Maafkan Bapak, Rani
Terinspirasi dari kisah nyata yang dialami seorang teman ketika ayahnya meninggal dunia.
![Maafkan Bapak, Rani](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_63119c0e43323.jpg)
"Where did we come from? Why are we here? Where do we go when we die?" Lagu "The Spirit Carries On" dari Dream Theater terdengar yang membuat Rani terbangun dari tidur siangnya, karena suara lagu tersebut menandakan ada seseorang yang menghubungi melalui handphone-nya.
Dengan berusaha mengumpulkan "nyawa", ia pun menggeser tombol jawab. "Siang, Paklik"
"Siang Ran, kamu lagi di mana?" Tanya pakliknya di ujung telepon.
"Di kosan, Paklik. Kebetulan nggak ada kuliah hari ini," kata Rani menjawab pertanyaan Pakliknya.
"Maaf, Paklik ngganggu siang-siang. Gini, saya diminta menyampaikan amanat keluargamu, kamu diminta untuk pulang ke rumah sekarang. Ada hal penting yang membutuhkan kehadiranmu. Tapi, nggak usah tanya dulu soal apa, kamu sampai rumah saja dulu ya...," kata pakliknya langsung pada inti pembicaraan.
"Oh, baik, Paklik," jawab Rani, meskipun masih menyimpan tanda tanya ada apa sebenarnya, kok tiba-tiba diminta pulang ke rumah.
"Oh ya, Paklik sudah transferin uang untuk ongkos kamu pulang ya.... Nanti kamu kabari, kamu naik apa, bus atau kereta, biar saya jemput," kata Paklik di ujung telepon.
"Oh, gitu. Terima kasih, Paklik. Mungkin saya naik bus saja, jadi dari terminal nggak terlalu jauh ke rumah," jawab Rani.
"Ya sudah, besok pagi berarti kamu sampai di terminal ya? Kalau sudah sampai, tunggu saja sampai saya datang ya," kata Paklik.
"Baik, Paklik," kata Rani yang masih bingung ada apa sebenarnya.
Pembicaraan pun berakhir. Rani kemudian mandi dan mengemasi pakaian dan dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Ketika sedang sibuk mengemasi barang-barangnya, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar kosnya diketuk yang membuatnya kaget.
"Ya... sebentar...!" Rani berteriak menjawab ketukan pintu tersebut.
Setelah pintu dibuka, betapa kagetnya Rani, karena orang yang ada di hadapannya adalah ayahnya yang belum pernah sama sekali datang ke kosannya.
"Loh... Pak, kok Bapak tahu kosan Rani di sini?" Tanya Rani heran.
Melihat ayahnya hanya tersenyum, Rani pun mempersilahkan ayahnya masuk.
"Masuk, Pak! Bapak pasti mau jemput Rani ya? Tadi Paklik barusan juga telepon, katanya Rani disuruh pulang ke rumah sekarang. Tapi gak tau ada apa, Paklik gak mau jelasin. Ya udah, Bapak duduk dulu ya, Rani siapin barang bawaan Rani, terus kita berangkat," kata Rani tanpa menunggu jawaban ayahnya.
Setelah selesai, Rani pun bersama ayahnya berangkat ke terminal bus untuk pulang ke kampung halamannya di Jogja.
Di perjalanan, seperti biasa ketika Rani sering diajak ayahnya pergi, Rani ngobrol dengan ayahnya yang duduk di sampingnya. Memang terlihat agak berbeda, kali ini ayahnya lebih banyak diam tapi lebih banyak senyum pada Rani. Sesekali ayahnya merangkul Rani, mungkin karena sudah lama tidak bertemu. Jarak yang jauh antara Jakarta dan Jogja membuat Rani tidak bisa sering pulang ke rumah.
Sesampai di Terminal Bus Jombor, Yogyakarta, Rani pun berkemas mengambil tas ranselnya dan mengemasi barang bawaan lainnya. Ketika akan turun dari bus, ayahnya mempersilahkan Rani untuk turun duluan.
Begitu Rani mulai menapakkan kaki di aspal terminal, terdengar suara, "Rani... sini...!"
