Dipilih, dipilih...
Kebingungan 5 tahunan

Semakin mendekati Hari Valentine tahun 2024, semakin banyak teman yang menghubungi saya. “Siapa yang bisa saya pilih? Bagaimana memilihnya? Apakah kamu memiliki tips buat aku, buat kami?” demikian pertanyaan mereka bertubi-tubi.
Saya bukanlah konsultan hubungan percintaan, dan pertanyaan itu tidak berhubungan dengan kegalauan memilih kekasih atau pun pasangan hidup. Sama sekali tidak, meskipun keresahan yang disampaikan terjadi mendekati Hari Cinta Sedunia. 14 Februari 2024 adalah hari pemungutan suara di Indonesia.
Ya benar, hari itu kita akan memilih: Capres-Cawapres, Calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI, Caleg DPRD Provinsi, dan Caleg Kabupaten/Kota.
Ini pertanyaan berulang, yang hampir 5 tahun sekali saya dapatkan. Kebingungan memilih ini bukan untuk memilih Capres dan Cawapres, tetapi untuk memilih DPD, DPR, DPRD Provinsi, dan Kabupaten Kota. Saya memahami kebingungan itu. Betapa tidak. Setiap 5 tahun sekali, ratusan wajah, laki-laki perempuan, tua muda dari berbagai generasi: baby boomer, X, millenial, dan Z merangsek ke segala ruang gerak kita.
Di pinggir jalan sekitar kompleks perumahan, di jalan menuju mall, di jalan protokol, bahkan di pinggir jalan tol dan pohon-pohon, semua penuh dengan gambar calon anggota legislatif dari berbagai partai dan beragam tingkat. Kok saya hampir yakin bahwa hanya sedikit yang bisa mengingat nama, wajah, nomor urut, dan dari partai mana caleg tersebut. Begitu masuk bilik suara, yang kita hadapi adalah kertas suara sebesar lembaran koran, penuh dengan nama.
Bagi masyarakat yang tidak setiap hari mengikuti berita Pemilu: tahapannya, peraturannya serta proses pencalonan anggota legislatif, tentu tidak mudah menentukan pilihan. Mengapa banyak teman-teman saya yang meminta saran, referensi tentang caleg? Karena saya anggota sebuah partai politik, dan saya pernah menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari partai tersebut pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Dua kali jadi caleg, dua kali pula saya gagal.
****
Keramaian 5 tahunan ini bagi saya mengasyikkan dan menarik. Saya bisa melihat secara terbuka, di ruang publik, siapa saja teman-teman dari partai saya yang jadi caleg mewakili daerah tempat saya tinggal. Apakah ada nama baru, atau sama dengan 5 tahun lalu? Apakah ada yang saya kenal cukup dekat? Apakah foto yang dipasang foto baru atau foto lama saat masih lebih langsing, glowing, dan kinclong?
Di samping itu, karena saya pernah menjadi salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat di partai saya, maka saya kenal dengan beberapa politisi dari beberapa partai lain. Sebagian saya kenal cukup dekat, karena tergabung dalam kerja bersama, seperti meningkatkan kualitas demokrasi, meningkatkan keterwakilan dalam partai politik, atau pun tentang kemiskinan, isyu lingkungan hidup, dan lainnya. Sebagian lagi kenal secara sosial. Nah, modal sosial ini lah yang menuntun saya mengarungi rimba raya ratusan nama di kertas suara.
Bekal ini lah yang menyebabkan teman-teman saya menanyakan kepada saya seolah minta rekomendasi siapa sih caleg yang sesuai dengan harapan mereka? “Aku gak mau milih kucing dalam karung,” kata mbak Nia, sahabat saya, yang sudah saya kenal puluhan tahun. “Anggota DPR kan akan membuat Undang-undang, mengawasi kerja pemerintah, mengesahkan APBN. Jadi harus yang pinter dong,” lanjut mbak Nia dengan semangat, sambil mengetukkan jemarinya yang lentik ke atas meja tempat kami ngopi.
