Barter, Yuk?

Barter, Yuk?
Anakan pohon pepaya, hasil barter sama anakan pohon salam. Yey! (sumber foto: dokumen pribadi)

"Sepiring capcay ke tetangga kiri, fuyunghai ke tetangga kanan sore ini. Dibalikin ayam bakar dan kastengel setoples! Lhaa menang banyak saya!!"

Itu adalah status yang awal Mei ini ditulis Emma, di akun FBnya. Dia ini teman satu geng nulis, yang memakai kegiatan memasak sebagai salah satunya penyembuh stres. Yang dia sebut sebagai pereda stres itu ga cuman sekadar masak ayam, misalnya, tapi memasak ayam betutu, atau bahkan ayam kodok. Tak sekadar menggoreng telur, misalnya, tapi membuat omelette kekinian. Itu lho, telur dadar yang bikinnya dipisahin dulu putih dan kuning telur. Trus, kuning telur dikocok lepas dan dituang ke wajan, baru putih telurnya nyusul tapi disuruh berbusa dulu. Sepertinya si putih telur dia suruh ngomel-ngomel dulu (macam hobiku) sampai berbusa. Entahlah. Ntar baca saja klarifikasi dia. Haha.

Nah, kebayang kan level keterampilan memasak si dia ini? Sayangnya, aku sama sekali lom pernah cicip masakannya dia. Hanya denger puja-puji teman dan orang-orang. Kalo yang dikasi cicip gratis, bisalah kita curiga mereka memuji karena dah dapat barang gratis. Haha, maap aku suudzon, ya? Tapi, dia ini, si penyuka warna abu-abu ini, ternyata sudah lama punya usaha terima order masakan. Tak tanggung-tanggung, menunya (menurutku) masakan dengan level kesulitan tingkat dewa itu tadi. Gila, ga?

Ha. Iya. Ga baik ya, ngomongin orang. Wkwkwk. Maap. Aku kan ngomongin dia di depan dia juga ni (kalo baca ya). Bukan ngomongin di belakang. Hehehe. Bagi yang penasaran dengan sosok dia ini, coba baca ke sini deh. Sepertinya cerita itu atmosfer pendukung kenapa dia tergila-gila sama jengki. Haha.

Balik lagi ya. Maksudku, kebayang, kan, tetangga kiri kanan yang dapat kiriman capcay dan fuyunghay itu? Pasti langsung cicip dan langsung ada sinar-sinar yang muncul setelahnya (Bayangin kayak di film kartun itu lhoo .... Pakai close up di pandangan mata juga. Haha. Maksa ya?). Jadi, pantes sajalah menurutku kalo si tetangga sebelah kiri menggantinya dengan ayam bakar, dan satunya dengan kaastengel.

Gara-gara ngomongin makanan, jadinya mbahas berkepanjangan. Padahal aku sebenernya pengen ngajak mbahas soal barternya itu. Kita kirim sesuatu ke tetangga, eh, ntarnya dibalas dengan sesuatu juga. Kebanyakan dari kita sering kan, begitu? Siapa yang belum pernah ngirim sesuatu ke tetangga? Kebangetan itu sih, namanya!

Bentuk barang yang dikirim memang tak terbatas pada makanan jadi. Aku sering kirim daun kelor ke tetangga. Bukan kenapa-kenapa sih, pohon kelor di halaman kalo ga di-trimming, ntar tingginya saingan sama menara Babel. Takuuut .... Padahal sekarang ada sembilan pohon kelor. Ha? Ngapain nanam pohon kelor banyak-banyak? Jawabannya lain kali tak tulis, ya, ntar tulisan yang ini ga kelar-kelar kalo kebanyakan belok. Xixixi.

Kirim-mengirim antar tetangga ini menurutku adalah varian dari kegiatan barter. Ingat kan, istilah barter? Kalo ga salah dibahas di sekolah dasar dulu, ya? Barter itu tukar. Orang dari pantai bawa garam dan ikan, ketemuan dan barter sama orang dari gunung yang bawa daun kelor. Sayangnya orang dari gunung itu vegetarian, jadi ia hanya mau terima garam, tapi ga mau ikan. Wkwkwk.

O iya, ngomongin bahan makanan yang ditukar dan dikirim begini, aku ingat teman yang lain. Namanya Donna. Ia juga jago masak, terutama urusan sambal dan ayam bakar (eh, dia bukan tetangga sebelah kiri Emma lho, ya!). Ada pohon jambu di depan rumahnya, juga ada tanaman cabe, lengkuas, kunyit, jahe merah, pandan, dan entah apalagi. Serikat kebun, katanya. Dia sering bercerita tentang rejeki makanan, termasuk bahan makanan seperti ikan, udang, dan tahu, yang bersliweran dari orang di sekitarnya, baik untuk dia maupun melalui dia. Salah satu ceritanya bisa dibaca di sini.

