Suara dari Langit-Langit
![Suara dari Langit-Langit](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_66926d20c63f9.jpg)
“Dug”, “dug...drudug...dug...dug.” Suara-suara di atas langit-langit kamar Rini kembali terdengar. Suara-suara itu tidak teratur, seperti ada mahluk yang sedang bergerak. Kadang bergerak lurus, kadang berbelok-belok. Kadang diam beberapa saat, kemudian suara terdengar kembali. Biasanya tak terlalu lama, hanya sekitar 10 menit kemudian hilang.
Ini malam ketiga Rini terbangun pada pukul dua dini hari karena suara-suara itu. Malam pertama, ia menduga itu adalah hanyalah suara binatang yang tersesat masuk ke dalam langit-langit kamarnya. Mungkin tikus, kucing, atau biawak. Bisa saja itu terjadi karena rumah kos yang ia tempati di daerah Jimbaran, Bali itu, berbatasan dengan kebun kosong. Dugaan itu membuatnya tenang dan dapat melanjutkan tidurnya ketika suara-suara itu menghilang.
Namun, di malam kedua suara-suara itu kembali terdengar. Kali ini pikiran Rini terganggu dengan percakapannya dengan Bu Desak, petugas kebersihan di rumah kos itu. Bu Desak cerita, kemarin ada anak tetangga berusia empat tahun meninggal dunia.
“Anak itu tidak sengaja tertabrak mobil gara-gara lari ke jalan depan rumah. Meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Anak itu aktif sekali memang, suka lari-lari,” kata Bu Desak saat mereka sedang berbincang-bincang di dapur.
Gara-gara perkataan Bu Desak tersebut, Rini memperhatikan suara-suara di langit-langit kamar tersebut. Seperti langkah anak kecil, pikir Rini terkesiap. Bulu kuduknya langsung berdiri. Ia tidak berani bergerak, tetap berada di bawah selimut, dengan mata terpejam. Ia coba mendengarkan lagi lebih seksama, namun suara itu keburu menghilang. Rini coba menajamkan telinganya, ia mencari-cari suara sehalus mungkin yang bisa didengarnya. Tapi, nihil. Rini coba menenangkan diri dan menepis cerita Bu Desak dari benaknya. Meski masih terjaga beberapa saat, Rini akhirnya bisa tertidur lagi walaupun tak terlalu pulas.
Esok paginya, Rini coba mencari tahu kondisi anak kecil tersebut ke Bu Desak.
Menurut Bu Desak, kondisinya menyedihkan. Anak tersebut ditabrak dan terlindas oleh mobil yang melaju kencang. Tubuhnya mengenaskan, hampir tak bisa dikenali oleh kedua orangtuanya.
Rini bergidik mendengarnya.
Menurut Bu Desak, besok keluarga anak tersebut akan menyelenggarakan upacara Ngulapin di tempat kejadian. Upacara ini dilaksanakan untuk menyatukan roh dengan badan kasar sebelum melaksanakan upacara penguburan. Keluarga yang beragama Hindu Bali itu meyakini roh tersebut masih beredar tanpa arah di sekitar lokasi musibah. Upacara Ngulapin di lokasi musibah akan menuntun roh tersebut untuk kembali ke tempat asalnya.
“Itu supaya roh tidak jadi bhuta cuil atau roh gentayangan yang ganggu kehidupan di sekitar lokasi,” kata Bu Desak.
Percakapan dengan Bu Desak tersebut terekam kuat di kepala Rini. Saat ia kembali mendengar suara-suara di langit-langit kamarnya, segera saja bayangan tentang roh anak yang gentayangan itu memenuhi pikirannya.
“Apakah ini roh yang sedang bergentayangan karena belum diupacarai?” kata Rini dalam hati. Dia ingat, Bu Desak mengatakan ritual Ngulapin baru akan dilaksanakan esok hari.