“Setuju banget sama Nia. Aku ini udah bosan banget milih asal coblos aja. Habis aku gak kenal satu pun dengan caleg-caleg yang balihonya mengepung jalan depan rumah. Gimana sih ini !!!,” sahut Tuti dengan wajah kesal. “Masak aku harus selalu nyanyi Itu lah Indonesia…,” lanjut Tuti dengan wajah yang semakin cemberut. “Waduh gawat ini, sudah jengkel tingkat dewa,” kata saya dalam hati. “Lho kok keselnya ama Binny sih?” terdengar suara lembut Retno, mencoba menenangkan Tuti. “Minum dulu tuh kopinya, manual brew kesukaanmu kan?” Suara Retno yang penuh ketenangan, menyejukkan kembali suasana ngopi bareng di sore itu di kawasan Bintaro. Ngopi bareng ini merupakan rutinitas 3 bulanan kami, 4 sekawan yang sudah saling mengenal lebih dari 2 dekade, bahkan 3 dekade.
Dengan demikian kami sudah mengalami pemilu setidaknya 6 kali. 6 kali Pemilu dengan sistem pemilihan yang berbeda: dengan jumlah partai terbatas, tidak ada nama caleg, tidak memilih presiden dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Setelah sistem Pemilu diubah, dan warga bisa tahu nama caleg, mengapa ungkapan “memilih kucing dalam karung” tetap saja ada?
“Jadi, gimana kita bisa tahu caleg yang oke?” pertanyaan mbak Nia membuyarkan lamunan saya. “Gimana kalau milih caleg yang saya kenal? Baik dari partai saya atau pun partai lain?,” tanya saya menantang. “Justru itu yang kita harap,” sahut Tuti dengan suara antusias, sambil bergerak mengambil singkong goreng, rambut ikalnya yang tergerai sepanjang bahu terkibas.
Melihat wajah Tuti yang berubah dari kesal, cemberut, terus tersenyum saya merasa lega. “Asiiiik. Tapi ada informasi yang harus kalian sampaikan ke saya : apakah teman-teman sudah terdaftar di Daftar Pemilih tetap atau DPT? Lalu, apakah kalian tahu Daerah Pemilihan/Dapil kalian dimana?”
“Aku udah terdaftar di DPT, udah tahu Dapilku, Banten III,” kata Retno tenang. “Kalau terdaftar ya udah lah, masak mau milih kok gak cek nama kita di DPT,” sembur Tuti. Ngegas. Bukan Tuti namanya kalau nggak emosi, mungkin terbawa oleh profesinya sebagai wartawan yang terus harus mengorek informasi. “Tapi aku gak tahu dapilku mana. Susah nyari informasinya. Kalau nomor TPSnya udah ada,” lanjut Tuti dengan nada menggerutu.
“Iya bener, tuh Tuti, aku juga gak tahu Dapil tempat aku tinggal,” sambung mbak Nia, yang senantiasa tampil modis dengan hijab rapi yang color-coordinated dengan busananya, serta riasan wajah yang menampilkan wajah ayunya. “Aku udah ngulik di google, gak ketemu juga,” kata pensiunan corporate secretary ini.
Mengetahui dapil tempat kita tinggal memang tidak mudah. Untungnya beberapa kawan baik saya, aktivis LSM yang sudah lama berkecimpung dalam voters’ education serta Pemilu Jurdil, membantu saya. Salah satunya adalah mengunduh dokumen Peraturan KPU 6/2023.
“Okay kalau gitu, kita cari bareng ya dapil kita, habis itu kita cocokan nama caleg yang aku kenal, ini aku bagikan ya dokumen tentang Dapil, ke hp kalian,” kata saya. “Kita santai kan ya, nggak ada yang harus pulang ke rumah, agak lama nih soalnya,” terang saya sambil melirik jam, dan mengamati menu di atas meja. “Ya udah, kita pesan lagi aja ya. Nachos mau?” tanya Retno, sahabat saya yang selalu terlihat manis dan kalem dengan potongan rambutnya yang model bob. Mungkin profesinya di bagian pengembangan talenta sebuah perusahaan konsultan manajemen membuatnya memiliki sifat yang selalu ngemong.
