Rumit

Rumit
Image by pixabay.com

Mengambil mantel berwarna biru tua, rambut dibiarkan terurai dan Dru sengaja tidak membawa handphone atau apapun selain tangis yang akan diadukan pada langit.

Udara seharusnya bersahabat, sayangnya tak ada satupun hal yang dapat membuat Dru tertawa malam ini.

 

Kali pertama Dru tidak ditemani Bram. Ada gejolak yang mau meledak, ada teriak yang semakin tak tertahan.

 

Menyusuri jalanan Malioboro, tidak ada tujuan selain mencari kedai kopi, pura-pura sibukkan diri, menenggak robusta dan menyembunyikan suara tangis di balik live band yang Dru dengar malam itu.

 

“Maaf Mbak, untuk sendiri atau berdua?”
“Sendiri Mas.”
“Mau yang ramai atau mau sedikit sembunyi Mba?”
“Hah, apanya Mas?”
“Tempat duduknya Mba.”
“Oh, kukira apa. Yang agak sembunyi saja Mas.”

 

Diantarkan Dru oleh Bayu, Barista Loco Coffee Tugu ke bagian belakang café.

 

Unik agak sedikit menyeramkan, karena memang pemandangannya rel kereta api, gelap, dan kursi yang dibuat sengaja tidak seragam, rasanya seperti Kursi Kereta Api yang sempat Dru tumpangi Bersama Bram saat perjalanan dari Surabaya menuju Jember.

 

Rasanya hidup Dru kembali memburuk. Saat sekian lama mencoba ikhlas atas jalan yang sudah Tuhan kasih, lalu Bram hadir mengembalikan hal-hal yang sempat hilang dari hidupnya lantas dalam waktu sekejap semua diambil kembali.

 

“Lalu salahku dimana, ketika aku sampaikan bahwa semua laki-laki itu sama. Sama-sama pembuat onar, sama-sama penoreh luka.”

“Kamu bisa mengerti tidak dengan masalahku?”
“Bagaimana aku bisa mengerti Bram, jika bicara saja kamu tidak.”
“Sudahlah, sekarang aku hanya minta waktu agar aku bisa selesaikan semua dengan baik.”

 

Apa kau tahu Bram, sebrengseknya aku sebagai perempuan, aku tetaplah perempuan. Aku punya rasa sakit, aku punya rasa cemburu dan aku masih manusia.


Apa kau tahu Bram, saat kau sampaikan rentetan kata-kata, betapa hatiku ikut terluka. Betapa aku menjadi wanita paling bodoh yang membiarkan rasaku begitu besar padamu dan rasa itu semakin besar hingga aku sendiri lupa bahwa aku tak patut perjuangkan kamu.

 

Apa kau tahu Bram, sebegitu egoisnya kamu untuk menyelamatkan dirimu sendiri, sementara aku harus berdrama agar aku seolah kuat di hadapanmu.

 

“Kamu jahat Bram.”
“Iya aku memang jahat.”
“Sependek itu kata yang kau sampaikan, sependek itu rasa kamu untuk aku Bram?”
“Ya aku harus bagaimana?”

 

Semenjak malam itu, Dru tetapkan hati. Keluar dari kehidupan Bram atau bertahan tanpa kekuatan.

 

Semangkok Wedang Ronde masuk perlahan ke dalam mulut Dru. Menggantikan posisi kopi yang sudah bergelas-gelas ditenggak Dru.

 

Celingukan Dru memperhatikan malam di Malioboro. Semua punya pasangan, semua punya teman untk bercerita. Dru tidak punya siapa-siapa.

 

“Mas, aku ikut sebentar ya!”
“Lama juga nda apa apa kok Mbak. Mau tambah wedangnya Mbak?”
“Boleh Mas.”
“Lah tapi itu yang dimangkok belum habis.”
“Lah sudah tahu belum habis kenapa ditawari lagi mas?”
“Habis Mbaknya dari tadi melamun saja. Tidak apa-apa Mbak, kalau kiosku bisa menginspirasi Mbak untuk melamun lebih khusyuk, yo monggo.”

 

Menggeser sedikit posisi duduknya. Dru benar-benar sedang ingin menangis.


Seharusnya, di sini Dru sama kamu Bram.

 

Waktu itu kau sedikit kecewa. Saat tahu bahwa perjalanan kita nanti akan berpisah di Yogyakarta. Kamu akan meneruskan langsung ke Jakarta dan aku akan langsung ambil tiket perjalanan Yogyakarta – Bandung.