Bulu kuduk Rini sontak berdiri. Ia merasa kedinginan, terutama bagian tangan dan kakinya. Tubuhnya menggigil. Ia berusaha mengatasi rasa dingin itu dengan meringkukkan tubuhnya hingga lututnya menyentuh dada. Selimut tebal yang telah menutup rapat tubuhnya seperti tidak berdaya mengatasi rasa dingin di tubuhnya tersebut.
Nafas Rini mendadak tercekat ketika lapat-lapat ia mendengar suara tangis anak kecil entah dari mana asalnya meningkahi suara “gejadak-gejeduk” di langit-langit kamarnya. Bahkan, ketika suara dari langi-langit kamarnya reda, suara tangis itu masih terdengar.
Suara tangis itu memilukan. Seperti suara tangis anak kecil yang sedang kesakitan. Bukan suara tangis merengek atau meledak-ledak, melainkan suara tangis yang mendenging konstan terus menerus. Sesekali suara tangis itu menghilang, tapi kemudian timbul lagi. Terus berulang-ulang seperti itu.
Rasanya, bukan cuma bulu-bulu di tengkuk Rini saja yang berdiri, melainkan juga seluruh bulu di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang seperti suara musik techno. Otot-otot di perutnya seperti ditarik kencang, rasanya tidak nyaman sekali. Kaki dan tangannya juga semakin dingin seperti es balok. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, ketiaknya, punggung, dan dadanya. Ia merasa tidak mampu menggerakkan tubuhnya, lemas sekali.
Rini tidak berani membuka matanya karena takut tiba-tiba melihat sosok anak dengan kondisi tubuh penuh luka dan darah seperti yang diceritakan Bu Desak siang tadi, muncul di hadapannya. Atau, ada di pojok kamar. Atau, di atas lemari. Hii, dia tidak bisa membayangkan kalau sosok itu menatap dan menyeringai ke arahnya. Bayangan-bayangan itu terus berkembang di kepala Rini, seperti berlayar ke segala arah. Rini seperti terbenam masuk ke dalam tempat tidurnya. Sepanjang malam itu, Rini benar-benar tersiksa dan tak dapat tidur kembali.
Setelah tanah terang, Rini bergegas bangun dan buru-buru mencari Bu Desak yang sedang menyapu halaman depan rumah kos. Ia menceritakan pengalamannya dengan gemetar. Jawaban Bu Desak membuatnya tercengang.
“Oh, yang nangis semalam itu anaknya Bu Mita, penghuni kos di lantai bawah, mbak Rini. Tadi malam anaknya panas tinggi, nangis terus-terusan. Semua juga mendengar, kok,” kata Bu Desak tersenyum.
Lalu, bagaimana dengan suara-suara di langit yang didengarnya selama tiga malam ini?
“Saya suruh Pak Nyoman periksa ke plafon ya, mbak,” ujar Bu Desak sambil bergegas mencari Pak Nyoman, suaminya yang juga bekerja di rumah kos itu sebagai penjaga keamanan.
Pak Nyoman naik atas bangunan untuk memeriksa. Tak lama kemudian turun kembali mengabarkan hasil penyelidikannya.
“Nggak ada apa-apa di atas plafon, mbak Rini. Tapi memang plafonnya berlubang dan ada bekas-bekas tai kucing. Kayaknya ada kucing yang naik ke plafon kalau malam lewat lubang itu. Nanti saya tambal lubangnya biar kucingnya nggak masuk lagi.”
Rini tersenyum malu sendiri. Ternyata, ketakutannya semalam bersumber dari khayalannya sendiri.
“Mbak Rini, jangan nae menggambar setan di dinding. Nggak usah bayangin macam-macam. Berpikir positip saja,” kata Bu Desak sambil tersenyum jenaka.
Senyum Rini semakin lebar dan berubah menjadi tawa terbahak-bahak. Geli sendiri, dia mengingat semalaman menggambar setan di dinding. (*)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.