Ketika Cinta Tiba-Tiba Harus Terbagi
Cerita Cinta

Namaku Vonika Setia Kristiani. Kata orang aku cantik, menarik, pinter, dengan tubuh ideal. Kehidupan bagiku sama halnya dengan perjalanan sebuah kereta api yang harus berhenti di beberapa stasiun untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, atau hanya sekedar berhenti karena harus bergantian rel dengan kereta api lain. Menikah, punya anak, bekerja, adalah salah satu dari penumpang di stasiun dalam perjalanan kehidupan. Jadi menurutku, apabila kereta kehidupan kita berhenti di stasiun dimana penumpang pernikahan itu biasanya ada, tapi karena satu dan lain hal dia tidak naik ke dalam kereta kehidupan kita, bukan berarti lalu perjalanan kehidupan kita gagal. Demikian juga ketika pemberhentian di stasiun yang harusnya ada penumpang untuk memiliki anak, namun karena satu dan lain hal itu tidak terjadi, bukan berarti perjalanan kehidupan kita hancur.
Aku tinggal di Indonesia, lahir dan besar di Yogyakarta serta bekerja dan berumahtangga di Jakarta. Mayoritas penduduk Yogyakarta, Jawa dan Indonesia ternyata tidak sependapat dengan apa yang aku utarakan di atas. Buat sebagian masyarakat Yogya dan Jawa, wanita itu kodratnya adalah menikah diusia 20-30 tahun, dan begitu menikah segera punya anak. Jadi ketika umurku sudah 26 tahun, pertanyaan “kapan menikah ?” selalu terdengar dan tidak dapat kuhindari. Apalagi kalau sudah di acara pertemuan keluarga besar, bersiap saja memasuki lembah gelap yang penuh dengan pertanyaan dari setiap orang yang hadir di situ. Mereka tidak pernah tahu dalam hati kecilku membuat target bahwa akan menikah di usia 28 tahun dengan pertimbangan aku sudah siap untuk berkomitmen seumur hidup dengan seseorang yang mungkin hanya aku kenal dalam hitungan bulan.
Namun apa dikata, sampai ulang tahunku yang ke-28 lewat 6 bulan, belum juga ada pria yang mau menikah denganku. Tapi aku menikmati setiap waktu yang ada tanpa merasa kesepian sedikitpun.Aku bisa pergi kemana pun aku suka tanpa harus minta ijin dan merasa bersalah meninggalkan pasangan.
“Kamu sih ketinggian pasang syarat dan ketentuan buat cari suami,” kata salah satu tanteku.
“Lha memang harus punya syarat dan ketentuan yang tinggi dong untuk membuat komitmen sumur hidup. Give away yang gratisan aja ada syarat dan ketentuan yang ribet kok,” kataku dalam hati.
“Perempuan itu mesti segera menikah di usia muda, jadi masih seger, badan masih kenceng, suami jadi hepi.”kata ibu dari sepupu jauhku.
“Lo kate lagi belanja di pasar, pilih sayur yang seger dan kenceng,” omelku dalam hati.
Ulang tahun yang ke-29 pun juga sudah lewat 2 bulan dan masih tetap sama. Tapi jangan salah ya, bukan berarti selama ini aku gak kenal laki-laki. Boleh dibilang aku cukup sering berganti pacar dari sejak SMA sampai aku kerja sekarang, mungkin ada lebih dari 10 orang. Tapi ya gitu, antara aku yang belum siap berkomitmen atau laki-lakinya yang pada takut diajakin nikah. Mungkin maunya hanya kawin saja.
Akhirnya aku dikenalkan dengan seorang laki-laki dan kami pun pacaran.
“Kalo Lo mo cari perempuan yang bisa masak, bisa nyuci, setrika dan bersih-bersih rumah serta ngurusin anak, Lo kayaknya salah orang deh,” kataku di suatu hari Sabtu di minggu pertama kencan kami.
“Maksudmu gimana ?” Tanya Prakasa. Oya, laki-laki itu bernama Prakasa Putra Setiawan. Dari pertama dikenalkan, aku berharap dia punya karakter seperti namanya : putra yang setia dan perkasa.
“Iya, mendingan Lo nyari perempuan yang bisa jadi asisten rumah tangga, bukan istri. Kan jobdesc asisten rumah tanggan antaranya itu, bisa masak, beberes rumah, ngurus anak, ya kan.”
