9-9-1999
"Ditunda wae Nduk, ojo tanggal karo wulan iku. Ora ilok. Mengko ora selamet, iku hari kiamat Nduk...."
![9-9-1999](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_60653906845b9.jpg)
Menikah adalah target selanjutnya setelah aku resmi diangkat menjadi karyawan tetap di salah satu perusahaan media ternama di Jakarta.
Tak mengherankan ketika jawaban ‘ya aku mau’ langsung menggelinding keluar dari mulutku sore itu ketika Mas Budhi, laki-laki asli Sunda yang kupacari kurang lebih satu tahun lalu, yang berprofesi sebagai wartawan AFP, kantor berita asing Perancis, tiba-tiba melamar secara tidak resmi, tepat di hari bersejarah saat aku pertama kali memakai pakaian syar’i dan setelah dengan lancar mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Istiqlal, sebuah masjid besar berarsitektur indah yang berlokasi di pusat ibukota.
“Manis banget ya dia,” kudengar Mas Budhi memujiku di depan Yudi, sahabat masa kecilnya yang hadir di acara itu.
Dengan kulit coklat terang, riasan wajah natural, hijab putih susu dan gamis berwarna senada berbahan ringan yang mengibar lembut jika angin menyentuhnya, aku sudah pasti terlihat manis. Ketidakhadiran orang tua dan saudara-saudaraku karena mereka tidak sanggup melihatku pindah keyakinan, tidak mengurangi binar ceria di wajahku. Bukannya aku tidak mau menuruti mereka, tetapi karena aku merasa sudah dewasa dan berhak menentukan apa yang aku yakini.
September kurang 4 bulan lagi.
Seperti cerita beberapa teman kantor yang sering berbagi kisah pernikahan mereka, selalu ada pro dan kontra mengenai tanggal pernikahan dan rentetannya.
Orang tua Mas Budhi dan orang tuaku menyerahkan tanggal pernikahan kepada kami. Tapi tidak dengan Bude Jiwo, kakak perempuan ibuku yang tinggal di Jember, yang sudah menganggapku seperti anak kandungnya karena tidak punya anak perempuan, yang beberapa kali meminta untuk menunda dulu pernikahan kami karena tanggal yang kami pilih katanya tanggal sial. Ditambah lagi banyaknya berita yang berseliweran kalau tanggal 9 bulan 9 tahun 1999 itu, dunia akan kiamat. Bude Jiwo adalah penganut setia aliran kepercayaan Kejawen meski di KTP, agamanya tertulis Islam.
“Ditunda wae to Nduk, ojo tanggal karo wulan iku. Ora ilok. Mengko ora selamet, iku dhino kiamat Nduk,” pinta Bude Jiwo penuh harap melalui sambungan telepon interlokal dari Jember.
“Ah… Bude takhayul. Jangan percaya yang begituan dong Bude,” kataku sambil tertawa.
“Itu tanggal cantik lho Bude. Tanggal berkah. Bude tahu nggak kalau menurut fengshui China, angka 9 ini difilosofikan sebagai arti keabadian dan dianggap menjadi salah satu angka yang membawa keberuntungan. Mohon doanya ya Bude, semoga dilancarkan.”
“O… ngono. Yo uwis lah Nduk. Mugo-mugo acaramu lancar yo. Insya Allah Bude bisa dateng ke Jakarta,” kata Bude Jiwo pasrah.
“Makasih banyak ya Bude, kami tunggu kedatangan Bude sekeluarga,” kataku.
Pekerjaan sebagai sekretaris redaksi yang biasanya kunikmati jadi terasa sangat menyita waktu. Meski sudah berbagi tugas persiapan pernikahan dengan Mas Budhi, tetap saja porsiku lebih banyak karena ngurusin printilan-printilan khas calon pengantin perempuan; mengurangi chubby agar terlihat tirus di foto, mengusir pergi lemak perut agar kelihatan bagus lekuk pinggangnya kalau pakai kebaya, dan menjalani serangkaian paket spa pengantin yang lagi ngetrend agar terlihat cantik bersinar di pelaminan. Belum lagi janjian dengan penjahit, memilih menu katering dan urusan cetak mencetak undangan dan souvenir ucapan terima kasih atas kedatangan tamu undangan.
Untung saja beberapa sahabatku sangat ikhlas membantu.
“Nanti gue aja yang moto, sekalian bikin undangannya dah. Lo tenang aja Lisa,”tantang Andre semangat.
“Meskipun ora setuju kowe kawin karo Mas Budhi, soale mbiyen aku tahu ketemu Mas Budhi mlaku-mlaku ning mal karo wedhok liyo, aku tetep 'support' kowe Lisa. Iki pilihanmu. Aku mengko sing nggawe seragam pager ayu sisan karo ngerias mereka. Wis kowe tenang wae,”imbuh Nina, perempuan cantik keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Magelang.
