DYAS, Namaku: Dyas Dewanto (#6)

DYAS, Namaku: Dyas Dewanto (#6)

Bagian Enam

 

Pedro

 

Aku langsung merebahkan punggungku di bangku belakang mobil yang kutumpangi.

 

“Sesuai titik lokasi kan ya pak?” tanya sopir taksi online.

 

“Ya..Sesuai titik. Terserah bapak mau lewat mana. Saya mau tidur,” terangku ke pak sopir.

 

Pagi ini, masih sangat pagi malah, aku ingin ke Padma. Sebuah tempat latihan yoga dan meditasi yang kira-kira 50 km dari rumahku. Jauh? Ya..Jauh…Aku harus ke sana, demi tubuh dan jiwaku.

 

Dulu, sekitar 4 tahun yang lalu, di saat sedang tak ada jadwal pekerjaan, aku masih bisa menyempatkan datang ke Padma. Buatku, menyambangi tempat itu di tengah kesibukan kerja ibarat oase di tengah gurun.

 

“Masih pagi pak. Jalanan belum macet. Tidak usah lewat tol ya?” pak sopir meminta persetujuanku.

 

“Ya..silahkan, pokoknya sesuai titik ya. Saya mau tidur,” kataku lagi mengulangi.

 

Kupejamkan mataku. Aku ingin benar-benar tidur di perjalanan dan berharap beberapa puluh menit kemudian, mobil telah sampai di Padma.

 

Kupejamkan mata…mm…terpejam tapi otakku melayang ke mana-mana.

 

Hari ini dengan semangat membara aku ingin bermeditasi. Ingin ‘memberi makan’ pada jiwa dan rohku. Aku ingin tak lagi menjadi manusia egois terhadap semua keinginan dan kesibukanku.

 

Pekerjaan yang datang bertubi-tubi, sering membuatku egois pada tubuh dan jiwaku. Saat mendapatkan klien untuk acara di pagi hari, aku bisa meninggalkan rumah jam 04.00 pagi. Merias klien selama satu hingga 2 jam, selesai… aku bisa lanjut ke klien lain untuk acara siang hari. Lanjut lagi untuk klien acara sore atau malam hari. Maraton tanpa henti.  Ya Tuhanku, aku selama ini sangat egois kepada tubuhku. Serakah mengejar rejeki.

 

Profesiku sebagai make up artis adalah profesi dari hati ke hati di mata para pelangganku. Saat ingin menghadiri sebuah acara yang menuntut mereka taampil sempurna, mereka tentu tak ingin coba-coba memakai jasa make up artis lain. Belum tentu hasil make upnya bagus, begitu kata mereka. Jadilah aku yang dipanggil.  Rejeki dari Tuhan dengan perantara pelangganku.

 

Istirahat di tengah-tengah jam merias. Makan dengan terburu-buru adalah hal yang biasa saat bekerja. Sering kali juga, makan makanan seadanya yang disuguhkan oleh klien. Bila klien tak menyuguhkan apa-apa, aku sering kali hanya menyantap roti tawar isi keju kesukaanku yang kusiapkan dari rumah.

 

Kantongku tebal. Fisiknya selalu bergerak dari lokai satu ke lokasi lain. Sementara dengan jiwaku? Kosong. Aku tak pernah rutin ke gereja. Dalam sebulan, belum tentu aku pergi sekali pun ke gereja. Sudah berapa lama? Ah entahlah..sudah terlalu sering aku meninggalkan Tuhanku.

 

 Hari Sabtu atau Minggu, di saat harusnya aku ibadah ke gereja, aku sering mendapat pekerjaan. Sabtu dan Minggu adalah hari ‘panen’ karena rata-rata pernikahan, pertunangan, ulang tahun dan sebagainya jatuh di kedua hari itu. Saking penuh jadwalku, kadang aku sampai harus membawa serta asistenku.

 

Menolak pekerjaan di kedua hari tersebut? Ya…sudah beberapa kali kulakukan. Terutama, klien baru yang belum pernah memakai jasaku.