“Oh, itu to. Gak sih, Aku cari perempuan yang bisa jadi teman hidup. Kalau nyuci baju, setrika, beberes rumah itu juga aku bisa lakukan sendiri.” Katanya ringan.
Enam bulan kemudian kami pun menikah.
“Ah, akhirnya kamu menikah juga. Buruan punya anak, gak usah ditunda, nanti keburu tua,” kata Budeku
“Selamat ya Von, semoga langgeng dan cepet dapet momongan.”kata temenku.
Ternyata menikah tidak membuat orang berhenti berkomentar tentang hidupku. Setelah lewat setahun pernikahanku, mulai deh saudara,. kerabat, teman, handai taulan memulai serangan nyinyirnya.
“Kamu kerja mulu sih Mbak Von, cutilah dan fokus bikin anak,” kata iparku yang memang tukang nyinyir.
“Udah periksa ke dokter belum, jangan-jangan kamu mandul,” kata iparku yang lain, yang sudah lebih dulu menikah dan punya anak, walaupun usianya jauh lebih muda dariku.
Hai manusia-manusia Indonesia, mengapa kalian suka sekali mengurus hidup orang lain. Apakah urusan hidupmu sendiri terlalu ringan, sehingga masih bisa ngurusin hidup orang lain ? Ataukah urusan hidup sendiri sudah beres, sehingga kamu cari kerjaan buat ngeberesin hidup orang lain ?
Tepat dua tahun setelah aku menikah dan persis pada hari ulang tahun pernikahan anak pertamaku lahir normal dengan proses melahirkan yang cukup lama. Mulai dari kontraksi awal sampai lahir kira-kira 7 jam. Bahagia ? Pastilah..setelah penantian 2 tahun dan akhirnya mendapatkan anugerah itu. Sukacita tak terhingga sudah sejak dinyatakan positif hamil, sehingga semua persiapan dilakukan dengan sangat detil. Mulai dari asupan nutrisi untuk ibu hamil, senam ibu hamil, perlengkapan bayi yang harus disiapkan begitu dia lahir serta berbagai macam cara menyiapkan dan menyimpan ASIP (ASI Perah). Menjelajah internet untuk mencari informasi seputar kehamilan dan proses persalinan serta perawatan bayi selalu menjadi bagian dari pekerjaanku setiap hari. Aku bertekad untuk benar-benar merawatnya dengan penuh kasih sayang, mulai sejak dari dalam kandungan. Dan itu benar-benar aku buktikan dengan mengajaknya berbicara setiap hari, membacakan cerita, memperdengarkan musik sejak awal kandunganku. Bahkan aku sudah memberinya nama ketika kandunganku masih berusia 6 bulan, sehingga aku selalu memanggil namanya apabila sedang mengajaknya bicara.
Ketika dia lahir, waktuku benar-benar aku tumpahkan untuk Pratama Putra Setiawan, begitulah kami menamainya. Karena cuti melahirkan dari kantor hanya 3 bulan, maka aku manfaatkan benar-benar waktuku dengannya. Setelah tiga bulan masa cuti, aku harus kembali bekerja. Pertama kali meninggalkan Pratama untuk waktu yang lama membuatku jadi melankolis. Air mata tiba-tiba tumpah ruah, entah kenapa. Bukan Pratama yang menangis, tetapi aku
Pada waktu merencanakan untuk menikah, aku dan Prakasa sempat punya keinginan untuk hanya punya satu anak saja. Menurut kami, tanggungjawab dan komitmen menjadi orang tua itu tidaklah mudah, sehingga buat kami mempunyai satu anak lebih baik daripada mempunyai lebih dari satu anak tetapi orang tua tidak mampu bertanggungjawab dan berkomitmen dalam mendidik anaknya. Nah, ketika Pratama berusia 8 bulan, aku gak datang bulan lagi.
“Jangan-jangan aku hamil lagi.” pikirku.
Mendapatkan anugerah yang kedua, tanpa direncana dan tanpa diminta.
Bahagia ? Pastilah!
Siap ? Tunggu dulu !
Aku masih bisa merasakan sakitnya waktu menjelang kelahiran Pratama. Masih bisa merasakan sakitnya selangkangan paska melahirkan. Memang setelah melahirkan aku tidak langsung pakai alat kontrasepsi karena aku pikir untuk mendapatkan anak pertama saja sudah menunggu lumayan lama, ngapain mesti KB segala. Begitulah memang, selama 6 bulan setelah melahirkan aku dan suami tidak pernah melakukan intercouse. Selain karena aku masih trauma akan rasa sakit, sudah lelah juga badan karena kurang tidur. Bulan ketujuh akhirnya aku beranikan untuk melakukan salah satu kewajiban aku sebagai seorang istri.