“GImana kalau kita buat sendiri souvenir-nya, Nin? Kamu mau bantu aku kan? Kita buat potpourri aja,” pintaku semangat. Aku memang sangat suka aromatherapy.
“Oke siap Lisa. Pastilah aku bantu,” kata Nina tak kalah semangat.
Aku memeluk Nina dan Andre sekaligus dengan rasa penuh terima kasih.
Keberuntungan-keberuntungan lain pun terus bermunculan.
“Selamat siang Mbak Lisa, saya Thomas dari Santika Hotel. Setelah meeting dengan ‘ji em’, kami setuju dengan permohonan Mbak Lisa mengenai free dessert dan free 2 rooms selain kamar pengantin,” kata Pak Thomas. Beliau adalah F&B Manager Hotel Santika yang di Petamburan.
“Halo dek, band pengiring yang Mas janjikan sudah siap ya. Itu salah satu hadiah dari Mas. Ini band-nya juga sudah latihan ‘From this Momen’-nya Shania Twain yang akan kamu nyanyikan,” lapor Mas Indro, kakak kesayanganku melalui SMS.
“Lisa, kebaya yang akan kamu pakai ‘akad’ dan resepsi sudah selesai dipasang semua motenya sama Tante Ai. Dikerjain sendiri lho sama Tante Ai. Dia sayang sekali sama kamu Lisa,” cerita Tante Atikah, calon mertuaku. Tante Ai adalah adik kandung Tante Atikah yang tinggal di Bandung.
Tuh kaaaan? Bude Jiwo pasti salah mengenai tanggal sial itu.
Tanggal 9 September kurang 1 minggu lagi. Aku mulai nggak bisa tidur meski sudah mengecek satu persatu persiapan pernikahan termasuk bagian yang dikerjakan oleh Mas Budhi. Deg-degan terus gitu rasanya.
Excited yang kurasakan mengalahkan kekhawatiran yang seringkali menyeruak.
“Itu perasaan wajar Lisa,” hibur Nina sahabatku ketika aku menceritakan tentang gimana nanti setelah menikah, gimana kalau Mas Budhi ternyata tidak bisa setia, dan hal-hal buruk lain yang ditakuti hampir semua perempuan dalam sebuah pernikahan.
Malam ini, semua kekhawatiranku tidak terbukti.
Acara akad nikah berlangsung dengan lancar dan hikmat. Begitupun resepsi. Aku dan Mas Budhi tidak berhenti menyunggingkan senyum melihat bos-bos di kantor kami ternyata meluangkan waktu untuk hadir. Suasana semakin ramai saat sesi foto. Ada-ada saja pose lucu teman-teman kantor setelah hitungan ke-3 dari fotografer.
Tapi aku tak melihat Bude Jiwo di antara mereka. Kemarin Bude Jiwo minta maaf tidak bisa datang ke Jakarta karena dilarang oleh anak-anaknya.
“Takutnya nanti ada apa-apa Mbak,” kata sepupu-sepupuku, anak-anak Bude Jiwo.
Aku harus berusaha mengerti dan menghargai keputusan mereka.
Sama dengan usaha kerasku untuk mengerti dan memahami saat menerima penjelasan pengingkaran dari Mas Budhi ketika beberapa kali aku mencium bau parfum asing di mobil kami, menemukan beberapa compact disc aliran K-Pop di laci dashboard meski kami berdua sama-sama nggak nge-fans mereka dan mengeluarkan ‘kantong ‘kresek’ berisi swimsuit perempuan lengkap dengan boneka kura-kura kecil yang masih dilengketi pasir pantai ketika aku membawa mobil kami ke ‘snow car wash' sepulangnya Mas Budhi dari tugas luar kota.
Dan aku juga sedang berusaha memaafkan diriku karena terlambat membuka kiriman paket dari Bude Jiwo, yang dikirimkannya satu minggu setelah telepon bernada keberatan darinya dulu. Buku Primbon Lengkap dengan kertas yang sudah menguning berbahasa Jawa yang dijadikan panduan oleh Bude Jiwo dan keluarganya untuk melihat hari baik. Lembar demi lembar buku itu kubaca perlahan dan aku baru mengerti mengapa Bude Jiwo dulu begitu bersikeras melarangku.
Ternyata ini 'kiamat' itu....
Keputusan sepihak dari Mas Budhi di atas selembar kertas putih bertuliskan AKTA CERAI yang dikirimkan kurir dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan tadi pagi. Kertas yang masih kupegang dengan tangan gemetar dan dengan rasa tidak percaya. Kertas putih yang tinta stempelnya mulai luntur karena tetesan air mata.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.