Mbokne-ipun Bagong!

Mbokne-ipun Bagong!

Ruuunngggg! Segera kubuat satu tarikan lagi gas motorku, kukendorkan sedikit bersamaan dengan tarikan kopling. Kutambahkan lagi satu giginya. Kupacu lebih kencang. Jalanan di depan bakal lurus tapi licin, apalagi sedikit basah pertanda tadi hujan turun di sini. Udara malam pun lembabnya masih terasa. Aku sudah biasa melalui jalan ini di pagi atau sore, jadi tahu kondisinya. Bedanya, sekarang malam hari, gelap dan sunyi. Keseimbangan badan adalah faktor agar motor tetap terkendali. Juga pengalaman berkendara untuk merasakan seberapa kuat cengkeraman roda pada jalan atau ada rasa tergelincir. Tiada penerangan jalan kecuali dari lampu sorot motorku. Aku harus pandai-pandai untuk mengingat di mana saja lubang-lubang yg ada di jalan. Hujan yang turun di musimnya lama-lama menggerusnya permukaannya, menimbulkan lubang dan jalan jadi tidak rata di beberapa titik. Sebelah kanan adalah dinding tinggi yang merupakan pagar kebun binatang Rapenting. Nampak pepohonan tinggi menjulang berpadu dengan pekatnya malam. Sebelah kiri jalan berderet rombong angkringan yang semuanya samar terlihat berbalut terpal karena aktifitas jualan makanan kaki lima sudah pada tutup.

Hatiku berdesir. Suara motor di belakangku masih terdengar. Sangat kentara kalau dia memang mengekoriku sedari tadi. Kucoba mengingat beberapa saat ketika harus berhenti hanya sekitar 2 detik di lampu merah Dinas Pertanian Rasubur di lokasi perempatan jalan Ramakadam tadi. Kulihat sudah ada 2 pengendara motor berhenti di garis pembatas menunggu lampu hijau, di belakangnya berderet sekitar 6 atau 8 mobil dalam 2 lajur. Jalur ketiga yang paling kanan adalah lajur khusus bus Ramandheg. Aku pun berhenti sambil menarik sedikit tangan kiri untuk melihat jam di balik lengan jaketku. Pukul 23:57. Hanya 2 detik, aku harus jalan lagi karena lampu sudah hijau. Bersamaan dengan mulai kutarik gas motorku, samar dari sudut mata kananku nampak ada motor yang akan berhenti tapi tidak jadi karena lampu sudah hijau kembali.

Kembali ke awal ceritaku saat berada di permulaan jalan lurus tadi. Area belakangku adalah terminal akhir bus Ramandheg jurusan Rapopo yang sudah sepi. Karena waktu operasi terminal  sudah pasti tutup jam segini. Aku mulai menganalisa suasana dan keadaan di mana aku saat ini. Tepat tengah malam, karena dari lampu merah tadi sampai sini kuperkirakan hanya 3 menit dengan kecepatan berkendaraku tadi. Jalan yang akan kulalui di depan sangat gelap dan sepi, seperti yang kugambarkan sebelumnya. Tak kulihat satu pun kendaraan di depan sana. Sepertinya di jalan yang baru saja kulalui di belakangku ini, semua pengendara lain berbelok ke kanan, menyusuri jalan tepi terminal yang mengarah ke arah kampung sebelah. Aku rasa orang akan berpikir banyak kali untuk merentas jalan di depanku ini di malam hari, apalagi seorang diri. Kebanyakan orang akan memutar melewati jalan Ramakadam tadi, untuk kemudian putar balik walaupun sangat jauh.

