Membangun Atau Meruntuhkan Citra
Membangun citra memerlukan waktu puluhan tahun, tapi meruntuhkan citra cukup dengan hitungan menit saja; waspadalah mahasiswa!

Citra…….ya satu kata yang berasal dari bahasa Inggris Image, yang lebih kurang artinya gambaran yang dimiliki orang mengenai pribadi seseorang. Begitu pentingnya seseorang memiliki citra yang baik. Sekali saja citra seseorang tercoreng maka akibatnya fatal (nama buruk, karir hancur, kepercayaan lenyap, dan lain-lain). Bahkan penulis berani mengatakan bahwa untuk membangun citra, seseorang perlu waktu bertahun-tahun dan mungkin juga puluhan tahun, akan tetapi untuk meruntuhkan citra cukup dalam hitungan menit saja!
Tragis ……. Kalau demo tanggal 11 April 2022 dinamai ‘demo mahasiswa’, karena menurut hemat penulis sosok mahasiswa itu adalah kaum akademisi dan tentunya punya citra yang baik, syukur-syukur bijak dalam bertindak seperti layaknya ilmuwan dari zaman Socrates – Plato – Aristoteles…….dan seterusnya. Salah satu ucapan Socrates yang penulis ingat-ingat adalah: ‘Kebaikan satu-satunya adalah pengetahuan dan kejahatan satu-satunya adalah kebodohan’. Bahkan Rene Des Cartes seorang filsuf Perancis yang sangat terkenal dengan kata-katanya ‘Cogito Ergo Sum’ yang berarti ‘aku berpikir maka aku ada’, yang penulis tangkap maknanya kalau orang tidak mau berpikir maka sesungguhnya ia tiada.
Menyaksikan berita di media televisi miris orang dibuatnya, seorang dosen bernama Ade Armando dipukuli, diinjak-injak, ditelanjangi, ditendang, dilukai dan entah apa lagi kata yang cocok untuk digunakan dalam konteks penganiayaan itu. Buktinya sekujur badan mulai dari kepala berlumuran darah dibuatnya. Padahal konon bukan mahasiswa pelakunya yang sadis itu, lalu siapa? Siapapun dia orangnya, yang menjadi pertanyaan besar ialah kok tidak ada rasa kemanusiaannya. Sebagai sesama manusia tentunya punya nurani yang manusiawi sebelum bertindak brutal dan bengis itu. Apakah tidak mikir kalau saja seandainya yang jadi korban itu dirinya sendiri atau keluarga/kerabatnya, sedangkan binatang saja kita perlakukan tidak sesadis itu.
Di sini penulis tak hendak ikut campur masalah demo, akan tetapi penulis sangat prihatin dan terganggu dengan istilah ‘demo mahasiswa’. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur istilah itu menyebar luas seperti virus corona yang ganas dan tidak manusiawi. Tindakan yang jahat itu mengingatkan penulis pada ucapan Nelson Mandela yang mengatakan bahwa: ‘Penjahat itu tak pernah membangun negara, mereka hanya merusak negara’. Tindakan brutal yang mengatasnamakan mahasiswa itu sepertinya mau mengulangi masa kelam tahun 1998 padahal sangat beda kondisinya.
Oleh karena itu, kepada anak-anak ku mahasiswa yang kucintai, jangan ‘anut grubyuk ora ngerti rembug’ (bahasa Jawa, yang artinya jangan ikut-ikutan yang nggak bener, sementara Anda sendiri tak tahu/tak mengerti urusannya). Maka mengertilah dulu, pahami dulu sebelum bertindak, kalau sudah begini apa tidak menyesal? Bukankah kita mengenal istilah ‘sesal kemudian tak berguna’. Anda pelaku tindakan kekerasan yang sudah ditangkap aparat berwajib telah menyusahkan orangtua. Memupuskan harapan orangtua, orangtua dan guru (pendidik) ikut merasa gagal dalam mendidik Anda untuk menjadi orang baik-baik (generasi penerus bangsa).