 

Yang tak sanggup kutolak adalah pekerjaan dari langgananku. Aku tak pernah tega menolak mereka, apalagi langganan yang sudah bertahun-tahun dan hubunganku dan mereka sudah seperti keluarga.

 

Sejak kabar mbak Dyas kecelakaan dan masuk rumah sakit, aku merasa tersentil. Selama ini aku cuma kerja…kerja..dan kerja…Tak terlintas sedikitpun seandaikan aku sakit atau mengalami hal yang buruk seperti mbak Dyas.

 

Setelah dua kali menjenguk mbak Dyas aku seperti diingatkan kembali bahwa jiwa dan tubuh kita adalah milik Tuhan. Pada akhirnya akan kembali lagi padaNya. Sementara, akhir-akhir ini  aku merasa jauh sekali dari Tuhan.  Kecelakaan mbak Dyas menyadarkanku bahwa kita tak pernah tahu kapan maut menjemput.  

 

Entah, pikiran mana yang mendorongku, pagi ini setelah bangun, aku ingin kembali ke Padma, sebuah studio yoga dan tempat meditasi. Bertekad ingin banyak berdialog dengan diriku sendiri, dengan cara bermeditasi.   

 

Dulu, saat masih di SMA seminari, aku pernah mengenal pelajaran meditasi. Seingatku, pernah kami sekelas, kami dibawa oleh ke Ancol oleh guru meditasi kamu untuk bermeditasi di sana.

 

Jujur di awal aku ikut kelas meditasi, aku tersiksa parah. Bayangkan, kita harus duduk dengan posisi bersila berpuluh-puluh menit dan hanya berdiam diri. Tak melakukan apapun.

 

Pertama kali melakukan, aku merancau dalam dalam hati. Semua kata-kata jelek kuucapkan dalam hati untuk mengisi waktu meditasiku. Aku protes, aku marah, mengapa harus ada pelajaran bermeditasi? Tak ada gunanya.

 

Dua kali, tiga kali, empat kali, aku masih tersiksa. Setiap meditasi, aku goyang-goyangkan tubuhku ke kanan kiri. Setiap kali bergoyang aku merancau sesukaku. Atau aku ganti posisi kaki bersilaku, juga sesukaku. Meskipun masih dalam posisi bersila tapi aku bergerak semauku. Padahal, umumnya saat bermeditasi, disarankan duduk tenang dan diam, sambil tarik napas buang napas.

 

Sesi meditasi kujadikan sesi meluapkan marahku. Mau marah-marah ke bapak, kuanjing-anjingkan bapakku. Sedang tidak sreg dengan temanku sebangku, kubayangkan wajahnya, lalu kumaki-maki sesuka aku. Semua hal yang tak kusuka, kutumpahkan. Merancau, mengumpat, menyebut semua kata-kata yang seharusnya tak pantas diucapkan oleh anak seumuranku. Di sisi lain, aku puas dan bahagia, Meditasi adalah arena dimana aku bebas mengumpat tanpa orang lain tahu. Ha..ha..bebas..lepas…

 

Sampai akhirnya, bapakku ‘mendudukanku’ di ruang tamu. Entah siapa yang melapor ke bapakku bahwa di setiap kelas meditasi, kelakuanku sangat minus. Aku tak peduli.

 

“Banyak hal buruk yang bisa selesai dengan meditasi. Sering berlatih. Kelak kau akan berterima kasih dengan manfaat meditasi,” kata bapakku.

 

“Mencari ketenangan kan tidak harus dengan meditasi pak?” bantahku.

 

“Siapa yang bilang meditasi untuk mencari ketenangan?” suara bapakku langsung meninggi waktu itu.

 

“Kalau kamu mencari tenang dengan meditasi, salah besar. Tidur saja di kamar, kamu akan tenang. Tak perlu capai-capai duduk bersila.”

 

“Trus?” jawabku memotong

 

 “Kalau yang kamu cari adalah ketenangan, nanti saat kamu berlatih meditasi dan suasana di sekitarmu ramai, kamu bakal marah ke orang-orang yang sudah ramai di sekitarmu.”

 

“Trus yang dicari apa?”

 

“Cukup berdiam diri dan amati semua peristiwa yang melintas di pikiranmu,” terang bapakku lagi.

