THE ART OF MOCKERY

"Bangsa yang cerdas menurunkan cara terekonomis menguatkan tubuh, bukan cara menghindar dan mengolok-olok". DIRGAHAYU RI ke-78! #imaginaryconversation #befriendwithnature

THE ART OF MOCKERY
Kadal Kebun (Eutropis multifasciata), dokumentasi pribadi.

Dari balik kaca pintu teras belakang pagi itu untuk keempat kalinya kulihat dia lagi asik berjemur di lantai teras. Demikian asiknya sampai-sampai saat pintu lipat kaca berbingkai kayu itu kubuka dan engselnya menimbulkan bunyi derit yang keraspun dia tetap bergeming, mematung, tak sedikitpun menggerakkan lehernya yang sejak tadi posisinya mendongak menatap matahari.

“Hey.. lagi-lagi kamu!”,

sapaku sambil berdiri terpaku di depan pintu kaca itu. 
Niat ingin langsung menggeloso di lantai teras yang panas itupun kuurungkan. Meskipun dia tidak menggigit, tetap saja rasanya agak-agak gimanaa.. gitu jika harus duduk ngedeprok sharing space teras panas yang relatif sempit itu dengannya.

Ya, hanya spot di ujung teras selebar 1,5 x 2 m dari total panjang delapan meteran itulah yang tersorot matahari penuh yang belakangan ini menjadi spot favoritku menjemur punggung terbuka. Sisa luas teras yang memanjang kearah kanan selalu teduh terhalang bangunan tetangga belakang dan pagar tinggi tetangga samping serta pohon jambu kancing berdaun rimbun yang kutanam di lahan sempit halaman belakangku ini. Meskipun sempit namun inilah satu-satunya spot oudoor private di rumah ini dimana aku bisa leluasa berbusana seminim yang aku mau agar kulitku terpapar langsung sinar matahari mulai pukul 10.00 pagi selama 15- 20 menit sambil menyeruput sisa kopi pahitku. Kebiasaan yang tidak pernah aku lakukan sebelum masa pandemi Covid-19 yang lalu, apalagi sewaktu aku masih muda dulu, amit-amit deh harus menjemur punggung terbuka jam 10.00 ke atas, terbayang kulit sawo matangku yang gampang gosong ini akan makin gosong jadinya, padahal tidak segitunya lah.

Udah lama Dal…?”,

sapaku lagi. Bangku lipat kecil yang disandarkan di tembok teras kuraih dan langsung kududuki memunggunginya.
“Ya gitu deh…”,

 jawabnya semu melenguh, tampaknya dia malas kuajak ngobrol.
“Tiap hari harus jemuran berapa lama tuh..?”,

tanyaku lagi dengan nada kepo.
“Aku gak kenal ukuran lama waktu, pokoknya kalau sudah cukup tubuhku otomatis akan tau..”,

jawabnya masih bernada ogah-ogahan.

Aku tertawa kecil. Memang kuperhatikan dalam tiga kali “encounter” berjemur bersama dengan si kadal ini, setelah waktu yang lumayan lama dia akan bergerak pergi menyusuri pondasi tembok belakang. Dari situ lalu dia menyeberangi lantai keramik selasar rumah menuju garasi terbuka untuk mencapai carport berumput. Dari carport dia lantas menyusuri rumpun pohon kecombrang merah di halaman samping depan rumahku dan menghilang disitu. Pernah juga aku melihat kadal itu meloncati tembok samping setinggi dada memasuki rumah Pak Tjahyo tetangga sebelahku yang halamannya luas dan banyak pot bunganya. 
Beberapa kali memperhatikan gerak geriknya dengan seksama menjadikan aku tertarik untuk mengenalnya sedikit lebih jauh. Sebelum ini tidak pernah ada kadal yang “mangkal” di sekitar halaman rumahku ini, hanya sesekali kedapatan sekedar melintas saja. Kadal-kadal yang numpang lewat itupun tidak pernah mengganggu tanaman apalagi membahayakan manusia seperti reptil lainnya yaitu ular berbisa atau menakutkan seperti biawak yang masih cukup banyak berkeliaran di sekitar perumahan ini. Tak pernah terdengar kabar sekalipun ada orang yang digigit kadal, padahal anak-anak kecilpun sering mengusir dan mengejar-ngejar mereka kalau kebetulan kedapatan melintas.

Dari artikel perkadalan yang kubaca, bangsa kadal ini memang sangat gemar berjemur sebelum memulai aktifitas harian mereka. Peran sinar matahari begitu dominan dalam kehidupan bangsa kadal. Telur-telur kadal yang paling terpapar panas matahari biasanya menetaskan anak-anak kadal jantan yang ketika dewasa harus selalu bertarung mati-matian melawan kadal jantan lainnya berebut wilayah kekuasaan dan kadal betina untuk dikawini. Ibarat gadget yang harus di-charge sebelum dapat dioperasikan, bangsa kadal harus men-charge tubuhnya terlebih dahulu di bawah panas matahari suhu tertentu, pada jam tertentu selama waktu tertentu.