Sambil mengunyah nachos renyah yang dibalut keju dan daging cincang gurih, kami mencari dapil masing-masing di dokumen tersebut. “Masukkan nama kota kita tinggal ya, di bagian search, nanti langsung keluar dapil kita,” Ternyata hanya saya dan dan Retno saja yang tinggal di dapil yang sama: Banten III. Mbak Nia, karena di Depok, Jabar VI, dan Tuti karena tinggal di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, adalah DKI II.
“Kita cari nama caleg untuk DPR RI aja ya,” usul saya. “Kalau mau cari nama caleg di semua tingkatan: Provinsi dan Kabupaten/Kota, bisa-bisa kita nginap di kafe ini, hahaha,” saya ngakak. “Lho kok bisa,?” tanya mbak Nia. “Iya mbak, partai peserta Pemilu DPR RI itu jumlahnya 18. Kalau 1 partai mencalonkan 10 orang, berarti ada 180 nama yang harus kita baca,” saya menerangkan. “Kita coba Banten III dulu ya,” lanjut saya. Ketiga sahabat saya menganggukkan kepala dengan takzim.
Website KPU pun kami buka untuk mencari fitur Daftar Calon tetap yang memuat nama caleg DPR RI. Beberapa nama yang saya kenal pun muncul. Saya memberikan keterangan seputar siapa mereka, jabatan dan kegiatan apa yang saya ketahui, dan jenjang pendidikan setahu saya. “Coba aku cari informasi mereka di web ini,” kata Tuti. “Mana tahu Binny cuma ngomong aja,” komentar Tuti sambil tertawa.
Dengan penuh semangat Tuti mengklik tulisan profil di bawah gambar caleg. Profil dengan highlight abu-abu itu terbuka. Dan muncul lah informasi: nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir, usia, jenis kelamin, agama, status pernikahan, status disabilitas, riwayat pendidikan, riwayat organisasi. Untuk beberapa saat kami sibuk mencari data caleg.
“Ya ampunnnnn !!!...,” teriak Tuti “Serius, nggak ada pendidikan, pengalaman di partai, atau pun profesi !!!!?. “Ssst berisik,” potong mbak Nia, “ ada kok, coba scroll ke bawah… ehhh iya, ternyata gak banyak yang ngisi nih,” sambungnya.
Saya iseng mengulik profil nama-nama caleg dengan highlight merah, dan ternyata profil mereka tidak bisa dibuka. Saya pun jadi teringat berita-berita beberapa bulan lalu lalu tentang info caleg. Rupanya tidak semua caleg bersedia membuka data diri mereka kepada publik.
“Jadi kita mesti percaya keterangan dari Binny?” Saya menerangkan bahwa masih bisa menelusuri siapa mereka dengan menelusri akun sos-med para caleg, google search , bahkan mencek media lokal. “Tapi gimana kita tahu, kita mendapatkana orang yang tepat?” Mbak Nia bertanya. “kalau namamu kan unik: Binny Bintarti Buchori. Lha kalau nama Lestari Wijayanti, Alexander Betaubun, apa nggak dapat ratusan nama yang sama,” lanjutnya. Wah iya juga. Saya masih membujuk agar teman-teman juga aktif mencari informasi caleg di komunitas tempat mereka tinggal. “Biasanyaa timsesnyaa suka sosialisasi di kampung-kampung sekitar kompleks,” Expresi kesal terkejut, kecewa terpampang dengan jelas pada wajah Mbak Nia, Retno dan Tuti.
“Aku gak habis pikir, masak di Pileg 2024 ini lagi-lagi kita seperti tebak-tebak manggis,” suara Retno terdengat lirih. Saya terdiam. “Ya sudah kita bubar aja, sudah hampir jam 10 malam juga nih,” lanjutnya. “Ayo Binny, aku antar kamu, tapi kita drop dulu mbak Mia dan Tuti di Stasiun KRL Jurang Mangu. Di dalam mobil kami masih mendiskusikan mengapa sulit betul mencari informasi tentang caleg. “Rasanya belum pernah ada timses caleg yang datang ke rumahku,” gumam mbak Nia. “Dulu kamu kampanyenya kayak apa sih Bin, dari rumah ke rumah atau gimana?,” tanya Tuti?