Sudah kepalang. Di sini cuma ada aku dan satu lagi motor di belakangku. Aku yakin itu adalah motor yang tak jadi berhenti di lampu merah itu. Kuingat tadi mereka berboncengan, keduanya berjaket kulit hitam, sama-sama memakai helm yang tertutup penuh. Suara knalpot motornya adalah suara khas dari jenis motor laki-laki yang dirancang untuk akselerasi dan kecepatan tinggi, 2 tak, nyaman dipakai berboncengan, merknya Yamahmud. Motor khas penjahat, begitu guyonan kawan-kawanku. Entah kebetulan atau memang sudah jadi pilihan, banyak kasus kejahatan pelakunya memakai motor ini. Tapi intinya adalah motor itu adalah motor tangguh.

Otakku segera memindai penampilanku. Helm mahal sejuta lebih hadiah temanku. Tas punggung yang biasa dipakai untuk bawa laptop, beserta laptop di dalamnya. Motor bebek buatan Thailand yang jenisnya ini selalu tren di kalangan peminat motor di setiap tahun, harganya juga dua kali lipat motor bebek lokal. Motor ini adalah motor teman satu kontrakan karena motorku dia pakai untuk bawa barang pagi tadi. Atribut yang melekat padaku sekarang tidak kurang dari 35 juta. Belum lagi telepon selular dan uang dalam dompet yang pastinya setiap orang akan bawa. Meminjam pentaksiran penjahat, maka diriku merupakan calon mangsa yang menggiurkan.

Aku teringat kengerian cerita tentang pembegalan yang kerap terjadi tahun ini. Disebutnya sebagai begal kepruk. Mereka tak segan memukul punggung atau lebih seringnya belakang kepala pengendara motor di kawasan sepi. Memakai batang besi. Melucuti semua barang dan uang korban, mengambil sepeda motornya, dan meninggalkan korban begitu saja tergeletak sekarat. Ada korban lelaki paruh baya yang harus dioperasi kepalanya. Beliau sembuh namun harus menanggung kerusakan saraf otak di sisa hidupnya. Gagu bicaranya, sempoyongan berjalannya, dan terganggu jiwanya.

Yakin bakal ada takdir baik, segera kugeber lagi motorku. Doa kurapalkan. Tawakal. Ikhtiarku segera kumulai. Kueratkan genggaman tanganku pada stang kemudi. Kusatukan perasaanku dengan motor tunggangan. Aku harus bisa mensinkronkan semua fungsi tubuhku dengan pikiran. Caraku membawa motor cenderung menggunakan refleks dan kebiasaan. Kerja menarik dan mengendorkan gas, kopling, injakan rem dan pertukaran gigi harus benar-benar selaras. Kalau tidak maka motor bakal terjungkal, atau lajunya akan terganggu dan akibatnya aku masuk dalam jangkauan aksi mereka. Rasanya tak pernah aku sefokus ini dalam bertindak. Adrenalin sedang memuncak. Badan yang terbalut jaket ini mendadak terasa panas, berkeringat dan basah. Namun area jantung berasa dingin, berdegup tinggi. Peluh pun terasa melembabi kulit kepala, merembes turun sampai terasa ke pelipis mata.

 

Motor tidak bisa terus secara konstan laju. Harus beberapa kali direm mengejut. Berdecit bunyi gesekan roda dan jalan batu. Geraknya pun mengesot kanan dan ke kiri berulang kali. Untuk menghindari lubang-lubang di jalan. Kemudian raungan mesin terdengar untuk memecutnya lari kembali secepat mungkin. Begitu terus berulang kali selama 3 menit. Kini aku sampai di ujung jalan lurus berlubang itu. Di depanku adalah gerbang memasuki kawasan mes atlit dan fasilitas olahraga yang cukup besar. Sudah pasti gerbang itu tertutup jam segini dan tidak ada pos penjagaan. Aku harus mengerem agar tak menabrak gerbang itu. Di saat motorku mendadak pelan, suara motor di belakangku terdengar lagi dan nyaring. Artinya mereka berusaha mengejarku. Mungkin tadi aku sangat fokus sehingga telingaku sendiri pun seakan-akan memblok suara knalpot dari motor mereka.