Jiaaahhh....Bayangkan, setelah libur panjang tidak dipakai, kondisi "mesin" juga pasti seperti baru. Tapi ya ampuuunn...sakiiitt.
Bulan kedelapan, setelah sekali berhubungan di bulan ketujuh itu, aku tidak datang bulan !
"Wow, magic" !
"Ah kan cuma sekali, kok bisa jadi sih ?"
"Tau gitu kan nggak cuma sekali..."
"Etapi ini aku masih merasakan sakitnya. Belum juga hilang sudah harus merasakan sakit lagi..."
Dan berbagai pikiran dan perasaan campur aduk pada waktu itu.Tapi apapun perasaanku, ini gak bisa dicancel atau didelay, karena bukan penerbangan ataupun kereta api.
“Mas, aku positif ni”, kataku sambil membawa testpack.
“Hamil ? Masa sih ? Salah kali testpacknya. Cek lagi tanggal kadaluwarsanya deh.” Kata suamiku.
Wajar sih kalau dia ga percaya. Lha wong kami berhubungan suami istri juga cuma sekali kok.
Sejujurnya yang amat mengganggu pikiranku adalah Pratama masih belum bisa jalan sudah harus punya adik. Tapi aku yakin dia akan paham kalau aku ajak bicara, sebagaimana ketika dia masih dalam kandunganku selalu aku ajak bicara.
Dan sembilan bulan masa kehamilan aku jalani lagi sambil mencoba untuk tetap mantap menerima kenyataan yang ada, bahwa sang kakak juga masih sangat perlu perhatian dan terlalu dini untuk diduakan.
Kehamilan berjalan dengan sangat baik, tanpa mengalami kondisi yang aneh-aneh. Bahkan boleh dibilang kehamilan badak, karena tetap aktif seaktif-aktifnya ngurus kerjaan yang pada waktu itu masih banyak di lapangan.
Lahirlah anugerah terindah yang kedua dengan cara sectio karena si adek kelilit tali pusar lehernya. Aku pun juga masih trauma dengan rasa sakit waktu melahirkan Pratama. Setelah 5 hari menjalani perawatan pasca operasi aku di perbolehkan pulang.
Daann jeng..jjeng....jengg…
Mimpi buruk pun mulailah.
Baby blues ?
Baby blues sendiri menurut Merriam-Webster Dictionary (www.merriam-webster.com) di definisikan sebagai "a feeling of sadness that a woman has after giving birth to a baby". Atau dalam bahasa Indonesia di terjemahkan menjadi perasaan sedih yang dialami oleh wanita setelah melahirkan.
Mungkin buat kebanyakan wanita akan berkata "ah, masa sih punya anak kok malah sedih." Tapi percayalah hai wanita, itu benar-benar bisa terjadi.
Menurut beberapa artikel yang pernah aku baca, antara lain americanpregnancy.org, babycenter.com dan penyebab dari baby blues adalah hormon yang belum stabil setelah melahirkan, kelelahan karena kurang tidur keseringan begadang dengan si baby dan juga perasaan yang dialami pada waktu melahirkan. Baby blues biasanya dialami oleh 50%-70% Ibu Baru. Menurut artikel tersebut, baby blues akan muncul pada hari ketiga atau keempat dan akan hilang dengan sendirinya setelah kurang lebih dua minggu.
Dan, aku mengalaminya !
Tapi yang aku alami bukan pada waktu aku menjadi Ibu Baru atau pada waktu melahirkan Pratama, justru ketika aku melahirkan Dwipradipta Putra Setiawan, anak keduaku.
Selama satu minggu penuh aku setiap hari mimpi kedatangan seorang anak kecil kira-kira berumur 3 tahun. Dia selalu menatapku dengan mata merah dan muka penuh kemarahan. Kemudian dia menangis meraung-raung sejadi-jadinya dan berguling-guling. Ketika aku coba peluk anak itu, dia meronta. Bahkan tangan dan kakinya memukul dan menendang mukaku. kemudian dia berguling menjauh dariku sambil menatap marah. Aku pun kemudian menangis tersedu-sedu di dalam mimpiku.