 

“Kadang orang lain seperti tak punya hati. Ramai atau ribut saat saya meditasi,” bantahku lagi.

 

“Kamu tak berhak mengatur mereka. Apa mereka harus mengalah karena kamu sedang meditasi di dekat mereka? Itu namanya kamu egois. Ya suka-suka mereka lah. Mau ramai, mau bercanda, terserah mereka. Kalau mereka juga ngomong begini bagaimana: ngapain juga kamu meditasi?” suara bapakku lebih meninggi.

 

Aku tertunduk, tak berkutik bila suara bapak sudah meninggi.

 

“Harus sabar kalau ingin menjadi pemimpin agama,” kalimat itu bapak ucapkan setiap kali aku berontak.

 

Sebagai seorang pendeta, bapakku memang mendidikku keras dalam hal agama. Sejak SD, cita-cita beliau untuk menjadikanku sebagai seorang pendeta selalu berkobar. 

 

 “Jadi apa yang harus dilakukan saat meditasi?”  aku masih mengejar jawaban pasti dari bapakku.

 

“Istirahatkan pikiranmu, sembari tarik napas buang napas. Kalau pikiranmu ke mana-mana, kamu cukup jadi penonton. Nggak usah menganalisa, nggak usah menuruti kamu mau dibawa ke mana oleh pikiranmu. Begitu pikiranmu ke mana-mana, balikin lagi ke napasmu,” bapakku menerangkan.

 

“Akan mendapatkan apa nanti setelah aktif bermeditasi?” aku masih tak puas dengan jawaban bapak.

 

“Kau akan mendapatkan jawaban sendiri setelah kau banyak berlatih.”

 

Sejak itu kejadian itu bapak tidak pernah lagi bertanya tentang perkembangan meditasiku. Aku  melakukan meditasiku sekedarnya. Entah benar atau tidak, aku cukup melakukan yang bapak nasehatkan: duduk berdiam diri, sambil tarik napas buang napas kuamati setiap kejadian yang muncul di pikiranku. Saat pikiran tersebut ke mana-mana, aku kembali lagi fokus ke napasku.

 

 Efek meditasi ke diriku? Dulu, saat meditasi menjadi arena mengumpatku, setelah bermeditasi tubuhnya luar biasa capai. Padahal aku hanya duduk dan mengumpat-ngumpat tak karuan. Setelahnya, badanku serasa lunglai tak berdaya. Tulang-tulangku serasa lepas. Lemas.

 

Sejak aku menuruti nasehat bapak, setelah bermeditasi, tubuhku serasa nyaman, lebih bersemangat dan segar. Juga, benar kata bapak: otakku seakan berhenti saat bermeditasi. Tak sempat memikirkan hal lain selain napasku. Tak sempat memikirkan peristiwa-peristiwa di masa lalu, dan tak sempat memikirkan hal-hal di masa yang akan datang.

 

Nah hari ini, aku sengaja datang ke Padma untuk melakukannya lagi. Mengistirahatkan pikiranku sejenak.

 

Begitu turun dari mobil, aku segera ke bagian receptionis. Aku harus menyimpan semua barang yang kubawa ke loker yang telah disediakan. Hanya kunci loker yang kubawa, dan kukalungkan tali kunci ke leherku.

 

Untuk sampai ke ruang meditasi aku harus melewati taman kecil yang di tengahnya terdapat  kolam ikan. Di sisi kanan kiri taman ada tiga ruangan yag biasa dipakai untuk berlatih yoga.

 

Pagi ini, hanya satu ruangan yoga yang terpakai. Jam saat aku datang, adalah jam-jam akhir sesi kelas yoga. Tampak lima orang sedang berbaring terlentang. Pertanda mereka sedang rileksasi.

 

Kunaikin tangga menuju lantai atas. Ruangan meditasi letaknya agak tersembunyi dibandingkan ruangan lain. Tiga ruangan berukuran sedang yang dikhususkan untuk terapi pijat, pagi ini kosong. Biasanya, ibu-ibu memanfaatkan jasa pijat Padma, setelah mereka berlatih yoga.