Segera kubanting setir berbelok ke kiri. Melintasi jalan kecil selebar 2 motor, permukaan pavingnya yang tidak rata, dengan rumput banyak tumbuh di sela-sela antara pavingnya. Sepanjang jalan ini diiringi oleh parit saluran air hujan selebar 1 meter. Batas antara jalan dengan parit hanya selebaran batu bata yang disusun berderet sepanjang jalan ini. Jalan ini diperburuk dengan kontur tanahnya yang bergelombang pendek-pendek. Pergantian antara turunan dan tanjakan pendek ini setiap 5 meter. Di hari-hari biasa, sudah banyak kejadian orang terperosok ke dalam parit beserta motornya. Lepas kendali akibat guncangan atau bersenggolan dengan motor lain ketika berpapasan. Refleks kuangkat sedikit pantatku dari jok motor. Aku berkendara layaknya penunggang kuda yang sedang balapan. Berat badanku lebih banyak kutumpukan pada kedua kakiku agar aku bisa menjaga keseimbangan motor. Aku semakin fokus. Tujuanku cuma satu, secepatnya keluar dari jalan ini dan mencapai jalan raya kampung di depan. Entah berapa lama aku seperti ini. Ujung jalan ini sudah kelihatan, sekitar 30 meter di depan sana. Ditandai oleh lampu 5 watt yang menyala tergantung di tiang besi ujung jalan ini, di samping tempat pencucian sepeda motor. Akhirnya motorku lalu tepat di bawah lampu itu. Plong rasanya. Karena aku beranggapan di jalan raya ini setidaknya akan aku jumpai pengendara lain, sehingga orang akan berpikir banyak kali kalau mau melakukan kejahatan.

Sesaat roda motorku menyentuh jalan raya, segera kuambil arah ke kanan menuju rumah kontrakanku. Aku pun bersyukur bisa sampai di sini dengan selamat. Dengan santai kukendarai motorku. Aku terkejut ada raungan suara motor digeber mendekatiku. Suara motor yang tadi. Suara itu semakin dekat. Aku siaga dengan sedikit memutar tubuhku sehingga aku bisa melihat ke belakang. Motor itu tepat melewatiku dan langsung direm mendadak kemudian berhenti dengan sedikit menyerong. Dia berhenti 7 meter di depanku. Orang yang duduk di belakang segera turun. Sedangkan pengemudinya tetap di atas motor dengan hanya kaki kirinya menjejak ke tanah. Artinya, pengemudi itu dalam posisi siap melarikan motornya sewaktu-waktu. Ternyata aku salah dan teledor. Jalan raya ini sangat sepi. Tidak kelihatan satu pun kendaraan lain yang lewat di sini. Mungkin hujan yang turun tadi menyebabkan orang malas keluar rumah, atau menggenangi jalan di beberapa tempat.

Segera kumatikan mesin motorku, kucabut kuncinya dan siap-siap untuk kubuang jauh-jauh bila diperlukan. Aku turun dan berdiri di samping motorku. Kutunggu dia dengan sikap waspada. Orang itu semakin dekat. Berjarak 2 meter dariku dia berhenti melangkah, meraba bagian depan bawah helmnya dengan tangan kanannya. Ternyata itu untuk membuka visor helmnya. Kini nampak 2 bola matanya.

Dia terus berkata, “Bang… di mana abang beli knalpot motor abang? Renyah suaranya, racing banget gitu. Tadi saya mati-matian ngejar abang biar bisa nanyain ini”.

Terkesiap aku. Orang barat menyebutnya, speechless.

“Ooo… Mbokne-ipun Bagong!...”, rutukku sambil gestur tubuh ini menunjuk dirinya. Mungkin dia tidak paham, biarlah. Bagiku, kejadian tadi berakhir dengan sangat membagongkan. Ibunya Bagong, malahan.

Sekian.

#thewriters #batch15

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.