Khusus kadal yang kulihat di halaman rumahku ini waktu berjemurnya berkisar antara jam 10.00 pagi ke atas, saat panas matahari cukup menyengat, bukan sekitar jam 05.30 – 07.30 pagi seperti umumnya dilakukan banyak orang yang berolahraga jalan kaki pagi sambil berjemur untuk mendapatkan vitamin D alamiah dari sinar matahari. Lucunya saat sinar matahari mulai naik dan sengatannya menjadi  lebih panas, rata-rata orang malah menghindarinya, buru-buru berteduh atau masuk ke rumah menuju ruang yang sejuk oleh kipas angin ataupun AC. Barulah di era pandemi Covid-19 ada pencerahan terobosan baru tentang jam ideal untuk berjemur yaitu mulai jam 10.00 pagi jika ingin mendapatkan sekitar 10.000-20.000 IU vitamin D3 gratis setiap hari. Yang tak kalah pentingnya adalah saat berjemur disarankan sinar matahari dapat langsung mengenai kulit terbuka layaknya orang bule sunbathing di pantai. Meskipun pencerahan soal teknik berjemur ideal tersebut masih menimbulkan pro dan kontra dari sementara kalangan pakar kesehatan, namun makin banyak bahasan tentang fungsi sinar matahari yang bukan hanya sumber enerji kehidupan sebagian besar mahluk hidup, tetapi juga bisa jadi obat alami yang murah meriah untuk meningkatkan imunitas tubuh dan membantu memperlambat terjadinya penyakit degeneratif khususnya pengeroposan tulang pada lansia, asal dilakukan dengan cara yang tepat.

Pengetahuan tentang kegunaan sinar matahari itu secara instingtif sudah terprogram di dalam DNA otak bangsa kadal yang konon sedikitnya ada 40 jenis di dunia ini. 
Sebuah kecerdasan alamiah untuk survive sebelum mati dalam proses lingkaran ekosistem ini menurutku tak kalah keren dari AI yang sedang digadang-gadang manusia sekarang.  Lantas mengapa manusia, khususnya manusia Indonesia termasuk aku suka mencemoohkan bangsa kadal? Bayangkan, stigma penipu yang licik, kemudian diasosiasikan sebagai manusia yang berpikiran berpikiran sempit sekonyong-konyong ditimpakan kepada bangsa kadal. Entah tahun berapa mulai munculnya ungkapan slang bahasa Betawi “dikadalin” dan “ngadalin” yang kemudian dipopulerkan media massa menjadi sebuah kosakata serapan baru secara nationwide. Banyak headline berita yang berbunyi “Cewek Dikadalin Cowok”, “Buaya Juga Bisa Dikadalin” dan awal tahun ini headline epic “Menteri Keuangan Dikadalin Anak Buahnya” disamping menggelikan sekaligus menjadikan nilai berita tentang para boss kantor yang dikadalin anak buahnya bukanlah apa-apa, hahaha.. 

Tak berhenti disitu, setelah dijadikan kosakata baru kepopuleran bangsa kadal ini kembali mencuat, kali ini di kancah politik Indonesia antara tahun 2012 – 2019 dengan munculnya istilah “Kadrun" a.k.a. "Kadal Gurun". Lagi-lagi bangsa kadal diolok-olok secara sepihak tanpa ampun. Sungguh keterlaluan sebagian orang kita ini, teganya mendzalimi bangsa kadal yang tak berdosa, hahaha..

Sengatan panas sinar matahari langsung di permukaan kulit punggungku terasa semakin panas, aku masih anteng merenungi nasib bangsa kadal diselingi senyum-senyum kecil. Kulirik si kadal teman berjemurku mulai beringsut dari tempatnya. Oh tampaknya “baterai” tubuhnya sudah 100% recharged.  Sebelum dia menghilang di semak-semak buru-buru aku berkata lagi,
“Tunggu sebentar Dal… pengen nanya dong..”.

Si kadal memperlambat rayapannya sejenak.
“Emh.. gini...  Seandainya bangsa kalian ditakdirkan bisa ngomong, sebagai seekor wakil bangsa kadal apa komentar kamu tentang olok-olok sebagian besar orang Indonesia terhadap bangsamu selama ini?”.
Kadal itu mengangkat lehernya lalu menjulurkan lidahnya keluar masuk seolah mencibir dan berkata,

Helllaaaww…. !!! Sebuah julukan olok-olok, apapun bunyinya, sejatinya BUKAN tentang yang diolok-olok…, melainkan tentang yang mengolok-olok sendiri, weeeeekkk…!!! ”.

Dia menjulurkan lidahnya sekali lagi dengan ekspresi muka penuh kemenangan sebelum melengos dan merayap cepat menyusuri rute rutinnya. Makjleb gak tuh? Hahaha...

Sudah hampir seminggu ini kadal itu tak pernah muncul lagi, entah pindah mangkal dimana. Kini setiap pagi jam 10.00 saat aku melongok ke teras belakang melalui pintu kaca, diam-diam aku mengharapkan untuk melihat dia ada lagi disitu, berjemur dengan kepala mendongak, bergeming seperti patung kadal. Tapi lantai teras belakang itu selalu kosong tak berkadal lagi.. Tanpa sadar akupun bergumam,

“Kamu benar Dal… jangan-jangan selama ini justru aku "kadal gurun" yang berpikiran sempit, yang kena doktrin sosial melalui media massa bahwa kulit wajah dan tubuh perempuan itu disebut cantik hanya jika warnanya cerah, kalau yang kulitnya sawo matang sih cukup disebut "manis" saja. Akibatnya sampai nenek-nenek begini tadinya akutu anti berjemur jam 10.00 pagi biarpun cuma sebentar, takut tambah item..”

Halaaah... 


IHH, 130823


 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.