 

Kusibakkan tirai ruang meditasi yang berwarna hitam. Masih seperti dulu, ruangan meditasi ini bersih, wangi dan terdapat 4 CCTV yang terpasang di semua sudut atas langit-langit ruangan. Ada dua orang yang sedang bermeditasi.

 

Aku mengambil posisi meditasi di sisi kiri ruangan. Kali ini, sengaja aku mendekat ke tembok karena aku ingin menyandarkan punggungku. Juga kuambil bantal kecil sebagai alas duduk bersila. Ah.. sekian tahun tak pernah bermeditasi,  pasti punggungku perlu tempat bersandar agar tetap tegak.

 

         Kuucapkan doa kepada Tuhan Yesusku sebelum meditasi. Sekian menit pertama, aku berkonsentrasi ke napasku. Beberapa bunyi yang ada di ruangan meditasi pun aku masih bisa kudengar. Bunyi AC meskipun jauh, bunyi langkah orang menjauh dari gedung, suara beberapa orang bercakap-cakap yang kemudian menjauh dan hilang.

        

         Konsentrasiku kuarahkan ke napas. Saat tarik napas aku membayangkan oksigen yang kuhirup  berwarna putih bersih masuk ke hidungku, merambat turun masuk ke arah tenggorokanku, perlahan lagi masuk ke paru-paruku. Oksigen itu kubayangkan masuk ke seluruh sel-sel di paru-paruku. Saat buang napas, aku affirmasi ke diriku agar segala kecemasan dan kekhawatiranku, keluar dari seluruh sel-sel tubuhku.

        

         Tarik napas buang napas kulakukan perlahan, berirama dan semakin lama sengaja aku melambatkan tarikan napasku. Melambat, perlahan dan dalam.

 

         Beberapa menit kemudian, pikiran-pikiran lain silih berganti mulai melintas. Ibarat layar bioskop besar, pikiran-pikiran itu sedang diputar di layar itu. Aku adalah penonton satu-satunya.

 

Suasana saat aku shooting iklan beberapa hari yang lalu, hadir. Kuamati sebentar lalu aku kembali mengamati tarikan dan hembusan napasku. Suasana rumah ibu Kosworo klienku, hadir melintas, aku tak terlalu mengamatinya. Segera kukembalikan ke tarikan dan hembusan napas.

 

Mbak Dyas melintas. Memakai pakaian serba putih, mbak Dyas seperti sedang bermain di sebuah taman yang penuh dengan bunga. Senyum merekah di wajah mba Dyas. Melangkah ke sana ke mari menghampiri satu bunga ke bunga yang lain. Namun langkah mbak Dyas menjauh..menjauh…lalu menghilang, pergi.

 

Perlahan…sangat perlahan…aku menarik napas dari hidung ke luar dari hidung. Kali ini aku ingin mbak Dyas melintas lagi di layar itu. Bahkan aku berusaha menghadirkan wajah ayu mbak Dyas. Bila mungkin aku ingin menahannya lebih lama. Mbak Dyas kembali hadir sebentar lalu membalikkan tubuhnya, menghilang.

 

Kusebarkan rasa rileks ke seluruh tubuhku sembari tetap tarik napas buang napas, dalam… perlahan...Aku ingin mbak Dyas, datang lagi. Tersenyum untuk aku sebagai penebus rasa rindu. Kuhadirkan wajah mbak Dyas. Kali ini aku bersikeras menghadirkannya.  Sebentar sosok mbak Dyas hadir, tapi lagi dia menjauh pergi.

 

“Mbak Dyas…jangan pergi dulu…” kuucapkan dalam hati sembari  kutarik napas, sangat dalam. Ketika buang napas perlahan, aku ucapkan lagi: “Sembuh mbak. Jangan pergi.”  

 

Bau parfum mba Dyas, tiba-tiba melintas dekat hidungku. Kuat…dekat…lekat…dekat sekali di hidungku. Aku hampir saja membuka mataku untuk menyudahi meditasiku. Annick Goutal Eau d’Hadrien, khas mbak Dyas banget. Parfum yang dari Perancis itu adalah parfum yang selalu mbak Dyas pakai, kemana pun mbak Dyas pergi.

