Till Death Do Us Part
Pada akhirnya, sekuat apapun kebersamaan itu, akan berujung pada perpisahan.

Aku sedang menghitung hari. Mengingat kembali awal mula kebersamaan kita. Puluhan tahun lalu, kita bertemu bukanlah tanpa sengaja. Takdir sudah menyuratkan itu. Dan bukankah segala yang terjadi di dunia ini sudah diatur oleh kehendak-Nya? Tak ada yang ujug-ujug ada, lalu mengghilang tiba-tiba. Hanya …. proses yang dilalui untuk terciptanya sebuah pertemuan bagi setiap orang akan berbeda-beda.
Aku bertemu dengan mu dengan perantaraan orang-orang berjubah putih. Masih lekat dalam ingatanku, saat mereka mengucapkan kata-kata yang begitu tegas sambil menuangkannya dalam goresan tangan di atas selembar kertas. Lalu, kertas itu menjadi sebuah akad antara kau dan aku. Akad yang menyatakan bahwa sejak saat itu antara kita ada sebuah ikatan yang akan berlangsung panjang. Lama …..seakan tanpa batas.
Orang-orang berbaju putih itu mengatakan, kau dan aku harus selalu bersama sepajang hayat. Hanya kematian yang boleh memisahkan. Aku tidak diberi pilihan. Tak ada kata tidak. Sungguh sebuah perjodohan yang dipaksakan. Kata-kata “till death do us part” mengiang-ngiang di telingaku. Ah, rasanya tidak ada seorang pun di jagad raya ini mau diikat dalam akad yang dipaksakan seperti itu. Tapi aku tak mampu mengelak.
Lemah? Apakah aku dianggap lemah karena tak mampu mengambil sikap melawan atau berontak? Mungkin iya aku terlalu lemah, karena waktu itu aku sangatlah tak berdaya. Orang-orang berjubah putih itu begitu perkasa dan berkuasa. Suaranya bertitah membuatku tak mampu menolak, bahkan untuk sekadar menggelengkan kepala pun aku tak sanggup. Mata ku, kepala ku, bahasa tubuh ku hanya mampu menunjukkan isyarat iya ….iya….iya. Mengiyakan untuk berjanji akan selamanya bersamamu.
Maka, sejak itu …kau menjadi bagian dari hidupku. Aku harus menempatkan mu sebagai sesuatu yang penting di muka bumi ini, melebihi pentingnya teman-temanku yang lain. Aku belajar keras untuk terbiasa denganmu. Menggenggammu setiap hari, mengajakmu kemanapun aku pergi. Suka atau tidak suka aku harus melakukannya. Aku pun harus detil memperhatikan kebutuhanmu. Bila persediaan milikmu menipis, aku harus bergegas mencarikannya, membelikannya. Tak boleh dibiarkan habis. Tidak boleh tak ada. Ada atau tidak ada uang, aku harus mengupayakannya agar kau aman-aman saja dalam dekapanku.
Orang-orang berjubah putih itu berulang kali mengatakan padaku, jangan sekali-kali mengabaikanmu. Mereka tidak segan menelponku sekadar bertanya keadaan mu. Kadang aku risih. Mereka bertanya begitu detil. Mau tahu saja, berapa kali aku menggenggammu dalam sehari. Dan, apakah waktu ke luar kota aku membawamu serta atau tidak. Bila ku lalai, mereka akan marah.
Ah, jujur saja. Aku pernah mengabaikanmu. Tapi itu tidak sengaja. Waktu itu aku terlalu sibuk dan buru-buru berangkat, sehingga betul-betul lupa mengajakmu. Tanpa aku sadari, aku telah begitu tergantung pada mu. Dengan tidak adanya kau di sampingku aku menjadi linglung. Tak bisa berkonsentrasi. Pekerjaanku buyar. Dan orang-orang berjubah putih itu terpaksa menjemputmu dan membawamu kepada ku.
Aku …. ingin berterima kasih padamu. Kau telah sangat banyak menolongku. Menemani hari-hari yang terkadang sepi sendiri. Walau tak mudah awalnya, akhirnya aku bisa menerima kehadiranmu. Tak perlu diingatkan lagi, pada waktu-waktu yang disepakati aku akan menggenggammu. Kadang aku bercanda menanyai mu, “Hai kamu …apakah aku sudah mengganggammu hari ini?” Dari rupamu yang merona aku tahu jawabannya apakah sudah atau belum.