Nah, yang begini ini, kok rasanya lain, ya? Ada ikatan dan kedekatan emosi yang terjalin pada proses kirim-mengirim itu tadi. Ada kebersamaan. Ada perhatian. Termasuk ada efisiensi. Lain rasanya dengan membeli. Ketika transaksi ditutup dengan uang yang beralih tangan, urusan selesai. Justru yang ada, complain jika barang rusak ato tak sesuai. Kalo ada ikatan emosi yang terjadi, mungkin lebih ke urusan bisnis: Kecocokan selera atau profesionalisme usaha.

Untuk urusan efisiensi, ada contoh varian barter yang lain: book swap, alias tukeran buku. Aku mengenal ide book swap ini ketika tinggal di Bali. Di sana, budaya book swap kental, terutama di kalangan orang asing. Ada sebuah kafe di daerah bypass Sanur, yang tiap Sabtu mengadakan book swap. Di sebuah meja sudah ada beberapa buku, jadi pengunjung datang membawa buku untuk ditukar dengan buku yang ada di situ. As simple as that.

Ada juga komunitas, yang aku lupa namanya, yang beberapa tahun lalu, aktif mengadakan tukeran buku. Karena berbasis online, maka yang dipegang adalah kejujuran dan kepercayaan. Buku diiklankan untuk ditukar, biasanya lengkap dengan keterangan tentang syarat penukarannya. Misalnya, aku hanya mau ditukar hanya dengan buku-bukunya Michael Crichton. Atau ditukar dengan buku-buku motivasi. Konfirmasi awal selalu dibutuhkan sampai kedua belah pihak sepakat. Setelah itu mereka tukeran alamat dan mengirimkan buku-buku yang hendak ditukar. Asyik banget, kan? Ada yang memang tukeran buku, ada juga yang hanya saling pinjam.

Perpusda di Semarang kalo ga salah mengadakan book swap sebagai acara tahunan. Aku tertarik, tetapi belum pernah ikutan. Yang pernah kulakukan justru tukeran buku sama mantan bos yang sekarang tinggal di Bogor. Awalnya aku menawarkan buku tentang merawat dan mengasuh anak yang super tebal bak bantal. Menurutku buku itu berguna banget untuk referensi dia karena dia punya batita lucu mungil kriwil. Haha. Eh, setelah dia menerima buku itu, aku malah dapat kiriman beberapa bukunya sebagai tukeran. Ya wis, tengkiu.

Jadi, jika bisa barter, kenapa harus beli (pakai uang)? Apalagi dalam situasi terkena wabah Corona gini. Tiap hari harus makan, tapi kalo penghasilan berkurang jauh, lama-lama mikir juga, kan?

Banyak orang yang mulai menanam sendiri sayuran. Banyak juga yang sudah lama melakukannya, seperti Donna itu tadi. Tentunya tidak semua kita bisa tanam, dan kita butuh variasi sayuran. Aku ngebayangin, kita bisa tukeran alias barter itu tadi. Aku punya jeruk sambal berlimpah, tapi aku butuh daun singkong. Barterlah kita. Ada yang butuh daun jambu, tapi aku ga punya. Gimana, dong? Ya, kumintakan ke tetanggaku yang punya. Ntar aku dapat komisi dari barterannya. Wkwkwk. Enggalah! Ribet!

Intinya adalah, mari jeli dan kreatif memanfaatkan sumberdaya. Tidak semuanya harus melalui jual-beli. Kita bisa banget pake barter. Hibah boleh juga sih, tapi orang tidak akan senang ketika terus-menerus menerima pemberian. Barter adalah sebuah kesetaraan yang memupuk kebersamaan. Yes?

"Pak, niki anakan Salam. Mugi-mugi saget gesang, nggih?"

Pagi tadi, beberapa anakan pohon salam yang berhasil kuselamatkan, kuberikan ke tetangga sebelah, yang hobi berkebun. Dari dulu dia menanyakan anakan salam memang. Anakan yang kapan dulu pernah kuberikan, ternyata tidak survive. Dia senang sekali tadi. Katanya dia akan pindahkan satu-satu ke polibag, supaya mudah bagi orang yang tertarik mengadopsi.

"Kula mangkih purun, setunggal," kata seorang tetangga lain. Ia memesan satu. Bapak ini rajin jalan kaki keliling perumahan. Rupanya ia rutin mengonsumsi daun salam untuk pengobatan.

Tadinya anakan salam akan kuberikan begitu saja Ternyata bapak pehobi berkebun ini memiliki ekstra bibit pohon pepaya. Dia menawariku. Mauu ....  Dengan mata berbinar, aku menyambut baik tawaran bapak itu untuk balas mengadopsi pohon pepaya. Dalam hati aku bersyukur, karena aku dari kapan hari berpikir cara mendapatkan pepaya mengkal. Terjawab sudah kebutuhanku. Hore!

Jadi, ada yang mau barter denganku? Barter apa, ya? (rase)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.