 

Kugerakkan sedikit kepalaku ke kanan ke kiri perlahan, menikmati detail kuat bau Annick Goutal Eau d’Hadrien. Di setiap sudut ke mana kepalaku bergerak, aku nikmati bau itu, bau mbak Dyas. Sangat kuat, lekat dan dekat, serasa ada di ujung hidungku.

 

Sekian detik, aku sangat menikmati bau parfum tersebut. Aku seperti melayang menikmati kehadiran fisik mbak Dyas sedang duduk juga di dekatku. Namun… seperti halnya kehadiran sosoknya, bau parfum mbak Dyas lama kelamaan seperti menguap, perlahan-lahan hilang. Tanpa bekas.

 

“Mbak Dyas…Jangan pergi. Yuk bangun dari tidurmu mbak..,” kuucapkan kalimat itu lagi sembari tarik napas buang napas.  Dalam…perlahan…

 

Kugerakkan kembali kepalaku perlahan ke kanan ke kiri. Berharap menemukan kembali bau parfum mbak Dyas. Sia-sia! Bau Annick Goutal Eau d’Hardien tak berbekas. Lenyap.

 

Dalam…perlahan…semakin dalam…semakin perlahan…aku tarik napas buang napas. Semakin dalam dan perlahan tarik napas buang napas, aku semakin hanyut dengan duniaku sendiri.

 

Terus menerus aku tarik napas buang napas. Setiap ada pikiran lain yang melintas, kembali konsentrasikan ke tarik napas buang napas. Semakin dalam, semakin halus, semakin aku larut dan tenggelam dalam ketenangan.  

 

Tak tahu aku sudah berapa lama aku berdiam diri bermeditasi. Sampai akhirnya kubuka mataku sangat perlahan, setelah sebelumnya aku menggerakkan perlahan jari tangan dan kakiku.

 

Saat kubuka mata, pelan-pelan aku menyadari sedang di mana aku sekarang. Perlahan kugerak-gerakannya kedua kakiku, pegangan tembok yang tempat dimana tadi bersandar, lalu perlahan  aku berdiri.

 

Segar dan nyaman, dua kata itulah yang saat ini kurasakan. Selanjutnya, aku melangkah perlahan keluar ruang meditasi dan menuruni tangga ke arah meja receptionis untuk mengambil tas ku. Kuambil handphone dari tasku. Pukul 06.47. Ah..ternyata aku bermeditasi 43 menit. Sebuah prestasi lumayan lama untukku yang lama tak pernah berdiam diri. Padahal rasanya aku hanya bermeditasi sebentar.

 

“Sekalian mau menjadi member atau tidak pak? Kalau ya, member fee nya sekian rupiah ya.., silahkan langsung transfer di nomer rekening yang tertera di situ,” kata mbak receptionis sambil menyerahkan flyer Padma kepadaku.

 

“Oke, saya baca-baca dulu sebentar. Kalau saya tertarik saya akan langsung mentrasfer biayanya,” jawabku sambil menuju ke arah kursi yang ada di depan meja receptionis.

 

Flyer Padma yang berwarna hijau muda itu kubaca dengan seksama. Aku tertarik menjadi member di Padma. Selain agar aku punya semangat untuk bisa bermeditasi rutin, ada beberapa workshop gratis yang sebulan sekali diperuntukkan untuk para member. 

 

“…..ternyata Dyas Dewanto saat ini sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Menurut teman dekat Dyas, Sammy, kondisi Dyas saat ini….” aku mendengar berita di televisi.

 

Seketika kudongakkan kepalaku mencari dimana letak televisi. Bangun dari kursi dan melangkah cepat ke arah meja receptionis. Ada televisi kecil yang diletakkan meja kecil, di dekat dispenser. Meja tersebut tingginya lebih rendah dari meja receptionis. Mbak receptionis sedang menontonnya.

 

“Tolong volumenya gedein dikit mba,” suruhku cepat ke receptionis.

 

Kamera HP langsug kunyalakan untuk merekam acara gosip tersebut. 