 

Lalu kau ingat tidak Bram, saat aku bilang, aku ikut perjalana Yogyakarta – Jakarta saja, lantas aku nanti turun di Bandung.

 

“Ya, aku sendiri dong Dru?”

“Tidak lah Bram, aku ikut perjalanan kamu. Nanti aku ambil tiket yang sama sama kamu.”
“Tapi aku sendiri Dru, dari Bandung ke Jakarta nya.”

 

Rupanya suasana seperti ini membuat Dru rindu pada Bram.

 

Sebisa mungkin aku ada untuk kamu. Sebisa mungkin aku bersama sama kamu. Namun rupanya aku hanya sebuah intermezzo dalam hidupmu.

 

Tak ada yang istimewa. Selayaknya perempuan malam, tugasnya menunggu, menemani, dibayar lalu pulang.

 

“Apakah aku seperti itu Bram?. Perbedaanku hanya satu, aku tidak dibayar?”
“Bukan, bukan begitu Dru. Aku masih sayang sama kamu. Tapi aku tidak berani menentang orang tuaku.”

 

Sejujurnya aku tidak bahagia mendengar perkataanmu Bram. Seketika aku paham bahwa aku berharga hanya saat kau perlukan. Aku bernilai saat kau yang membutuhkan.

 

Rumit.

 

“Aku tak mungkin memaksamu untuk memilih aku. Sementara aku tahu kau punya kewajiban yang jauh lebih penting.”

“Tapi aku sayang sama kamu Dru.”
“Lalu menurutmu aku harus bertahan untuk kamu Bram?. Sementara aku tidak tahu kapan kau memilih aku?”
“Bukan, aku belum bisa kehilangan kamu.”
“Artinya, jika sudah bisa, maka kau akan lepaskan aku?”
“Duh salah, bukan begitu Dru. Aku tidak bisa kehilangan kamu.”

 

Ingin rasanya kutampar pipi Bram, kuteriakkan di samping telinganya bahwa aku bukanlah gumpalan debu yang menganggu hidupnya. Bahwa aku masih dapat berdiri tegak walau raga sudah tak sanggup berlaga.

 

Jalanan sudah mulai lengang. Sudah mulai takut menyusuri jalan menuju ke Hotel. Namun marahku pada Bram rupanya dapat mengalahkan segalanya.

 

Jam di Malioboro sudah lewat tengah malam, kuusap-usap pipiku, kutiup tanganku dan kuletakkan di antara mantelku.

 

Kupercepat langkahku. Rupanya ide tidak bawa Handphone bukan ide yang bagus, aku terpaksa harus berjalan kaki kurang lebih 500 meter menuju hotel.

 

Kutegakkan kepalaku, agar aku terhindar dari orang-orang iseng sepanjang jalan. Agar sedikit ramai, kuambil jalur menyusuri Kedai Kopi Loco hingga persimpangan. Lalu sedikit berlari, tibalah di hotel tempatku menginap.

 

Oh, Damn.

Tengah malam berkeringat lalu aku harus mandi sementara besok pagi sudah harus meneruskan perjanan menuju Magelang lalu lanjut ke Solo. Dan ini jadwal amburadulku. Perjalananku terlalu berbelok-belok untuk rute Yogyakarta – Magelang – Solo.

 

Serumit itu pikiranku, hingga untuk jadwal perjalananku saja berantakan.

 

Kubuat segelas teh hangat, kebiasaanku saat sampai di hotel tidak aku lupakan. Sengaja kubuat dua gelas. Satunya untukmu Bram.

 

Jika biasanya kuambilkan segelas welcome drink untukmu, kali ini aku hanya minum untu diriku sendiri.

 

Aku kecewa. Aku tak punya upaya. Aku hanya minta agar kau tetap berdoa agar aku bisa tetap berdiri tegak, walau sampai malam ini aku tahu kau tak bisa dan tak mau untuk memiliku aku.

 

Yang aku tahu, aku adalah perempuan kuat. Walaupun kamu sempat membuatku lemah, semoga kelemahan terberatku bukan darimu.

 

Jika diluar sana banyak perempuan yang dapat berjalan sendiri. Lantas kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama.

 

Kuikhlaskan kamu Bram.

Aku percaya dalam keteguhan hati akan ada hati yang sepenuh hati memberikan hatinya untukku.

 

“Sudah kau bercerita Dru?”
“Sudah, nuwun yo Ro. Jauh-jauh kau susul aku hanya untuk dengarkan aku cerita.”
“Tidak apa-apa, daripada temanku ini bunuh diri gara-gara seorang Bram.”

 

 

 

#Bandung, 23 Agustus

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.