Dulu aku menyembunyikanmu dari siapapun. Aku tak ingin orang tahu bahwa ku telah menjadi bagian dari diriku. Aib? Bukan! Kau bukan aib, tetapi aku tak mau ada mata yang memandangku dengan perasaan iba. Terus terang, mereka mungkin tak suka kau menjadi bagian dari hidupku karena rasa sayang mereka padaku. Mereka tahu, bersamamu aku akan menjalani masa-masa yang penuh gejolak, yang akan lebih banyak berat dari pada ringannya.
Aku bisa menebak pikiran mereka. Mereka pasti berkata. “Andai kami tahu lebih awal, kami akan …….bla bla bla.” Singkatnya, mereka mungkin akan menghalangi perjodohan kita, lalu mengerahkan banyak orang membuka lembaran-lembaran buku dan situs-situs dunia untuk mencarikan sosok penggantimu.
Sampai pada suatu hari, aku berani menunjukkan kehadiranmu dihadapan karib kerabatku. Aku melakukannya dengan santai dan suasana hati yang ringan. Mereka mulai bertanya tentang mu, dan aku dengan senang hati menjelaskan. Di antara mereka ada berkata jika kebersamaan kita terus dilanjutkan, kau bisa membawa dampak yang kurang baik bagi tubuhku. Aku menjawabnya dengan tenang. Bahwa aku telah sepenuhnya menerima takdirku dengan mu.
Yang jelas, sejauh ini kau membawa dampak yang baik bagi keseharianku. Setidaknya aku tampak sehat. Aku menjadi tergantung pada mu, itu tak lagi jadi soal. Kalau pun kelak diam-diam kau menebarkan racun di mulutku, maka itu adalah bagian dari takdirku. Sekali lagi ku katakan pada mereka, kau bukan pilihan tetapi takdir dalam hidupku. Maka baik burukmu aku terima. Aku pun sudah menyadari dan siap menerimanya ketika dulu orang-orang berjubah putih itu menyodorkan namamu pada ku tanpa memberi ku kesempatan untuk menimbang, apalagi menolak.
Kini, aku sudah semakin tua. Kebersamaan kita sudah melebihi masa 30 tahun. Setulus hati aku mengucapkan terima kasih yang sangat dalam padamu. Kehadiranmu sungguh sangat berharga dalam menemani hari-hari ku. Namun, tiada yang abadi. Kebersamaan akan selalu sampai ke titik akhir. Aku merasa sudah saatnya mengakhiri kebersamaan kita.
Jangan …..jangan salah paham. Bukan aku sudah tak suka atau tak percaya lagi padamu. Aku ingin mengakhiri ini semua karena aku sudah lelah. Tanganku tak kuat lagi menggenggammu. Ingatanku sudah mulai kurang bagus, aku bahkan sering lupa pada mu. Kau tahu, bila aku terlupa padamu, aku menjadi rapuh dan lemah. Belakangan ini hal itu sering terjadi.
Mungkin ini adalah pertanda bahwa kebersamaan kita memang sudah sampai pada batasnya. Takdir kita sampai di sini. Maka, izinkan aku untuk melepasmu. Tak lagi mengajak mu ke mana pergi. Tak lagi menggenggammu saat menemaniku makan. Aku ….sungguh-sungguh ingin menjalani hari-hari yang tersisa dengan bebas, tanpa harus meminummu dalam bentuk pil, kapsul, ataupun sirup.
Aku ingin merasakan detik-detik tubuhku melemah tanpa ditopang oleh mu, butiran obat-obat ku. Dalam tubuh yang lemah, aku ingin merasakan berpasrah dengan sebenar-benar pasrah. Dalam keadaan pasrah, jiwa ku akan merasa tenang.
Hanya satu yang ku inginkan kini. Bila saat ku tiba, Sang Maha Pemiliki Segala memanggilku dengan kalimat indah yang selalu aku rindukan siang dan malam.
Wahai jiwa yang tenang …kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridhoaNya.
Yaa ayyatuhal mutmainnah … Irji’ii ila Rabbiki radhiatan mardhiah. Fadkhulii fii ‘ibaadii …… Fadkhulii jannnatii.
Kamu, obat-obatku …. teman yang setia mendampingiku, izinkan aku pamit.
--------------------------
Mengenang almarhum ibu. Dua hari menjelang berpulang ke rahmatullah, Ibu mengatakan tidak lagi ingin memimun obat-obatnya yang biasa aku sediakan di samping piring makannya. Ibu sudah puluhan tahun mengidap diabetes, hipertensi, maag dan sudah ada komplikasi. Setiap hari harus minum banyak obat.
“Sudah puluhan tahun Ibu minum obat itu. Rasanya sudah cukuplah. Ibu sudah gak mau lagi.”
Rupanya ini isyarat, beliau hendak pergi ….. selamanya.
Damai dan bahagialah di sana, Ibu. Alfaatihah ….
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.