percuma saja kakiku yang tidak terbungkus apapun tetap membuatku terjaga karena dingin. 
Setan dalam hati semakin sombong mengibarkan bendera perangnya, membisiki telingaku dengan strategi perangnya yang kualamatkan ke nyamuk penghisap darah.

Kemarahan ini pula yang menyuruh jemariku mengambil hape disampingku. Mencoba mengurai kata demi kata kemarahan dalam notebook Sa***ng J7.

Kota Angin, 21 Juni 2020
02.30 AM

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.