Hari lain, datang lagi si anak dalam mimpiku dengan badan merah berlumur darah. Kembali matanya menatapku tajam. Anak itu mendekat dan mukanya berubah menjadi sangat jahat. Aku pun menangis menjerit-jerit di dalam mimpiku sambil berteriak,
"Maafkan Mama ya..maafkan Mama ya sayangku."
Setiap kali aku bermimpi, Mamaku yang selalu membangunkan aku, karena kata Mama, aku tidur sambil sesenggukan seperti menangis dan kadang teriak-teriak ketakutan. Puji Tuhan selalu ada Mama yang menemani aku waktu itu. Kalau tidak mungkin aku akan larut dalam mimpi buruk yang berkepanjangan.
Selama waktu-waktu aku mengalami mimpi buruk itu, aku selalu merasa sedih, merasa takut dan merasa bersalah. Satu perasaan yang paling kuat pada waktu itu adalah perasaan bersalah. Aku sangat merasa bersalah kepada Pratama. Aku merasa tidak adil kepadanya. Ketika dia seharusnya masih merasakan pelukan dan dekapan serta bermanja-manja dengan mamanya, ketika itu pula dia harus mengalah untuk tidak melakukannya, dan membiarkan adiknya yang jadi perhatian mamanya.
Dan perasaan itu cukup lama ada di dalam diriku. kadang ketika malam tiba, Pratama terbangun untuk minta susu, namun dalam waktu yang bersamaan Dwipradipta pun terbangun, maka aku akan berkata,
"Kak, maaf ya, Mama meluk adik dulu biar tidur. Kakak bobok sendiri ya. Nanti kalau adik sudah gedean, mama akan sering peluk kakak". Dan Pratama pun akan kembali tidur setelah menghabiskan susunya, tanpa pelukan mamanya.
Kejadian-kejadian seperti itu seringkali terjadi dan membuat perasaan itu semakin tidak dapat hilang, semakin kuat tertanam.
Mama bersalah kepada Kakak karena tiba-tiba harus membagi cinta.
Tapi apakah yang aku alami itu baby blues ? Bukankah di dalam teori baby blues hanya berlangsung sebentar saja ?
Ketika Pratama sudah berumur satu tahun dan pertumbuhannya terlihat sangat bagus, barulah perasaan itu mulai sedikit demi sedikit hilang. Dwipradipta yang selalu melihat kakaknya sebagai panutan, membuat Pratama selalu terpacu untuk menjadi yang terbaik, baik di sekolah maupun di rumah. Dan spirit itu pun menular ke adiknya.
Sepuluh tahun lebih sudah berlalu. Ya, secara langsung ataupun tidak langsung baby blues yang sempat aku alami itu cukup memberikan dampak bagi perkembangan psikologis kedua anakku.
Pratama sudah terlihat begitu percaya diri dan cerdas ketika usia prasekolah. Pada usia 8 tahun tumbuh menjadi anak yang cukup mandiri, cukup dewasa untuk seumuran dia, mudah dan mau mengalah, tidak gampang membalas jika disakiti, percaya dirinya kuat. Namun perasaannya sensitif, mudah terharu dan sedih.
Anakku yang kedua Dwipradipta, tumbuh menjadi anak yang, directive, tidak gampang mengalah, maunya menang sendiri. Rasa percaya dirinya baru mulai muncul ketika dia masuk SD, keras kepala.
Namun keduanya tidak pernah bertengkar, malah teramat dekat, saling membutuhkan dan saling membantu, sangat kompak.
Seiring berjalannya waktu, aku mencoba untuk memperbaiki perasaan-perasaanku. Perhatianku tidak lebih banyak ke adik. Apa yang dahulu hilang di kakak, sedikit demi sedikit aku coba kembalikan. Walaupun aku tidak tahu pasti apakah itu akan membawa pengaruh ke depan untuk perkembangan mereka berdua. Tapi satu harapanku, jika suatu saat aku harus pergi meninggalkan mereka untuk selamanya, mereka berdua tetap sedekat saat ini, saling membutuhkan, saling mengasihi dan saling membantu.
Ketika cinta tiba-tiba harus terbagi kala itu, maka komitmen, keputusan untuk memilih dan konsekuensi dari pilihan yang harus dijalani menjadi lebih utama dari biasanya.
ps : buat Michael dan Ezekiel : Be the warrior not a worrier..
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.