Rani pun menengok ke arah datangnya suara itu. Terlihat Paklik bersama anaknya yang sulung melambai-lambaikan tangannya, tanda memanggil.
Rani pun mendekat ke arah Paklik dan sepupunya itu.
"Gimana perjalanan, Ran, lancar?"
"Lancar, Paklik," jawab Rani.
"Hai, Son... apa kabar? Sudah kelas berapa kamu sekarang?" Sapa Rani kepada Soni, sepupunya.
"Baik Mbak, saya kelas 12 sekarang," jawab Soni.
"Wah, sebentar lagi kuliah juga dong ya," kata Rani.
"Ayo, Ran, kita langsung ke rumah," kata Paklik memotong pembicaraan kami.
"Eh, nanti dulu Paklik, tadi Bapak bareng saya naik bus, di mana Bapak?," kata Rani sambil tengok ke kiri dan kanan, juga memutar badannya ke belakang.
Mendengar itu Paklik dan Soni pun langsung lihat-lihatan sambil bengong. Bahkan, Soni pun sambil melotot.
Paklik kemudian menarik napas panjang, menahannya sebentar, dan melepasnya perlahan pula.
Melihat reaksi keduanya, Rani pun menjadi curiga, "Jadi sebenarnya ada apa tho, Paklik?"
"Jadi gini, Ran... kenapa saya memintamu untuk pulang itu agar kamu menemui ayahmu. Ayahmu kemarin siang telah nggak ada. Bapakmu kemarin lusa dibawa ke rumah sakit karena serangan jantung. Berbagai upaya medis sudah dilakukan, tapi kemarin siang Bapakmu dipanggil menghadap Tuhan," kata Paklik terpaksa menjelaskan di tempat itu.
"Ah, nggak mungkin...! Kemarin abis Paklik telepon, Bapak dateng ke kosanku, kok. Bapak ngajak aku pulang...! Di jalan Bapak juga ngobrol sama aku, ngerangkul aku, gak mungkin, Paklik!" Rani mulai berkaca-kaca matanya, tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.
Paklik dan Soni pun bingung harus berkata apa. Mereka juga bingung dengan apa yang diceritakan Rani selama perjalanan.
Akhirnya dengan nada rendah, Paklik mengajak Rani, "Ya sudah, kita sambil jalan pulang dulu yuk, kamu tenangkan dirimu di jalan, ya."
Sambil tetap celingak-celinguk ke kiri-kanan, Rani terpaksa mengikuti Paklik dan Soni yang mulai berjalan ke luar terminal.
Sepanjang perjalanan Rani hanya diam, air matanya pun terus mengalir. Paklik dan Soni pun bingung untuk memulai pembicaraan dengan Rani.
Sesampai di rumah. Rani pun langsung berlari ke dalam rumah, tak menghiraukan lagi barang bawaannya. Semua mata orang yang ada di rumah itu pun langsung tertuju pada Rani.
"Pak...! Kok Bapak di sini? Kan Bapak tadi sama Rani, Bapak kenapa di sini?," Rani tak percaya melihat ayahnya yang sudah terbaring di dalam peti jenazah berwarna putih yang dihiasi bunga di setiap sudutnya.
Rani pun mulai menengok ke kiri dan kanan, namun yang dicari tidak ketemu. Ia pun memutar badanya ke belakang dan terhenti pada seseorang.
"Bu, kenapa Bapak di sini? Tadi Bapak sama Rani di bus," tanya Rani pada ibunya.
Ibunya pun hanya diam, tidak tahu apa yang terjadi.
Namun, ketika Rani masih menengok ke arah ibunya, tiba-tiba di belakang ibunya terlihat agak samar sosok pria yang sama dengan ayahnya. Terlihat bibir sosok itu bergerak seolah mengucapkan, "Maafkan Bapak, Rani."
Walaupun ucapan itu tak terdengar langsung, namun kalimat itu terasa di batinnya. Rani pun hanya bengong.
Setelah melihat sosok itu tersenyum padanya, Rani pun membalasnya, "Maafkan Rani juga, Bapak, selamat jalan...."
Catatan:
Paklik: panggilan untuk adik laki-laki dari orangtua di Jawa. Sama dengan paman.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.