Perilaku kekerasan bukanlah citra bangsaku Indonesia yang toleran, beradab, dan memiliki budaya yang santun. Sebagai pendidik, penulis menyatakan menentang keras gerakan 11 April 2022, karena menjadikan mahasiswa kehilangan marwahnya sebagai kaum akademisi. Syukurlah kalau akhirnya terungkap bahwa perilaku sadis terhadap Ade Armando itu bukan mahasiswa yang melakukan, karena ternyata ditunggangi mereka-mereka yang bukan mahasiswa. Memanfaatkan situasi dan memperkeruh suasana, merasa sok jagoan sehingga jatuh korban.
Pembaca Yang Budiman
Bapak Kapolda Metro Jaya dengan tegas menyatakan bahwa penganiaya Ade Armando bukanlah mahasiswa, sekali lagi bukan mahasiswa dari kampus manapun! Pelaku kerusuhan merupakan oknum provokator dan penyusup. Aksi mahasiswa yang digelar berjalan lancar dan aspirasi tersampaikan dengan baik/kondusif. Aksi berlangsung mulai pukul 12.00 dan bubar pada pukul 15,30 wib. Setelah aspirasi diterima, massa dari BEM SI membubarkan diri, kemudian mulai muncul keributan dan kerusuhan yang membabi buta dengan sasaran utama Ade Armando.
Wahai mahasiswa yang penulis didik lebih dari 20 tahun lamanya dengan penuh kasih dan disiplin, dengarkan pesan ibu: ‘Jangan mau diperalat – dimanfaatkan – ditunggangi oleh orang-orang tak bertanggug jawab itu. Sadarlah bahwa kita diciptakan sebagai manusia dan diberi hak untuk mendiami bumi ini, tidak untuk berbuat jahat, sadis dan tidak berperikemanusiaan. Janganlah…….sekali lagi jangan ya mahasiswa ku, di mana pun Anda berada bertindaklah arif dan bijaksana.
Pemilihan kata yang kurang tepat, yakni ‘Demo Mahasiswa’ 11 April 2022 hendaknya segera diluruskan, karena berujung dengan kekerasan dan jelas-jelas pelakunya bukan mahasiswa, sehingga tidak cocok dicantumkan kata mahasiswa. Kepada semua media baik cetak maupun elektronik dan media sosial lainnya jangan lagi menyebutkan kata demo mahasiswa, karena mahasiswa terbukti sudah mengakhiri ‘demo’nya sesuai rentang waktu yang diijinkan oleh yang berwajib. Selanjutnya yang terjadi adalah bermunculannya provokator, penunggang gelap dan pecundang-pecundang perusak bangsa ini yang bertindak brutal dan sadis.
Dalam hal ini sasarannya adalah Ade Armando, sejawat dosen, pendidik yang telah banyak mengantarkan mahasiswanya ke jenjang kelulusan, berkarya, ‘menjadi orang’ dan ikut membangun NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Marilah kita petik pelajaran berharga dari peristiwa unjuk rasa tanggal 11 April 2022 yang lalu. Senin kelabu yang nyaris menewaskan orang tak bersalah (Ade Armando), jelas-jelas tindakan tersebut sama sekali tidak dapat dibenarkan dari sisi manapun. Bukankah bisa ditempuh jalan damai seperti melakukan pertemuan, bermusyawarah, dan sebagainya. Unjuk rasa dengan mengerahkan beribu-ribu manusia pasti sia-sia, hanya bikin sibuk aparat saja dan menghabiskan uang rakyat.
Lebih baik memikirkan Indonesia yang damai menuju Indonesia Emas dengan belajar dan berpikir, melakukan berbagai penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa dan seluruh jajaran akademisi hendaknya memenuhi Tridarma Perguruan Tinggi. Kembalilah ke kampus masing-masing, jangan ke jalan dan jangan mau diprovokasi oleh siapapun. Tuntut ilmu, tegakkan kebenaran dan berlakulah yang santun. Ingat: ‘Membangun citra memerlukan waktu puluhan tahun, tapi meruntuhkan citra hanya dalam hitungan menit saja!’
Akhirnya, sebagai ibu, sebagai pendidik (dosen) mari kita renungkan dalam-dalam bahwa: ‘Masa yang paling indah adalah masa sekolah/kuliah’; pergunakanlah sebaik-baiknya!.
Jakarta, 17 April 2022
Salam penulis: E. Handayani Tyas; Universitas Kristen Indonesia – [email protected]
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.