 

“….dalam kecalakaan tunggal tersebut, Dyas dikabarkan mengalami pendarahan di seputar kepalanya. Dari keterangan Sammy, Dyas tidak perlu menjalani operasi…”

 

Aku melihat seksama, gambar yang ada di televisi. Ada video mba Dyas yang sedang berbaring di rumah sakit. Diambil dari berbagai sudut termasuk wajah mba Dyas yang diambil secara close up.

 

Aku mengepalkan tangan kiriku erat, kuat. Gatal tanganku ingin menghajar Sammy.

 

“….alasan  mengapa baru kali ini berita Dyas Dewanto terendus oleh media menurut Sammy semata-mata karena keluarga Dyas memang memutuskan agar Dyas tak terganggu…”  

 

Video gambar selanjutnya yang tampil di televisi berganti-ganti. Ada foto-foto mba Dyas dalam berbagai acara, foto Sammy, dan foto-foto dari berbagai sudut kamar rumah sakit di mana mbak Dyas dirawat.

 

Bangsat banget Sammy.

 

Oke pemirsa, kami tim Selebrita pagi selalu mendoakan agar Dyas Dewanto segera siuman dan sehat kembali,” ujar presenter wanita bernama Varisa. Kulihat dari teks yang ada di layar televisi.

 

Ya.. kita doakan bersama. Dan sukses untuk tim Selebrita di lapangan yang telah mendapatkan liputan ini secara eksklusif….”  ujar Niko presenter yang mendampingi Varisa.

 

Aku tak sanggup lagi menonton acara gosip  tentang mbak Dyas.

 

Dengan napas memburu aku menuju ke bangku panjang di taman tengah. Kutenangkan hatiku dengan minum teh botol dingin, sembari mencari kontak Sammy.

 

Aku ingin mendengar penjelasan dari bangsat itu, kenapa justru berita tentang mba Dyas bocor dari mulut lancangnya. Padahal dia sudah wanti-wanti kepadaku untuk tidak bicara apapun kepada wartawan.

 

Damn…!! Sammy tak mau mengangkat teleponku. Tersambung, tapi bangsat itu tak mengangkat.   

 

Jujur aku setuju kok berita tentang kecelakaan mbak Dyas terekspose. Tapi sebagai manajer artis yang cerdas, harusnya Sammy bisa mengemas berita tak baik ini dengan tampilan angle-angle gambar yang bagus plus manusiawi. Bukan justru menampilkan video-video dan foto-foto mbak Dyas dalam keadaan yang memprihatinkan seperti tadi.

 

Idiot!!  Tak memikirkan image mbak Dyas sama sekali.

 

“Sori bro…lewat whatsapp aja. Gue sedang ribet banget. What’s up?” Pesan dari Sammy ke nomer whatsappku.

 

“Berita tentang Dyas ada di acara gosip.”

 

“Ya..gue diwawancarai wartawan kemarin.”

 

“Oke kan bro?”

 

“Mereka datang ke rumah sakit untuk ambil gambar?”

 

“No bro. Itu video dan foto-foto Dyas kuambil dari HP gue. Lumayan kan bro? Btw, bezuk Dyas ya. Kalau perlu tiap hari. Gue sedang sibuk”

 

“Ok.”

 

Kusudahi chatting dengan Sammy daripda darah mendidih. Idiot… Bangsat!!! Hih…susah ngomong dengan manajer artis yang otaknya tidak pernah sampai pada kebutuhan image setingkat mbak Dyas.

 

Aku seketika ilfill ketika dengan congaknya video dan foto-foto mbak Dyas di rumah sakit masuk kategori lumayan menurut Sammy: pembuatnya. Lumayan nenek lo dari Hongkong, foto dan video kategori sangat buruk kok dibilang lumayan. Idiot.

 

Masih dengan gaya soknya, dia memerintah aku untuk membezuk mbak Dyas saat dirinya kepepet tak bisa membezuk. Tidak ingat apa, di awal-awal mbak Dyas dirawat, keamanan tingkat tinggi sudah dia ciptakan sampai-sampai orang lain yang ingin menjenguk mbak Dyas harus ijin ke bajingan itu dulu.

 

                                                              -0-

 

……. bersambung

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.