Minoritas
Toleransi di dalam sudut pandang seorang anak kecil di era 70-an

Beberapa hari yang lalu, saya tertegun dengan komentar seseorang yang intinya adalah: kalau kamu kebanyakan bergaul dengan kaum minoritas maka pola pikir kamu akan terpengaruh oleh mereka.
Saya diam dan tiba-tiba teringat almarhum kakek saya dari pihak ibu. Beliau adalah sosok sederhana yang sangat dihormati oleh warga sekitar, yang terdiri dari hampir 50% keturunan Cina dan sisanya orang Sunda asli Bandung. Ada kisah menarik, beliau itu pada akhir tahun 60-an pernah menyelamatkan seorang wanita muda Cina Protestan beranak satu (waktu itu masih balita) yang lari karena mengalami KDRT. Kakek saya mencarikan tempat tinggal yang layak di dekat rumahnya dan lama kelamaan menetap dan menganggap dia sebagai anaknya sendiri, dan ibu saya menganggap kakak.
Almarhum kakek saya seorang Muslim taat beribadah, tampan berhidung mancung (konon ada turunan Arab) sedikit bicara dan berhati-hati dalam berperilaku. Beliau jago masak dan hangat kepada anak kecil, baik anak Cina maupun Muslim. Rumahnya sering kedatangan tamu-tamu cilik manis bermata sipit yang betah bermain dengan ibu saya sewaktu beliau masih kecil. Lucunya tidak ada anak yang berani bisik-bisik membicarakan Ibu kecil karena tahu ibu saya mengerti bahasa Mandarin saking seringnya bergaul dengan mereka.
Sehari-hari yang saya kenang, almarhum kakek kalau tidak serius membaca koran beliau selalu dalam keadaan mengaji, berzikir dengan memegang counter kecil buatan RRT, tentu setelah pekerjaan dan ibadah wajib ditunaikan. Beliaulah yang pertama kali mengajarkan saya mengaji di usia TK dan memeriksa bacaan Al Fathihah saya sampai benar, lalu saya diberi "persen" berupa kantong kertas berisi bermacam-macam permen.
Keseharian beliau, yang akhirnya diangkat sebagai Ketua RT dalam periode yang lama ya bergaul dengan kaum minoritas karena semuanya tetangga. Apakah pola pikir beliau terpengaruh menjadi ke-cina-cinaan? Tidak. Sampai akhir hayat beliau tetap teguh ber-Islam. Dan para tetangga sungguh merasa kehilangan, terutama wanita Cina yang saya panggil tante. Dia menangis terisak bersama anak satu-satunya, sambil mengenang kebaikan kakek.
Sepertinya hidup saya tidak pernah lepas dari "kaum minoritas" baik sahabat SMP, SMA salah satunya non-Muslim dan ketika saya mulai kuliah di usia lanjut ini, saya berjumpa sahabat baru, seorang perempuan Cina cantik yang serba bisa (tapi dia lebih suka dibilang orang Indonesia saja). Saya tidak pernah sengaja memilih, but I believe that everything happens for a reason, tidak ada yang kebetulan.
Setelah saya renungkan, jika kita pegang teguh agama yang kita yakini dengan terus belajar dan mencari kebenaran, maka apapun tidak akan bisa merubahnya. Toleransi tidak berarti menggadaikan akidah seperti yang akhir-akhir ini dituduhkan oleh beberapa orang, entah paranoid atau kurang percaya diri.
Adalah fakta bahwa negara kita ditakdirkan sebagai negara yang sangat heterogen, tidak hanya agama bukan juga masalah ras saja, tapi karena ada banyak suku secara latar belakang pemikiran juga berbeda-beda. Apabila kita selalu memaksakan kehendak maka konflik pasti terjadi, konflik cenderung menghasilkan kekerasan baik verbal maupun fisik, kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Mau tidak mau, kita harus bersama-sama berusaha hidup berdampingan dengan baik. Jihad kita yang sesungguhnya adalah menjaga lisan. Lakum diinukum waliyadiin bukan berarti dalam pergaulan sehari-hari kita jadi masing-masing, dingin tanpa empati. Kita semua jelas saling membutuhkan. Lebih baik sibuk mencari-cari persamaan dari pada perbedaan.
Mungkin tulisan saya ini akan dinilai naif, that's OK with me. Namun di tengah zaman yang semakin absurd ini saya memilih untuk hanya dan hanya bergantung kepada perlindungan Allah, Yang Menciptakan Manusia.
Bagaimana kita bisa bicara yang hebat-hebat seperti politik dalam Islam, konspirasi bahkan dengan lancarnya mengutip ayat-ayat untuk "menyerang" orang yang bersebrangan dengan kita. Lalu kita dengan mudah menghakimi dengan mengatakan orang lain bodoh, hina, sesat, kafir, munafik dll? Sekalipun dengan "back up" ulama tetap saja tanggung jawabnya ada pada lisan kita masing-masing. Padahal ilmu-ilmu dasar agama yang berkaitan dengan pribadi saja kita belum kuasai benar? Seperti ilmu akidah, fikih wudhu, shalat, puasa, zakat, haji juga muamalah. Lalu apa kabar dengan tajwid dan porsi waktu kita dalam berinteraksi dengan Alquran? Sudah terlalu percaya dirikah kita untuk memperlihatkan catatan amal kita dihadapan-Nya?
Sudah pasti "memuja" sosok manusia siapa pun apalagi membelanya mati-matian (utamanya di medsos) adalah perbuatan yang menurut saya tidak masuk akal. Manusia berubah dari waktu ke waktu, manusia bisa tergelincir, manusia bisa berkhianat, manusia bisa lebih keji dari binatang dan sudah pasti manusia akan mati entah dengan nama baik yang akan dikenang atau penuh dengan kecaman akibat perbuatannya selama hidup.
Sesungguhnya, siapa yang bisa menjamin akhir hayat kita itu husnul khatimah? Apa yang tampak oleh kedua mata kita hanyalah pandangan kita sebagai manusia biasa, pandangan Allah bisa sangat berbeda. Kita semua tahu kalau kita bisa masuk ke dalam Jannah-Nya bukan karena amalan kita, sesungguhnya Allah tidak membutuhkannya. Amalan adalah alat untuk memperbaiki akhlak. Kita bisa masuk Jannah-Nya karena ridho Allah, yakinkah kalau kita pernah dengan sengaja menyakiti sesama manusia Allah akan ridho?
Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Ta’atik’
Buat yang tidak setuju, mangga berkomentar di wall sendiri, postingan ini hanyalah sebagai pengingat untuk diri saya sendiri.
Rindu dan sayang untuk Almarhum Aki H. Ahmad Dimyati...
Semoga kita akan dipertemukan kembali, juga dengan kekasih Aki, almarhumah Ema yang shalihah cantik dan lembut...
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.