****
Dalam perjalanan pulang, saya menyampaikan bahwa saya lebih fokus sosialisasi di desa-desa, dan di kampung-kampung di kota, ketimbang di komplek-kompleks. “Untuk sosialiasi ke kelas menengah-atas dan kelompok terpelajar, aku mengandalkan jaringan pribadi, teman, keluarga. Nggak pernah bikin pertemuan dengan warga setempat di rumah mereka,” kata saya.
“Lho kenapa, kan kita pemilih yang serius?” tanya Retno. “Justru karena pemilih serius, maka diperlukan waktu yang lebih lama untuk meyakinkan. Itu pun belum tentu nantinya mereka ke TPS. Banyak yang gol-put. Kalau tertarik sama aku, mereka ragu dengan partaiku,” saya menerangkan. Saya menyampaikan kepada sahabat-sahabt saya bahwa berdasarkan pengalaman, di desa-desa dan kampung kota, masyarakat lebih mudah diajak berkomunikasi. Saya bukan caleg kaya, jadi sosialisassi saya menyangkut program. Misalnya perlindungan TKI, mengawal BPJS. Ini program yang menarik, dan mereka percaya serta tidak ada keberatan terhadap partai saya. “Jadi dengan keterbatasan waktu dan dana, aku mesti milih nih, mau fokus dimanaa? Jumlah pemilih di desa serta kampung kota lebih banyak daripada di komplek-kompeks mewah. Aku milih konsentrasi di tempat yang jumlah pemilihnya banyak,” pungkas saya.
“Tapi kita kan golongan pemilih yang ingin kenalan. Masak gak ada cara untuk memperkenalkan diri sama kita sih?” Gerutu Retno. “Dan itu ya, informasi tentang dapil, tata cara memilih kok rasanya minim banget. Apa iya harus sesulit itu mengetahui dapil kita itu dimana?” sambung mbak Nia.
Saya terdiam. Banyak pertanyaan kawan-kawan saya yang tidak bisa saya jawab. Sesampainya di rumah saya masih memikirkan percakapan kami. Saya merenungkan berbagai UU peraturan Pemilu yang sudah berubah sejak jaman reformasi. Jaman Ordee Baru, hanya ada 3 Partai Politik. Warga memilih partai, tanpa tahu siapa calegnya. Tahun 2009, mulai lah Pemilu dengan memilih nama caleg. Dan 15 tahun kemudian tetap saja saya mendengar keluhan “milih caleg seperti tebak-tebak manggis…” sedih dan miris rasanya.
Obrolan malam ini membuat saya merefleksikan pengalaman saya berkampanye dulu. Saya menyadari sekarang, bahwa saya tidak boleh mengabaikan kampanye di kompleks-kompleks perumahan di kota-kota. Jumlah mereka memang tidak banyak, namun bukan kah setiap suara berharga? Memperkenalkan diri sendiri ke pemilih kelas menengah-atas bisa dimulai dengan membuka data diri selengkap mungkin di website KPU. Jumlah pemilih kepo seperti mbak Nia, Retno dan Tuti tidak banyak. Tetapi kekepoan seperti ini yang akan membuat demokrasi kita lebih berkualitas. Pemilih kepo banyak tanya, bawel, susah diyakinkan, maka sering-sering lah membuat diskusi melalui berbagai kanal: Instagram, Face Book, Tik-tok , blog, website dan sebagainya.
Dari segi peraturan, kok saya berpendapat, bahwa memilih nama caleg secara langsung tetap harus dilanjutkan. Mungkin perlu diperkuat dengan peraturan-peraturan seperti kewajiban untuk membuka data diri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah program-progam pendidikan pemilih harus lebih sering, lebih banyak dan menyasar semua kalangan.
Tanpa ini semua, maka akan selalu terjadi jarak yang cukup lebar anatar pemilih dan calon yang akan dipilih. Perasaan”seperti membeli kucing dalam karung” harus diakhiri, karena hal ini tidak baik untuk kemajuan demokrasi kita.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.